Jul 31, 2018

Cerpen Pertama

Salah satu miskonsepsi besoaaar tentang penulis adalah: kalau dia suka / bisa menulis dengan satu gaya, maka dia bisa menulis dengan gaya apapun. Apalagi di era content writing gini, dimana para content writer dituntut bisa memproduksi berbagai tulisan dengan berbagai gaya. 

Namun pemirsa, penulis bukanlah perenang Olimpiade, yang harus bisa menguasai bermacam gaya sekaligus. All writers write better in one way than the other.

Kalau ditanya, lo paling suka nulis apaan, La? Jelas: nulis esai di blog. Apalagi blog gue adalah blog non-komersil dan non-citra, maka gue terbebas dari beban untuk membatasi gaya tulisan dan isi kepala. Pun kalau gue nulis di luar blog, gaya gue jelas: esai, non-fiksi, dan non-faedah :D

Kalau ditanya lagi, lo paling sebel nulis apaan, La? Jawabannya juga jelas: nulis fiksi.

It's funny how I absolutely love reading fiction (and hate reading non-fiction), but very terrible in writing it (and pretty good in writing non-fiction). Gue pernah, sih, usaha bikin fiksi, tapi fiksi-fiksi super pendek yang jadinya norak juga. Pembaca lama blog ini pasti tau ya, karena biasanya gue post di sini, kok.

Awal tahun ini, gue menantang diri sendiri untuk membuat sebuah karya fiksi yang agak panjang. As in, 3000-kata panjang. So I did, dan hasilnya busuk setengah mati. 

"Aaah, lo merendah untuk nyari pujian ya, La?" I wish that was the case, sayangnya nggak, karena validasi atas keburukan karya gue datang dari 1) dua orang pemred senior yang bilang bahwa tulisan gue "perlu banyak perbaikan", dan 2) tiga koran nasional yang menolak cerpen gue. Wow, kurang valid apa coba kebusukan karya gue itu? *ketawa* *lalunangis*

Singkat kata, kepercayaan diri gue untuk nulis fiksi hancur lebur. Tapi apakah gue kapok? Alhamdulillah, nggak. Abis itu gue malah nulis fiksi panjang lagi, dan tentu saja, DITOLAK LAGI OLEH PELBAGAI PUBLIKASI NASIONAL, hahahah, sethan.

Tapi nggak apa-apa, kok. Konon, penulis novel di luar negeri aja sering kecewa dengan novel yang mereka buat, sampai-sampai mereka bisa ngebuang satu novel karya sendiri sebelum di-publish, karena kepengen tulis ulang dari awal. Gila, harus punya kebesaran hati luar biasa, tuh, untuk melakukan hal tersebut. Gue merasa nggak berhak kecewa cuma karena cerpen gue nggak pernah ada yang mau terima, bahkan sampai gue mati (hei, mungkin karya gue bakal laku nanti, posthumous? *ngarep*).

Mungkin satu-satunya publikasi yang mau memuat cerpen gue, tuh, mading kampus kali, ya. Itu pun setelah redakturnya gue sogok rokok dan bakso. Atau jangan-jangan, mading SMA.

***

Ada, sih, satu publikasi yang pasti mau memuat tulisan fiksi gue, yaitu... blog gue sendiri. Zzzzz.

Karena gue yakin nggak akan ada media massa yang mau memuat cerpen gue, maka gue post di sini aja, deh. Plis banget jangan ada yang copas atau plagiat plek-plek, ya. Tanpa harus gue sumpahin terlebih dahulu, I trust you all.

Ini adalah cerpen pertama gue yang proper atau "tertib". As in, panjangnya lebih dari 1,000 kata, dan punya alur yang jelas. Gue menghindar jauh-jauh dari genre drama dengan tema cerita yang menye-menye, dan menantang diri untuk menulis dalam genre favorit gue (apa hayo?). Sebagai rookie, gue terinspirasi habis-habisan (baca: semi nyontek) dari salah satu cerpen kanon seorang penulis legendaris, Neil Gaiman. Yha, mungkin makanya cerpen ini ditolak dimana-mana, ya? Hahahaha. Geblek lu, La.

***


SANG PENJAGA
Laila A.

