
Salah satu miskonsepsi besoaaar tentang penulis adalah: kalau dia suka / bisa menulis dengan satu gaya, maka dia bisa menulis dengan gaya apapun. Apalagi di era content writing gini, dimana para content writer dituntut bisa memproduksi berbagai tulisan dengan berbagai gaya.
Namun pemirsa, penulis bukanlah perenang Olimpiade, yang harus bisa menguasai bermacam gaya sekaligus. All writers write better in one way than the other.
Kalau ditanya, lo paling suka nulis apaan, La? Jelas: nulis esai di blog. Apalagi blog gue adalah blog non-komersil dan non-citra, maka gue terbebas dari beban untuk membatasi gaya tulisan dan isi kepala. Pun kalau gue nulis di luar blog, gaya gue jelas: esai, non-fiksi, dan non-faedah :D
Kalau ditanya lagi, lo paling sebel nulis apaan, La? Jawabannya juga jelas: nulis fiksi.
It's funny how I absolutely love reading fiction (and hate reading non-fiction), but very terrible in writing it (and pretty good in writing non-fiction). Gue pernah, sih, usaha bikin fiksi, tapi fiksi-fiksi super pendek yang jadinya norak juga. Pembaca lama blog ini pasti tau ya, karena biasanya gue post di sini, kok.
Awal tahun ini, gue menantang diri sendiri untuk membuat sebuah karya fiksi yang agak panjang. As in, 3000-kata panjang. So I did, dan hasilnya busuk setengah mati.
"Aaah, lo merendah untuk nyari pujian ya, La?" I wish that was the case, sayangnya nggak, karena validasi atas keburukan karya gue datang dari 1) dua orang pemred senior yang bilang bahwa tulisan gue "perlu banyak perbaikan", dan 2) tiga koran nasional yang menolak cerpen gue. Wow, kurang valid apa coba kebusukan karya gue itu? *ketawa* *lalunangis*
Singkat kata, kepercayaan diri gue untuk nulis fiksi hancur lebur. Tapi apakah gue kapok? Alhamdulillah, nggak. Abis itu gue malah nulis fiksi panjang lagi, dan tentu saja, DITOLAK LAGI OLEH PELBAGAI PUBLIKASI NASIONAL, hahahah, sethan.
Tapi nggak apa-apa, kok. Konon, penulis novel di luar negeri aja sering kecewa dengan novel yang mereka buat, sampai-sampai mereka bisa ngebuang satu novel karya sendiri sebelum di-publish, karena kepengen tulis ulang dari awal. Gila, harus punya kebesaran hati luar biasa, tuh, untuk melakukan hal tersebut. Gue merasa nggak berhak kecewa cuma karena cerpen gue nggak pernah ada yang mau terima, bahkan sampai gue mati (hei, mungkin karya gue bakal laku nanti, posthumous? *ngarep*).
Mungkin satu-satunya publikasi yang mau memuat cerpen gue, tuh, mading kampus kali, ya. Itu pun setelah redakturnya gue sogok rokok dan bakso. Atau jangan-jangan, mading SMA.
***
Ada, sih, satu publikasi yang pasti mau memuat tulisan fiksi gue, yaitu... blog gue sendiri. Zzzzz.
Karena gue yakin nggak akan ada media massa yang mau memuat cerpen gue, maka gue post di sini aja, deh. Plis banget jangan ada yang copas atau plagiat plek-plek, ya. Tanpa harus gue sumpahin terlebih dahulu, I trust you all.
Ini adalah cerpen pertama gue yang proper atau "tertib". As in, panjangnya lebih dari 1,000 kata, dan punya alur yang jelas. Gue menghindar jauh-jauh dari genre drama dengan tema cerita yang menye-menye, dan menantang diri untuk menulis dalam genre favorit gue (apa hayo?). Sebagai rookie, gue terinspirasi habis-habisan (baca: semi nyontek) dari salah satu cerpen kanon seorang penulis legendaris, Neil Gaiman. Yha, mungkin makanya cerpen ini ditolak dimana-mana, ya? Hahahaha. Geblek lu, La.
***
SANG PENJAGA
Laila A.
