Ceritanya, sekitar satu bulan setelah melahirkan Saka, gue mulai resah banget…. pengen travelling ke luar negeri. Duile, bunda, Anda pikir Anda Nikita Willy? Jalan aja masih terseok-seok karena jaitan, kok shombong bener?
Saka 'kan lahir di November. Nah, di bulan Desember, timeline sosmed gue udah rame oleh postingan orang-orang halan-halan akhir tahun. Terasa banget berakhirnya era pandemi, dan dimulainya era ledakan turisme. Orang pada travelling gila-gilaan. Kalau ada tur ke planet Mars, kayaknya bakal dijabanin juga deh sama masyarakat.
Tentu saja gue FOMO, pengen
ikutan. Khususnya ikutan jalan-jalan mancanegara. Padahal Saka juga belum
terlalu terbentuk pola kebiasaan sehari-harinya. Artinya, bayi ini masih
unpredictable. Ente yakin, mau dibawa ke luneg?
Meski begitu, gue
menganggap ini hal yang positif. Karena artinya, Insya Allah postpartum gue
cukup OK. Stamina cukup bagus, nggak punya trauma, dan nggak punya baby blues
sehingga setelah melahirkan, gue bisa punya semangat untuk travelling
sama bayi. Ini beda banget saat gue postpartum Raya, dimana duniaku lamaaa
banget terasa gelap. Bener-bener nggak pengen ngapa-ngapain.
Maka, punya keinginan
travelling ini cukup gue syukuri.
“Tapi ya jangan
pengen-pengen doang! Wujudkan, dong!” begitulah titahku pada Mr. T suamiku,
yang menyambut ide (baca: paksaan) travelling ini dengan lesu. Ya iyalah, wong dia
yang bakal biayain. Plus yang bakal gotong semua koper. Sungguh prospek yang
suram.
Setelah berdiskusi (dan
membujuk, tak lupa ngancem) dengan T, akhirnya OK deh, let’s go.
***
Singkat kata, kami
memutuskan untuk pergi ke Jepang.
Now, here’s what I
think about travelling to Japan, with kids:
Semua ibu tau, nggak ada tuh yang namanya "liburan" bersama anak.
Pergi bareng anak—apalagi anak
yang masih kecil—artinya kita tetap ngasuh, tetap repot, tetap pegel, tetap
punya rutinitas yang sama dengan di rumah. Cuma ganti tempat aje. Alhasil, perjalanan
liburan bisa aja fun, seru, dan menciptakan memori manis, tapi mutlak tetap
bikin capek ortunya. Pulang liburan, ortu nggak ngerasa segar atau rejuvenated.
Malah pengen buru-buru panggil tukang pijet, menyelamatkan badan yang remuk.
Dan menurut gue, kota metropolitan
adalah salah satu destinasi liburan keluarga yang paling cari penyakit, karena lumayan merepotkan.
Gini, kalau kita
liburan ke tempat yang dekat dengan alam, misalnya, resort pantai (Bali, Lombok,
Maldives, Bintan) atau resort pegunungan (Puncak, Ciwidey), mengasuh anak
sebenarnya bisa gampang. Karena saat liburan ke pantai atau gunung, kita bisa
seharian bersantai di resort, yang biasanya di-desain agar sagala aya. View kamar
bagus, halaman luas, ada kolam renang, pantai, room service, restoran, spa, berbagai aktivitas, kids club / playground. Sekeluarga nggak
perlu kemana-mana lagi.
Jadi, mengurus anak bisa lebih gampang.
Tapi kalau kita pergi
ke kota metropolitan – apalagi kota metropolitan yang mahal seperti Singapura,
Tokyo, London, New York – kita nggak mungkin diam di hotel aja. Wong kamarnya
hampir pasti sempit, karena kamar yang luas mahal banget. Dan biasanya, hotelnya juga minim fasilitas. We have to go out and about, menjelajahi kota. Artinya, kita juga harus menavigasi transportasi publik sambil geret anak,
menavigasi toilet umum, nyari tempat makan yang nyaman untuk anak, dan
sebagainya. Capek banget, maleeeh.
Aslinya, gue suka
banget mengunjungi kota metropolitan. Gue jauh lebih milih liburan ke metropolis
daripada ke alam. Lebih suka liat museum nasional daripada liat yang ijo-ijo (kecuali ijo duit, tentunya). Tapi kalau bawa anak, semua jadi lain cerita.
Nah, kenapa liburan
perdana Saka ini ke metropolis Jepang, bukan ke Bali yang lebih gampang, misalnya?
Alasan utama, karena saat pergi, Raya masih 5.5 bulan, jadi belum usia MPASI. Belum harus makan makanan padat. Artinya, dia masih
portable tak-gendong-kemana-mana, karena sumber makanannya masih ASI. Tinggal hap ke ibunya. Nggak perlu disuapin, nggak perlu ngelap cipratan makanan, nggak perlu
pusing dengan GTM, dan nggak perlu bawa peralatan makan seabrek.
Jadi kami manfaatkan
lah golden window ini untuk bawa Saka pergi yang agak jauh. Kalau perjalanannya
ribet dikit, no problem. Toh anaknya cuma bangun – nyusu – tidur. Mudah, bukan?
(ati-ati bunda, yang kepedean gini biasanya cepet kualat).
Setelah Saka MPASI, Insya Allah gue ogah bawa dia kemana-mana sampai balita, hahaha *trauma MPASI era Raya masih terasa bekasnya...*
Alasan kedua, karena ini perjalanan luneg perdana kami, setelah tiga tahun pandemi. Ke Singgapur-Singgapur aja enggak, lho. Jadi pembenaran gue, rindu kepada Terminal 3 CGK ini harus dipuaskan maksimal. Mainnya jauh dikit, dong.
Alasan ketiga, karena
gue sangat familiar dengan Jepang, khususnya Tokyo. Soalnya udah beberapa kali
ke sana ya.
Alasan keempat, seperti
halnya Singapura, Jepang memberikan gue peace of mind: situasinya aman,
lingkungannya bersih banget, dan fasilitas bayinya cukup mumpuni. Hati terasa aman bawa anak-anak ke sana. Nggak seperti Paris, yang namanya "besar" tapi konon katanya banyak copet dan e'ek di jalanan :'(
Alasan kelima, karena
sekarang di Jepang udah banyak orang Indonesia, hahaha. Japan has really become a major mainstream destination for Indonesian tourists, bak Singapura jaman dulu. Kalau ada apa-apa, Insya
Allah gampang minta tolong.
Alasan kelima, jaraknya
pas dari Indonesia. Nggak terlalu jauh.
Meski dengan segala kemudahan Jepang, liburan ke kota metropolis bersama bayi tentu tetep capek. Jadi dari awal, gue udah bilang ke Teguh dan Raya: "Jangan ngarep ini liburan leha-leha ya! Ini namanya cari pengalaman, bukan liburan! Bakal capek!" Udududuh, galak banget kayak emak-emak motoran.
Jadi, melaju ke Nippon Cahya Asia, nih? Melajuuu…
No comments:
Post a Comment