Setiap hari, ada saja kucing jalanan mampir ke rumah Nisa.  Biasanya hanya satu-dua ekor, namun pernah sampai lima ekor bergantian dalam sehari. Mereka mengeong-ngeong kencang, atau berusaha menyelinap masuk lewat jeruji pagar. Kucing-kucing tersebut seperti tahu bahwa salah satu penghuni rumah itu, Nisa, tidak tega membiarkan mereka terlunta-lunta.
Sudah lama Nisa ingin mengadopsi salah satu—atau beberapa—kucing liar di sekitar rumahnya, tapi ia tidak bisa berhubung Abi, ayahnya, keberatan. Akung, almarhum kakeknya, sebenarnya mendukung niat Nisa, namun ketika Akung mulai sakit-sakitan, beliau selalu kalah suara dengan Abi. Maka Nisa hanya bisa memberi makan dan mengobati luka-luka lusinan kucing liar yang mampir ke rumahnya, sebelum melepaskan mereka kembali.
Ada banyak kucing liar yang pernah singgah di rumah Nisa, maka ia tidak pernah mengingat mereka satu persatu secara spesifik. Tetapi Nisa tidak akan pernah lupa ketika pada suatu hari, seekor anjing menghampiri rumahnya.
Bulan lalu, anjing itu begitu saja muncul di depan pagar rumah Nisa. Tingginya hampir mencapai setengah paha orang dewasa, bulunya berwarna hitam pekat, kakinya jenjang, moncongnya panjang, badannya langsing namun berotot. Matanya besar, tenang, dan, anehnya, tampak berwarna hijau tua seperti dasar telaga yang dipenuhi lumut. Nisa kagum sekaligus sedikit penasaran. Bagaimana bisa mata anjing berwarna kehijauan? Apakah binatang ini mengidap katarak? Sepertinya tidak, Nisa membatin. Sorot matanya tajam dan terlihat seperti sorot mata manusia. Ia tampak sehat, kuat, awas, dan tidak terlantar.
Anjing itu berdiri di depan pintu pagar Nisa pada suatu sore, ketika rumah Nisa sedang ramai oleh sanak saudara yang menghadiri tahlilan tujuh hari wafatnya Akung.
Sebelum ia wafat, Akung dirawat di rumah sakit selama tiga minggu akibat berbagai komplikasi di organ dalam tubuhnya yang hampir genap berusia delapan puluh delapan tahun. Selama tiga minggu tersebut, Nisa banyak bolos kuliah karena menemani beliau di rumah sakit, tetapi Nisa tidak pernah keberatan karena semenjak ibunya meninggal, Nisa menjadi sangat dekat dengan kakeknya tersebut. Seperti Ibu, Akung tak pernah bosan cerewet mengingatkan Nisa untuk disiplin sholat tepat waktu, mengaji, dan ke masjid, meski tak jelas untuk apa Nisa sering-sering ke masjid. Pun seperti Ibu, Akung selalu memuji kopi dan roti bakar buatan Nisa, mendengarkan keluh kesahnya soal kuliah, dan meminta Nisa untuk menutupi uban-ubannya dengan sisir bersalut semir berwarna hitam pekat. Momen kesukaan Nisa adalah setiap kali Akung membagi kisah-kisahnya semasa bekerja sebagai salah satu perwira ajudan kepresidenan, menjaga Sang Proklamator siang dan malam.
Nisa selalu menyimak kisah-kisah seru Akung sambil memijat jemarinya yang rapuh karena rematik. Selalu tersemat cincin berbatu giok di jari manis Akung, yang sepertinya tak pernah ia lepaskan. “Ini cincin jimat dari Presiden, lho,” kata Akung seraya terkekeh.
Akung menghembuskan napas terakhirnya ketika Nisa sedang menggenggam tangannya, di sisi dipan rumah sakit. Setelah itu, airmata Nisa tidak berhenti mengalir selama tiga hari.
Sore itu, Nisa memperhatikan apakah si anjing menunjukkan sikap agresif atau tanda-tanda rabies. Sepertinya tidak, tetapi Nisa tetap menimbang-nimbang untuk mengusirnya—setidaknya membuatnya mangkal agak jauh dari rumahnya—karena anjing dengan penampilan semengancam itu pasti akan membuat para tamu senewen untuk hilir mudik.
Namun selagi Nisa mengumpulkan keberanian untuk menghalaunya, anjing asing itu perlahan menyingkir, lalu duduk di ujung gang komplek, memberikan keleluasaan bagi para tamu untuk keluar masuk. Maka Nisa segera silam ke dalam rumah, dengan batang hidung yang dipenuhi titik-titik keringat kecemasan.
Menjelang maghrib, ketika semua tamu sudah pulang dan rumah Nisa kembali sepi, anjing itu masih ada di ujung gang, dan masih memandangi rumah Nisa dengan seksama.