Setiap hari, ada saja kucing jalanan
mampir ke rumah Nisa. Biasanya hanya
satu-dua ekor, namun pernah sampai lima ekor bergantian dalam sehari. Mereka
mengeong-ngeong kencang, atau berusaha menyelinap masuk lewat jeruji pagar. Kucing-kucing
tersebut seperti tahu bahwa salah satu penghuni rumah itu, Nisa, tidak tega
membiarkan mereka terlunta-lunta.
Sudah lama Nisa ingin mengadopsi salah
satu—atau beberapa—kucing liar di sekitar rumahnya, tapi ia tidak bisa
berhubung Abi, ayahnya, keberatan. Akung, almarhum kakeknya, sebenarnya mendukung
niat Nisa, namun ketika Akung mulai sakit-sakitan, beliau selalu kalah suara
dengan Abi. Maka Nisa hanya bisa memberi makan dan mengobati luka-luka lusinan
kucing liar yang mampir ke rumahnya, sebelum melepaskan mereka kembali.
Ada banyak kucing liar yang pernah singgah
di rumah Nisa, maka ia tidak pernah mengingat mereka satu persatu secara
spesifik. Tetapi Nisa tidak akan pernah lupa ketika pada suatu hari, seekor anjing menghampiri rumahnya.
Bulan lalu, anjing itu begitu saja muncul
di depan pagar rumah Nisa. Tingginya hampir mencapai setengah paha orang
dewasa, bulunya berwarna hitam pekat, kakinya jenjang, moncongnya panjang, badannya
langsing namun berotot. Matanya besar, tenang, dan, anehnya, tampak berwarna hijau
tua seperti dasar telaga yang dipenuhi lumut. Nisa kagum sekaligus sedikit penasaran.
Bagaimana bisa mata anjing berwarna kehijauan? Apakah binatang ini mengidap
katarak? Sepertinya tidak, Nisa membatin. Sorot matanya tajam dan terlihat
seperti sorot mata manusia. Ia tampak sehat, kuat, awas, dan tidak terlantar.
Anjing itu berdiri di depan pintu pagar
Nisa pada suatu sore, ketika rumah Nisa sedang ramai oleh sanak saudara yang
menghadiri tahlilan tujuh hari wafatnya Akung.
Sebelum ia wafat, Akung dirawat di rumah
sakit selama tiga minggu akibat berbagai komplikasi di organ dalam tubuhnya
yang hampir genap berusia delapan puluh delapan tahun. Selama tiga minggu tersebut,
Nisa banyak bolos kuliah karena menemani beliau di rumah sakit, tetapi Nisa
tidak pernah keberatan karena semenjak ibunya meninggal, Nisa menjadi sangat
dekat dengan kakeknya tersebut. Seperti Ibu, Akung tak pernah bosan cerewet
mengingatkan Nisa untuk disiplin sholat tepat waktu, mengaji, dan ke masjid,
meski tak jelas untuk apa Nisa sering-sering ke masjid. Pun seperti Ibu, Akung
selalu memuji kopi dan roti bakar buatan Nisa, mendengarkan keluh kesahnya soal
kuliah, dan meminta Nisa untuk menutupi uban-ubannya dengan sisir bersalut
semir berwarna hitam pekat. Momen kesukaan Nisa adalah setiap kali Akung membagi
kisah-kisahnya semasa bekerja sebagai salah satu perwira ajudan kepresidenan, menjaga
Sang Proklamator siang dan malam.
Nisa selalu menyimak kisah-kisah seru
Akung sambil memijat jemarinya yang rapuh karena rematik. Selalu tersemat
cincin berbatu giok di jari manis Akung, yang sepertinya tak pernah ia
lepaskan. “Ini cincin jimat dari Presiden, lho,” kata Akung seraya terkekeh.
Akung menghembuskan napas terakhirnya ketika
Nisa sedang menggenggam tangannya, di sisi dipan rumah sakit. Setelah itu, airmata
Nisa tidak berhenti mengalir selama tiga hari.
Sore itu, Nisa memperhatikan apakah si
anjing menunjukkan sikap agresif atau tanda-tanda rabies. Sepertinya tidak,
tetapi Nisa tetap menimbang-nimbang untuk mengusirnya—setidaknya membuatnya
mangkal agak jauh dari rumahnya—karena anjing dengan penampilan semengancam itu
pasti akan membuat para tamu senewen untuk hilir mudik.