***

Setiap sore, anjing hitam itu selalu mondar-mandir di depan rumah Nisa. Sikapnya tenang; tidak menggonggong, tidak mengaduk-aduk tong sampah, tidak mengganggu kucing-kucing yang berseliweran. Tetapi akibat kehadirannya, kucing-kucing kompleks tidak berani lagi menghiba-hiba di depan rumah Nisa. Tanpa ngeongan para kucing liar, rumah Nisa jadi semakin sepi, dan hati Nisa bertambah hampa. Ia jadi lebih sering merindukan Akung.
Selama beberapa waktu, Nisa tidak terlalu memperhatikan anjing asing tersebut karena ia sibuk dengan urusan ujian kampus. Yang ia tahu, si anjing hitam rutin tidur di depan rumah Nisa semalaman, dan menghilang pada pagi harinya. Sore hari, ia muncul lagi. Begitu terus, setiap hari.
Pada suatu siang, sepulang kuliah, ketika ia akhirnya selesai berjibaku dengan ujian kampus, Nisa baru memperhatikan si anjing hitam. Nisa terkejut melihat kondisi binatang tersebut: badannya penuh luka yang tampak dalam, jalannya pincang, dan terdapat bekas gigitan di moncongnya. “Dasar anjing edan,” batin Nisa dengan iba. Dengan luka-luka separah ini, Nisa membayangkan setidaknya ada tiga ekor kucing kampung yang menjadi lawan berkelahinya semalaman.
Dengan ragu, Nisa mendekati anjing hitam yang sedang tersungkur di depan pagar rumahnya tersebut. Nisa berjongkok di hadapannya, lalu perlahan menyodorkan tangannya ke moncong panjang anjing itu. Nisa setengah mati takut jari-jarinya akan dicaplok, tapi teman Nisa, Michael, memelihara banyak anjing dan ia pernah bilang, cara terbaik untuk berkenalan dengan binatang itu adalah dengan menyodorkan tangan kita. Si anjing akan mengendusnya, kemudian rasa percayanya akan tumbuh.
Setelah si anjing hitam mengendus dan menjilat tangan Nisa, Nisa membawanya masuk ke teras rumah, kemudian melirik jam di ponselnya dengan cemas. Setiap Jumat, biasanya Abi pulang kantor lebih cepat agar bisa memberi kultum Maghrib di masjid. Rasa takut Nisa pada anjing ini berganti kepada rasa takut kepada Abi. Jika beliau sampai tahu Nisa dijilati anjing, ia bisa mengamuk. Mencuci tangan tujuh kali dengan air dicampur tanah tidak cukup baginya, apalagi kalau ia sampai tahu Nisa membawa anjing ini menginjak teras rumah. Nisa teringat kakeknya. Akung juga tidak akan setuju dengan kehadiran anjing di rumah, tetapi Nisa yakin, Akung akan lebih bersimpati kepada anjing malang ini.
Tetapi Nisa tetap membersihkan luka-luka si anjing hitam, serta memberinya makan dan minum. Anjing tersebut membalas kebaikan Nisa dengan tatapan berterimakasih, sebelum ia beranjak dan kembali duduk di luar pagar. Nisa menghela napas lega karena anjing tersebut tidak lantas betah bercokol di teras rumahnya.
Sore itu, langit mendung dan angin bertiup kencang. Tidak ada kucing-kucing liar keluyuran, sebagaimana biasanya sebelum hujan turun. Nisa berharap semoga malam ini, si anjing hitam tidak terlibat perkelahian lagi.