Namun selagi Nisa mengumpulkan keberanian untuk
menghalaunya, anjing asing itu perlahan menyingkir, lalu duduk di ujung gang
komplek, memberikan keleluasaan bagi para tamu untuk keluar masuk. Maka Nisa
segera silam ke dalam rumah, dengan batang hidung yang dipenuhi titik-titik
keringat kecemasan.
Menjelang maghrib, ketika semua tamu sudah
pulang dan rumah Nisa kembali sepi, anjing itu masih ada di ujung gang, dan
masih memandangi rumah Nisa dengan seksama.
***
Setiap sore, anjing hitam itu selalu
mondar-mandir di depan rumah Nisa. Sikapnya tenang; tidak menggonggong, tidak
mengaduk-aduk tong sampah, tidak mengganggu kucing-kucing yang berseliweran. Tetapi
akibat kehadirannya, kucing-kucing kompleks tidak berani lagi menghiba-hiba di
depan rumah Nisa. Tanpa ngeongan para kucing liar, rumah Nisa jadi semakin
sepi, dan hati Nisa bertambah hampa. Ia jadi lebih sering merindukan Akung.
Selama beberapa waktu, Nisa tidak terlalu
memperhatikan anjing asing tersebut karena ia sibuk dengan urusan ujian kampus.
Yang ia tahu, si anjing hitam rutin tidur di depan rumah Nisa semalaman, dan
menghilang pada pagi harinya. Sore hari, ia muncul lagi. Begitu terus, setiap
hari.
Pada suatu siang, sepulang kuliah, ketika ia
akhirnya selesai berjibaku dengan ujian kampus, Nisa baru memperhatikan si anjing
hitam. Nisa terkejut melihat kondisi binatang tersebut: badannya penuh luka
yang tampak dalam, jalannya pincang, dan terdapat bekas gigitan di moncongnya.
“Dasar anjing edan,” batin Nisa dengan iba. Dengan luka-luka separah ini, Nisa membayangkan
setidaknya ada tiga ekor kucing kampung yang menjadi lawan berkelahinya
semalaman.
Dengan ragu, Nisa mendekati anjing hitam
yang sedang tersungkur di depan pagar rumahnya tersebut. Nisa berjongkok di hadapannya,
lalu perlahan menyodorkan tangannya ke moncong panjang anjing itu. Nisa setengah
mati takut jari-jarinya akan dicaplok, tapi teman Nisa, Michael, memelihara banyak
anjing dan ia pernah bilang, cara terbaik untuk berkenalan dengan binatang itu
adalah dengan menyodorkan tangan kita. Si anjing akan mengendusnya, kemudian
rasa percayanya akan tumbuh.
Setelah si anjing hitam mengendus dan
menjilat tangan Nisa, Nisa membawanya masuk ke teras rumah, kemudian melirik
jam di ponselnya dengan cemas. Setiap Jumat, biasanya Abi pulang kantor lebih
cepat agar bisa memberi kultum Maghrib di masjid. Rasa takut Nisa pada anjing ini
berganti kepada rasa takut kepada Abi. Jika beliau sampai tahu Nisa dijilati
anjing, ia bisa mengamuk. Mencuci tangan tujuh kali dengan air dicampur tanah
tidak cukup baginya, apalagi kalau ia sampai tahu Nisa membawa anjing ini menginjak
teras rumah. Nisa teringat kakeknya. Akung juga tidak akan setuju dengan
kehadiran anjing di rumah, tetapi Nisa yakin, Akung akan lebih bersimpati
kepada anjing malang ini.
Tetapi Nisa tetap membersihkan luka-luka si
anjing hitam, serta memberinya makan dan minum. Anjing tersebut membalas
kebaikan Nisa dengan tatapan berterimakasih, sebelum ia beranjak dan kembali
duduk di luar pagar. Nisa menghela napas lega karena anjing tersebut tidak
lantas betah bercokol di teras rumahnya.
Sore itu, langit mendung dan angin bertiup
kencang. Tidak ada kucing-kucing liar keluyuran, sebagaimana biasanya sebelum
hujan turun. Nisa berharap semoga malam ini, si anjing hitam tidak terlibat
perkelahian lagi.