***

Dua hari kemudian, Nisa menemukan si anjing hitam dalam keadaan semakin parah. Luka-lukanya bertambah banyak dan dalam, padahal luka-luka lamanya belum kering betul. Sehari setelah itu, mata kirinya tercabik sesuatu hingga bernanah. Seminggu kemudian, tampak bercak darah kering di sekitar mulutnya dan anjing tersebut begitu lemas, ia nyaris tidak bisa berdiri. Apa yang kamu lawan, hei, anjing hitam? Nisa bertanya-tanya dalam hati. Kucing jalanan? Musang? Preman mabuk yang melampiaskan emosi biadabnya kepadamu?
Nisa selalu berusaha mengobati si anjing hitam dengan diam-diam, namun hidup di komunitas perumahan padat yang terlampau guyub membuat Nisa nyaris tidak dapat menyembunyikan apapun kegiatannya dari bisik-bisik tetangga.
Sesuai dugaan Nisa, keesokan harinya Abi mengomel lantaran ia mendapat laporan dari para jiran bahwa putrinya belakangan akrab dengan seekor anjing liar. “Kenapa kamu bawa najis ke rumah ini? Untuk apa juga kamu ngurusi anjing jalanan?!”
Seumur hidupnya, Nisa diajari untuk takut dan membenci anjing akibat status najisnya dalam agama yang ia anut, tapi Nisa tidak tega setiap kali menemukan si anjing hitam dalam keadaan babak belur.
Akhirnya Nisa membujuk temannya, Michael, untuk mengadopsi sementara si anjing hitam. Setidaknya, anjing itu akan jadi berjauhan dari komplotan kucing komplek yang Nisa curigai mengeroyoknya tiap malam. Nisa sekaligus berharap kemarahan Abi jadi akan mereda.
Setelah bernegosiasi dengan alot—Nisa berjanji akan membantu Michael mengerjakan tugas kuliahnya selama si anjing hitam berada di rumahnya—akhirnya Michael setuju. Pada suatu siang, Michael datang dengan sebuah mobil van, lengkap dengan kandang milik salah satu anjing peliharaannya, lalu membawa si anjing hitam pergi.
Namun selama enam hari berada di rumah Michael, si anjing hitam mengamuk dan tidak mau makan. Di hari ketujuh, Michael menyerah dan menelpon Nisa untuk mengembalikan anjing itu.
Nisa kalut mendengar laporan temannya, terutama gara-gara selama enam hari si anjing hitam berada di rumah Michael, Nisa tertiban sial bertubi-tubi. Abi nyaris dipecat dari kantornya atas sebuah tuduhan tak berdasar, cincin giok kesayangan Akung tak bisa ditemukan ketika pada suatu ketika Abi berinisiatif mencarinya, dan dalam perjalanannya ke kampus, ojek Nisa terserempet angkot sehingga ia melewatkan ujian sebuah mata kuliah penting. Kalau si anjing hitam dikembalikan, persoalan hidup Nisa jelas akan bertambah.
Setidaknya, sewaktu Michael mengambalikan si anjing hitam ke rumah Nisa, kondisi fisik binatang tersebut kelihatan jauh lebih baik. Lukanya sudah mengering semua, dan langkahnya kembali tegap. Tidak ada lagi nanah dari bekas cakar di dekat matanya. Ketika mobil van Michael berhenti di depan rumah Nisa, si anjing hitam langsung melompat keluar dari kandangnya dan kembali mondar-mandir di depan pagar dengan siaga. Ia tidak mendekati Nisa, seakan tahu tentang ketidaksukaan ayah Nisa kepadanya.
Di luar dugaan Nisa, Abi tidak gusar atas kembalinya si anjing hitam ke komplek perumahan mereka. Hati ayah Nisa sedang lega, karena tak lama setelah si anjing hitam kembali, atasan yang memfitnahnya terbukti korupsi. Hasil ujian susulan Nisa pun ternyata gemilang. Dalam hati Nisa merasa bahwa anjing itu sebenarnya membawa keberuntungan, tetapi ia tidak berani menyampaikan hal tersebut ke ayahnya. Lagipula, cincin giok Akung belum berhasil ditemukan, dan Abi masih gelisah dengan fakta tersebut.
Nisa sendiri juga gelisah karena misteri yang belum kunjung terpecahkan: apa yang menyebabkan si anjing hitam seringkali babak belur? Apakah ada orang gila—atau binatang liar berbahaya—berkeliaran pada malam hari di komplek perumahan Nisa, dan seringkali terlibat perkelahian dengan si anjing?