***
Dua hari kemudian, Nisa menemukan si anjing
hitam dalam keadaan semakin parah. Luka-lukanya bertambah banyak dan dalam, padahal
luka-luka lamanya belum kering betul. Sehari setelah itu, mata kirinya tercabik
sesuatu hingga bernanah. Seminggu kemudian, tampak bercak darah kering di
sekitar mulutnya dan anjing tersebut begitu lemas, ia nyaris tidak bisa
berdiri. Apa yang kamu lawan, hei, anjing hitam? Nisa bertanya-tanya dalam
hati. Kucing jalanan? Musang? Preman mabuk yang melampiaskan emosi biadabnya
kepadamu?
Nisa selalu berusaha mengobati si anjing hitam
dengan diam-diam, namun hidup di komunitas perumahan padat yang terlampau guyub
membuat Nisa nyaris tidak dapat menyembunyikan apapun kegiatannya dari
bisik-bisik tetangga.
Sesuai dugaan Nisa, keesokan harinya Abi
mengomel lantaran ia mendapat laporan dari para jiran bahwa putrinya belakangan
akrab dengan seekor anjing liar. “Kenapa kamu bawa najis ke rumah ini? Untuk
apa juga kamu ngurusi anjing jalanan?!”
Seumur hidupnya, Nisa diajari untuk takut
dan membenci anjing akibat status najisnya dalam agama yang ia anut, tapi Nisa
tidak tega setiap kali menemukan si anjing hitam dalam keadaan babak belur.
Akhirnya Nisa membujuk temannya, Michael,
untuk mengadopsi sementara si anjing hitam. Setidaknya, anjing itu akan jadi berjauhan
dari komplotan kucing komplek yang Nisa curigai mengeroyoknya tiap malam. Nisa
sekaligus berharap kemarahan Abi jadi akan mereda.
Setelah bernegosiasi dengan alot—Nisa berjanji
akan membantu Michael mengerjakan tugas kuliahnya selama si anjing hitam berada
di rumahnya—akhirnya Michael setuju. Pada suatu siang, Michael datang dengan sebuah
mobil van, lengkap dengan kandang milik salah satu anjing peliharaannya, lalu
membawa si anjing hitam pergi.
Namun selama enam hari berada di rumah
Michael, si anjing hitam mengamuk dan tidak mau makan. Di hari ketujuh, Michael
menyerah dan menelpon Nisa untuk mengembalikan anjing itu.
Nisa kalut mendengar laporan temannya, terutama
gara-gara selama enam hari si anjing hitam berada di rumah Michael, Nisa
tertiban sial bertubi-tubi. Abi nyaris dipecat dari kantornya atas sebuah
tuduhan tak berdasar, cincin giok kesayangan Akung tak bisa ditemukan ketika
pada suatu ketika Abi berinisiatif mencarinya, dan dalam perjalanannya ke
kampus, ojek Nisa terserempet angkot sehingga ia melewatkan ujian sebuah mata
kuliah penting. Kalau si anjing hitam dikembalikan, persoalan hidup Nisa jelas
akan bertambah.
Setidaknya, sewaktu Michael mengambalikan
si anjing hitam ke rumah Nisa, kondisi fisik binatang tersebut kelihatan jauh
lebih baik. Lukanya sudah mengering semua, dan langkahnya kembali tegap. Tidak
ada lagi nanah dari bekas cakar di dekat matanya. Ketika mobil van Michael
berhenti di depan rumah Nisa, si anjing hitam langsung melompat keluar dari
kandangnya dan kembali mondar-mandir di depan pagar dengan siaga. Ia tidak
mendekati Nisa, seakan tahu tentang ketidaksukaan ayah Nisa kepadanya.
Di luar dugaan Nisa, Abi tidak gusar atas
kembalinya si anjing hitam ke komplek perumahan mereka. Hati ayah Nisa sedang lega,
karena tak lama setelah si anjing hitam kembali, atasan yang memfitnahnya terbukti
korupsi. Hasil ujian susulan Nisa pun ternyata gemilang. Dalam hati Nisa merasa
bahwa anjing itu sebenarnya membawa keberuntungan, tetapi ia tidak berani
menyampaikan hal tersebut ke ayahnya. Lagipula, cincin giok Akung belum berhasil
ditemukan, dan Abi masih gelisah dengan fakta tersebut.
Nisa sendiri juga gelisah karena misteri
yang belum kunjung terpecahkan: apa yang menyebabkan si anjing hitam seringkali
babak belur? Apakah ada orang gila—atau binatang liar berbahaya—berkeliaran
pada malam hari di komplek perumahan Nisa, dan seringkali terlibat perkelahian
dengan si anjing?
***
Nisa bukan
orang yang suka begadang. Ia bisa dengan mudah bangun subuh-subuh tanpa alarm,
sebelum azan berkumandang, tapi ia tidak pernah kuat untuk tetap terjaga lewat
dari jam sebelas malam.
Tetapi pada Kamis malam ini, Nisa bertekad
untuk begadang. Jika perlu, semalaman suntuk.
Pada jam setengah satu malam, saat Nisa
yakin Abi sudah terlelap, ia mengendap-endap keluar dari kamarnya. Di lantai
dua rumah Nisa terdapat ruangan kecil yang difungsikan sebagai perpustakaan mini.
Ruangan kecil ini terletak persis di seberang kamar Nisa, dengan jendela
berteralis yang tepat menghadap pagar rumah.
Nisa menyeret
kursi dari kamar, lalu memposisikannya di depan jendela. Ia sengaja tidak
menyalakan lampu utama, sebab jika Abi terbangun malam-malam, beliau akan heran
melihat lampu di lantai dua menyala. Nisa hanya membawa ponselnya yang sekaligus
berfungsi sebagai senter, selembar sarung, serta secangkir kopi.
Malam itu
suasana sepi sekali. Nisa hanya bisa mendengar suara jangkrik dan detak jam
dinding. Tak ada sayup-sayup musik dangdut yang kadang disetel oleh para
petugas siskamling di pos jaga mereka. Nisa duduk di depan jendela sembari
celingak-celinguk melongok keluar. Ia menyelimuti tubuh dan kepalanya dengan
sarung. Pandangannya menyapu garasi, teras, halaman depan, dan area depan rumah
yang diterangi oleh lampu jalan. Si anjing hitam terlihat mondar-mandir di
depan pagar, sesekali menguap dan mengendus-endus bak sampah yang ada di
seberang rumah Nisa.
Tak lama kemudian, muncul tiga ekor kucing
jalanan. Spontan Nisa duduk tegak untuk memperhatikan mereka dengan seksama,
dan siap-siap berlari ke luar untuk melerai kalau mereka mulai berkelahi. Di
luar dugaannya, ketiga ekor kucing tersebut mengacuhkan si anjing hitam yang
hanya berdiri mengamati. Mereka cuma mengais-ngais bak sampah mencari makanan
sisa, saling bersenda gurau, bahkan dua di antaranya sempat kawin diiringi
dengan erangan-erangan binal. Tak ada interaksi, apalagi perkelahian, dengan si
anjing.
Nisa mulai
mengantuk. Ia memeluk kedua kakinya yang diangkat ke atas kursi, membenamkan kepalanya
di antara dua lutut, tetapi ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak ketiduran.
Rasa penasarannya terlampau besar dan ia harus mendapatkan penjelasan mengapa
si anjing hitam punya begitu banyak bekas luka, meskipun Nisa yakin anjing tersebut
tidak agresif. Namun jika binatang itu memang ternyata berbahaya, apakah anjing
tersebut sebaiknya disingkirkan? Disuntik mati di penampungan hewan? Dijual ke
lapo? Tegakah dirinya? Nisa bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.
Seandainya Akung masih ada, mungkin Akung
punya jawabannya, pikir Nisa. Kebijakan dan kemampuan observasi Akung tetap
tajam sampai akhir hayatnya, meskipun fisik beliau mengkhianati kemudaan
pikirannya. Nisa mengingat-ingat Akung sambil, tanpa sadar, memijat-mijat
jarinya sendiri. Pikirannya tambah terusik memikirkan cincin Akung yang hilang.
Nisa melirik ponselnya. Tepat pukul
tiga pagi. Untuk mendistraksi rasa kantuknya, ia memainkan senter yang ada di
ponselnya. Diarahkannya ke luar jendela, ke arah langit kota yang penuh polusi
dan gelap tak berbintang, lalu ke arah si anjing hitam.