***
              Nisa bukan orang yang suka begadang. Ia bisa dengan mudah bangun subuh-subuh tanpa alarm, sebelum azan berkumandang, tapi ia tidak pernah kuat untuk tetap terjaga lewat dari jam sebelas malam.
Tetapi pada Kamis malam ini, Nisa bertekad untuk begadang. Jika perlu, semalaman suntuk.
Pada jam setengah satu malam, saat Nisa yakin Abi sudah terlelap, ia mengendap-endap keluar dari kamarnya. Di lantai dua rumah Nisa terdapat ruangan kecil yang difungsikan sebagai perpustakaan mini. Ruangan kecil ini terletak persis di seberang kamar Nisa, dengan jendela berteralis yang tepat menghadap pagar rumah.
              Nisa menyeret kursi dari kamar, lalu memposisikannya di depan jendela. Ia sengaja tidak menyalakan lampu utama, sebab jika Abi terbangun malam-malam, beliau akan heran melihat lampu di lantai dua menyala. Nisa hanya membawa ponselnya yang sekaligus berfungsi sebagai senter, selembar sarung, serta secangkir kopi.  
              Malam itu suasana sepi sekali. Nisa hanya bisa mendengar suara jangkrik dan detak jam dinding. Tak ada sayup-sayup musik dangdut yang kadang disetel oleh para petugas siskamling di pos jaga mereka. Nisa duduk di depan jendela sembari celingak-celinguk melongok keluar. Ia menyelimuti tubuh dan kepalanya dengan sarung. Pandangannya menyapu garasi, teras, halaman depan, dan area depan rumah yang diterangi oleh lampu jalan. Si anjing hitam terlihat mondar-mandir di depan pagar, sesekali menguap dan mengendus-endus bak sampah yang ada di seberang rumah Nisa.
Tak lama kemudian, muncul tiga ekor kucing jalanan. Spontan Nisa duduk tegak untuk memperhatikan mereka dengan seksama, dan siap-siap berlari ke luar untuk melerai kalau mereka mulai berkelahi. Di luar dugaannya, ketiga ekor kucing tersebut mengacuhkan si anjing hitam yang hanya berdiri mengamati. Mereka cuma mengais-ngais bak sampah mencari makanan sisa, saling bersenda gurau, bahkan dua di antaranya sempat kawin diiringi dengan erangan-erangan binal. Tak ada interaksi, apalagi perkelahian, dengan si anjing.
              Nisa mulai mengantuk. Ia memeluk kedua kakinya yang diangkat ke atas kursi, membenamkan kepalanya di antara dua lutut, tetapi ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak ketiduran. Rasa penasarannya terlampau besar dan ia harus mendapatkan penjelasan mengapa si anjing hitam punya begitu banyak bekas luka, meskipun Nisa yakin anjing tersebut tidak agresif. Namun jika binatang itu memang ternyata berbahaya, apakah anjing tersebut sebaiknya disingkirkan? Disuntik mati di penampungan hewan? Dijual ke lapo? Tegakah dirinya? Nisa bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.   
Seandainya Akung masih ada, mungkin Akung punya jawabannya, pikir Nisa. Kebijakan dan kemampuan observasi Akung tetap tajam sampai akhir hayatnya, meskipun fisik beliau mengkhianati kemudaan pikirannya. Nisa mengingat-ingat Akung sambil, tanpa sadar, memijat-mijat jarinya sendiri. Pikirannya tambah terusik memikirkan cincin Akung yang hilang.
              Nisa melirik ponselnya. Tepat pukul tiga pagi. Untuk mendistraksi rasa kantuknya, ia memainkan senter yang ada di ponselnya. Diarahkannya ke luar jendela, ke arah langit kota yang penuh polusi dan gelap tak berbintang, lalu ke arah si anjing hitam.