Pada saat itu, jantung Nisa mendadak
terasa berhenti berdegup. Seketika, ia bisa merasakan titik-titik keringat di
hidungnya terbit dengan cepat. Nisa tidak bisa bergerak ataupun bersuara, meski
ia ingin sekali menjeritkan nama Tuhan, menjeritkan ayat apapun yang ia ingat
dari kitab suci, atau berteriak memanggil ayahnya, yang kemungkinan sedang
terbangun untuk beribadah di sepertiga malam ini. Tetapi pita suara Nisa seakan
hilang, dan ia hanya bisa mematung melihat apa yang hadir di luar pagar
rumahnya.
Di sana,
si anjing hitam berdiri tegak menghadap kanan jalan, seperti menantang sesuatu.
Di hadapannya, Iblis bergerak mendekat.
Nisa belum
pernah melihat Iblis, tetapi tidak ada keraguan di hatinya, bahwa makhluk yang
tengah ia lihat adalahnya.
Makhluk
itu berbentuk seorang anak perempuan berambut panjang hingga menyentuh pahanya.
Ia mengenakan gaun yang warnanya terlihat berubah-ubah di mata Nisa—kadang
putih, kadang kelabu. Ia tampak melayang, tidak seperti melangkah. Sosoknya
kabur, seakan-akan ada asap mengelilinginya, sehingga pandangan Nisa terhadap
Sang Iblis bagaikan lensa kamera yang tidak bisa fokus.
Si anjing hitam mengeluarkan suara geraman
yang dalam. Ekornya lurus kaku ke belakang, kedua telinganya berdiri tegak, dan
kakinya mengambil posisi ancang-ancang. Ketika anak manusia jadi-jadian itu
berdiri tepat di hadapan si anjing hitam, ia membungkukkan badannya dan
mengucapkan sesuatu. Nisa bisa mendengarnya. Demi Tuhan, Nisa bisa
mendengarnya. Sang Iblis mendesiskan serangkaian kalimat dalam bahasa asing
yang terdengar lebih tua dari peradaban manusia, lebih tua dari Muhammad, lebih
tua dari Isa, lebih tua dari Adam sendiri.
Seluruh bulu di tubuh Nisa berdiri.
Sambil tersenyum, anak perempuan itu menjulurkan
tangganya, hendak mengelus kepala si anjing hitam, tetapi binatang itu segera
menggigitnya dengan ganas. Wajah sang Iblis mendadak tua dan berkerut-kerut
murka. Mulutnya yang menganga tanpa suara tampak gelap, seperti sumur tak
berdasar. Sedetik kemudian, anak perempuan itu berubah menjadi seekor ular besar
dengan sisik hitam-abu. Panjang ular tersebut mencapai sepuluh meter, dengan
mulut yang dilengkapi dengan dua taring panjang yang tampak berkilat-kilat,
bahkan di tengah gelapnya malam.
Ular tersebut memanjangkan badannya, lalu
membuka mulutnya lebar-lebar. Dengan secepat kilat, sang ular menerjang leher
si anjing dan menghujamnya dengan kedua taringnya hingga ia sontak belingsatan.
Si anjing hitam limbung, dan sang ular menggunakan kesempatan itu untuk melilit
sekujur badan si anjing. Setengah mati si anjing berusaha mencabik dan
menggigit sang ular, sebelum ia mati remuk dalam belitannya. Mereka berguling-guling
di jalanan, saling menyerang dengan buas dalam sunyi, tanpa suara.
Dengan bersimbah keringat dingin, Nisa
terpaku menyaksikan seluruh adegan tersebut di balik teralis jendela rumahnya.
Ia setengah yakin ini semua hanya mimpi buruk, sampai tiba-tiba terdengar suara
parau menggema dari arah timur komplek perumahan. Suara tersebut diiringi oleh
bunyi klontang-klonteng dengan ritme yang tetap. Teng… teng, teng! Teng… teng,
teng!
“Sahur… sahur!”
Nisa tersentak. Ia lupa bahwa sejak dua
bulan lalu, setiap Senin dan Kamis subuh para pemuda masjid rutin membangunkan
warga kompleks untuk berpuasa sunnah. Sebagian dari mereka berseru-seru lewat
toa masjid, sebagian lainnya memukul-mukul tiang listrik di depan masjid. Perhatian
Nisa sejenak teralih, namun dengan panik, matanya segera kembali mencari-cari
si anjing dan sang Iblis di kegelapan.