Pada saat itu, jantung Nisa mendadak terasa berhenti berdegup. Seketika, ia bisa merasakan titik-titik keringat di hidungnya terbit dengan cepat. Nisa tidak bisa bergerak ataupun bersuara, meski ia ingin sekali menjeritkan nama Tuhan, menjeritkan ayat apapun yang ia ingat dari kitab suci, atau berteriak memanggil ayahnya, yang kemungkinan sedang terbangun untuk beribadah di sepertiga malam ini. Tetapi pita suara Nisa seakan hilang, dan ia hanya bisa mematung melihat apa yang hadir di luar pagar rumahnya.
              Di sana, si anjing hitam berdiri tegak menghadap kanan jalan, seperti menantang sesuatu. Di hadapannya, Iblis bergerak mendekat.
              Nisa belum pernah melihat Iblis, tetapi tidak ada keraguan di hatinya, bahwa makhluk yang tengah ia lihat adalahnya.
              Makhluk itu berbentuk seorang anak perempuan berambut panjang hingga menyentuh pahanya. Ia mengenakan gaun yang warnanya terlihat berubah-ubah di mata Nisa—kadang putih, kadang kelabu. Ia tampak melayang, tidak seperti melangkah. Sosoknya kabur, seakan-akan ada asap mengelilinginya, sehingga pandangan Nisa terhadap Sang Iblis bagaikan lensa kamera yang tidak bisa fokus.
Si anjing hitam mengeluarkan suara geraman yang dalam. Ekornya lurus kaku ke belakang, kedua telinganya berdiri tegak, dan kakinya mengambil posisi ancang-ancang. Ketika anak manusia jadi-jadian itu berdiri tepat di hadapan si anjing hitam, ia membungkukkan badannya dan mengucapkan sesuatu. Nisa bisa mendengarnya. Demi Tuhan, Nisa bisa mendengarnya. Sang Iblis mendesiskan serangkaian kalimat dalam bahasa asing yang terdengar lebih tua dari peradaban manusia, lebih tua dari Muhammad, lebih tua dari Isa, lebih tua dari Adam sendiri.
Seluruh bulu di tubuh Nisa berdiri.
Sambil tersenyum, anak perempuan itu menjulurkan tangganya, hendak mengelus kepala si anjing hitam, tetapi binatang itu segera menggigitnya dengan ganas. Wajah sang Iblis mendadak tua dan berkerut-kerut murka. Mulutnya yang menganga tanpa suara tampak gelap, seperti sumur tak berdasar. Sedetik kemudian, anak perempuan itu berubah menjadi seekor ular besar dengan sisik hitam-abu. Panjang ular tersebut mencapai sepuluh meter, dengan mulut yang dilengkapi dengan dua taring panjang yang tampak berkilat-kilat, bahkan di tengah gelapnya malam.
Ular tersebut memanjangkan badannya, lalu membuka mulutnya lebar-lebar. Dengan secepat kilat, sang ular menerjang leher si anjing dan menghujamnya dengan kedua taringnya hingga ia sontak belingsatan. Si anjing hitam limbung, dan sang ular menggunakan kesempatan itu untuk melilit sekujur badan si anjing. Setengah mati si anjing berusaha mencabik dan menggigit sang ular, sebelum ia mati remuk dalam belitannya. Mereka berguling-guling di jalanan, saling menyerang dengan buas dalam sunyi, tanpa suara.
Dengan bersimbah keringat dingin, Nisa terpaku menyaksikan seluruh adegan tersebut di balik teralis jendela rumahnya. Ia setengah yakin ini semua hanya mimpi buruk, sampai tiba-tiba terdengar suara parau menggema dari arah timur komplek perumahan. Suara tersebut diiringi oleh bunyi klontang-klonteng dengan ritme yang tetap. Teng… teng, teng! Teng… teng, teng!
“Sahur… sahur!”
Nisa tersentak. Ia lupa bahwa sejak dua bulan lalu, setiap Senin dan Kamis subuh para pemuda masjid rutin membangunkan warga kompleks untuk berpuasa sunnah. Sebagian dari mereka berseru-seru lewat toa masjid, sebagian lainnya memukul-mukul tiang listrik di depan masjid. Perhatian Nisa sejenak teralih, namun dengan panik, matanya segera kembali mencari-cari si anjing dan sang Iblis di kegelapan.
Ternyata si anjing hitam berhasil melepaskan diri dari sang ular jahanam. Seiring dengan seruan sahur, makhluk itu melata menjauh ke arah sebuah pohon mangga besar di ujung jalan kompleks perumahan, lantas bergerak melingkari batang pohon tua tersebut sebelum menghilang di balik dedaunannya yang rimbun.