Ternyata si anjing hitam berhasil
melepaskan diri dari sang ular jahanam. Seiring dengan seruan sahur, makhluk
itu melata menjauh ke arah sebuah pohon mangga besar di ujung jalan kompleks
perumahan, lantas bergerak melingkari batang pohon tua tersebut sebelum menghilang
di balik dedaunannya yang rimbun.
Si anjing hitam tetap kokoh berdiri demi memperhatikan
Sang Iblis, sampai makhluk tersebut benar-benar tak terlihat. Lidah si anjing
menjulur panjang, badannya sesekali oleng, namun padangannya tetap awas dan ekornya
tetap lurus ke belakang. Setelah yakin sang Iblis tidak akan kembali malam hari
itu, anjing tersebut ambruk ke aspal. Badannya gemetar dan napasnya tersengal-sengal.
Nisa berlari ke luar pagar rumahnya,
menuju si anjing yang kini terbaring kelelahan. Ia mengelus-elus kepalanya, lalu
mengelap luka-luka baru di tubuh si anjing dengan sarung, sampai sarung
tersebut berbau anyir darah. Mata kiri anjing tersebut bengkak dan bentuk
badannya terlihat memilukan dengan bentuk rusuk yang aneh, sehingga Nisa yakin
ular besar tadi telah meremuk tulang-tulang rusuk tersebut. Dengan
tertatih-tatih, Nisa menyeret si anjing hitam ke teras rumah, kemudian membungkus
badannya dengan sarung. Ia tidak peduli kalau nanti Abi tahu.
Di teras rumah Nisa, kepala anjing
tersebut mendadak tegak, sebelum ia memuntahkan cairan kental berwarna kuning
ke lantai garasi. Nisa setengah melompat ke belakang, menghindari muncratan
muntah tersebut. Setelah itu, kepala si anjing kembali ambruk ke lantai.
Ada sesuatu di genangan muntahan si anjing
yang menangkap mata Nisa. Dengan ujung gagang sapu yang ada di garasi, Nisa
mengorek genangan muntah itu dan menemukan cincin berbatu giok milik Akung. Sekonyong-konyong
bau amis darah si anjing berganti dengan bau semir rambut bercampur aroma kopi
tubruk kesukaan Akung. Telapak tangan dan kaki Nisa mendadak dingin. Ia
memejamkan matanya sesaat, berusaha mencerna seluruh kejadian malam ini.
Namun Nisa gagal mendapatkan logika. Ia
hanya merasakan airmata menggenang di pelupuk matanya. Ketika ia membuka mata,
si anjing hitam sudah berhenti terengah-engah dan matanya menatap kosong ke
luar halaman rumah. Nisa memegang kedua kaki depan anjing tersebut dengan erat.
“Kung, terima kasih, ya…” ia berbisik. Untuk kedua kalinya, kakek Nisa pergi
saat sedang dalam genggaman tangannya.
Ketika azan Subuh menggema, Nisa akhirnya
paham bahwa makhluk yang datang ke rumah Nisa malam itu tidak selalu datang setiap
malam. Tetapi yang pasti makhluk itu datang, membawa nasib sial bersamanya. Nisa
tidak tahu mengapa dirinya, mengapa keluarganya, mengapa rumahnya, dan
sejujurnya, ia tidak ingin tahu.
Selama beberapa waktu, Nisa dan ayahnya
berhasil dilindungi oleh kakeknya, sang penjaga, dari malapetaka dan
marabahaya. Sesaat hati Nisa terpelintir rasa trenyuh, tetapi sejurus kemudian,
segera tergantikan dengan perasaan takut, membayangkan apa yang akan terjadi
padanya dan Abi esok hari dan seterusnya, setelah kini Akung pergi selamanya.
(image credit: Matt Huynh)
(image credit: Matt Huynh)
9 comments:
Bagus kok kak, terkadang orang liat dari penampilan saja ya, hati orang siapa yang tahu 😃
cerpennya bagus Mbak Laila...
seram
Bagus kok cerpennya mbak..
kayak gini ditolak ya lei... ketat sekali yah persyaratan untuk bisa dimuat di koran..
ceritanya sangat gripping, seperti baca cerpennya Roald Dahl
Aku sukaaaaaa Mbak Laila. Memang genre kesukaanku sih yang begini 😆
yg dulu cerpen selingkuhan itu bagus
Whoaaa 👏🏻👏🏻👏🏻 Lagi lagi lagi..
Post a Comment