Si anjing hitam tetap kokoh berdiri demi memperhatikan Sang Iblis, sampai makhluk tersebut benar-benar tak terlihat. Lidah si anjing menjulur panjang, badannya sesekali oleng, namun padangannya tetap awas dan ekornya tetap lurus ke belakang. Setelah yakin sang Iblis tidak akan kembali malam hari itu, anjing tersebut ambruk ke aspal. Badannya gemetar dan napasnya tersengal-sengal.
Nisa berlari ke luar pagar rumahnya, menuju si anjing yang kini terbaring kelelahan. Ia mengelus-elus kepalanya, lalu mengelap luka-luka baru di tubuh si anjing dengan sarung, sampai sarung tersebut berbau anyir darah. Mata kiri anjing tersebut bengkak dan bentuk badannya terlihat memilukan dengan bentuk rusuk yang aneh, sehingga Nisa yakin ular besar tadi telah meremuk tulang-tulang rusuk tersebut. Dengan tertatih-tatih, Nisa menyeret si anjing hitam ke teras rumah, kemudian membungkus badannya dengan sarung. Ia tidak peduli kalau nanti Abi tahu.
Di teras rumah Nisa, kepala anjing tersebut mendadak tegak, sebelum ia memuntahkan cairan kental berwarna kuning ke lantai garasi. Nisa setengah melompat ke belakang, menghindari muncratan muntah tersebut. Setelah itu, kepala si anjing kembali ambruk ke lantai.
Ada sesuatu di genangan muntahan si anjing yang menangkap mata Nisa. Dengan ujung gagang sapu yang ada di garasi, Nisa mengorek genangan muntah itu dan menemukan cincin berbatu giok milik Akung. Sekonyong-konyong bau amis darah si anjing berganti dengan bau semir rambut bercampur aroma kopi tubruk kesukaan Akung. Telapak tangan dan kaki Nisa mendadak dingin. Ia memejamkan matanya sesaat, berusaha mencerna seluruh kejadian malam ini.
Namun Nisa gagal mendapatkan logika. Ia hanya merasakan airmata menggenang di pelupuk matanya. Ketika ia membuka mata, si anjing hitam sudah berhenti terengah-engah dan matanya menatap kosong ke luar halaman rumah. Nisa memegang kedua kaki depan anjing tersebut dengan erat. “Kung, terima kasih, ya…” ia berbisik. Untuk kedua kalinya, kakek Nisa pergi saat sedang dalam genggaman tangannya.
Ketika azan Subuh menggema, Nisa akhirnya paham bahwa makhluk yang datang ke rumah Nisa malam itu tidak selalu datang setiap malam. Tetapi yang pasti makhluk itu datang, membawa nasib sial bersamanya. Nisa tidak tahu mengapa dirinya, mengapa keluarganya, mengapa rumahnya, dan sejujurnya, ia tidak ingin tahu.
Selama beberapa waktu, Nisa dan ayahnya berhasil dilindungi oleh kakeknya, sang penjaga, dari malapetaka dan marabahaya. Sesaat hati Nisa terpelintir rasa trenyuh, tetapi sejurus kemudian, segera tergantikan dengan perasaan takut, membayangkan apa yang akan terjadi padanya dan Abi esok hari dan seterusnya, setelah kini Akung pergi selamanya.

(image credit: Matt Huynh)

9 comments:

Sandra Hamidah said...

Bagus kok kak, terkadang orang liat dari penampilan saja ya, hati orang siapa yang tahu 😃

R said...

cerpennya bagus Mbak Laila...

wina said...

seram

puellavicus said...

Bagus kok cerpennya mbak..

Unknown said...

kayak gini ditolak ya lei... ketat sekali yah persyaratan untuk bisa dimuat di koran..

sebut saja melati said...

ceritanya sangat gripping, seperti baca cerpennya Roald Dahl

Unknown said...

Aku sukaaaaaa Mbak Laila. Memang genre kesukaanku sih yang begini 😆

Anonymous said...

yg dulu cerpen selingkuhan itu bagus

Unknown said...

Whoaaa 👏🏻👏🏻👏🏻 Lagi lagi lagi..

Post a Comment