Jun 18, 2018

Hidup Ini Nggak Sederhana, Maka Apa-Apa Jangan Disederhana-Sederhanain


Tau simplifikasi nggak? Simplifikasi adalah sebuah pola pikir yang sangat menyederhanakan logika suatu hal, dan membuat hal tersebut jadi hitam-putih.

Gue perhatikan, terutama di media sosial, netijen Indonesia kok doyan banget mensimplifikasi berbagai masalah.

Misalnya, pas Pilkada DKI 2016 kemarin.

Kita tahu, Anies Baswedan terasosiasi dengan karakter A, B, C, D (yang belum tentu benar), sementara Basuki Tjahaja Purnama terasosiasi dengan karakter E, F, G, H (yang juga belum tentu benar). Trus, misalnya gue mencoblos Anies. Maka orang yang hobinya simplifikasi akan komen, “Lo milih Anies? Wah, lo Muslim konservatif, ya? Anti keberagaman, ya?” Padahal belum tentu. Seperti belum tentu juga semua pemilih Trump adalah rasis dan bigot. Ada banyak, lho, alasan seseorang memilih pemimpin, dan alasannya belum tentu seperti yang lo kira.

Contoh lain. Kalau gue pro-Jokowi, maka orang yang hobinya simplifikasi akan komen, “Wah, komunis ya, lo. Nggak pro umat Muslim, nih.” Sebaliknya, kalau gue pro-Prabowo, dia akan komen, “Lo kok milih orang yang punya sejarah mengekang demokrasi sih, La? Orba banget!”

Apa iya, karakter Jokowi dan Prabowo sehitam-putih itu? Kalau lo percaya, berarti lo kemakan pencitraan dan kampanye masing-masing pihak :D Percaya, deh, di dunia ini, nggak ada yang hitam putih. Semua abu-abu. Nggak ada orang yang betul-betul baik, nggak ada orang yang betul-betul jahat.

Sebagai contoh, Jokowi mungkin punya citra demokratis, pekerja keras, nggak neko-neko, dan overall bukan pemimpin yang akan menyalahgunakan kekuasaannya. Mungkin citra-citra hembodi losyen tersebut nggak salah, tetapi kita nggak boleh tutup mata terhadap kelemahan-kelemahan Jokowi. Misalnya, beliau nggak terlalu luwes ngurusin kasus-kasus kemanusiaan, dan beliau sangat berusaha untuk jadi populis (supaya terpilih lagi di 2019?) sehingga beberapa RUU yang beliau setujui demi memenuhi tuntutan masyarakat sebenarnya berpotensi mengancam HAM, sehingga berbau Orba. Misalnya, RUU Antiterorisme dan RUU Ormas. DAN DESE HOBI AMAT NGE-VLOG, DAH.

Gue nggak sedang berusaha menggiring opini , yaaa. Gue cuma pengen kalian kritis untuk melihat bahwa NGGAK ADA satupun hal (atau sosok) di dunia ini yang hitam putih. Menurut w, dalam memilih pemimpin, yang paling bijak berusaha coblos the lesser of the evil menurut masing-masing aja, deh.

Contoh lain: Novel Baswedan.

Bagi banyak orang, Novel Baswedan adalah seorang pahlawan. Beliau adalah penyidik KPK yang terkenal keras, gigih, dan lurus. Saat beliau diserang air keras sampai matanya buta sebelah pun, Pak Novel menghadapi situasinya dengan sangaaaat ikhlas. Konon, orang-orang yang ngebesuk Pak Novel pas masih dirawat di RS Singapura suka mewek melihat sikapnya yang santai, ikhlas, nggak ada dendam, dan masih bisa banyak senyum, meski mata jadi cacat permanen, duit makin menipis untuk biaya pengobatan, dan polri kelihatan nggak all out ngurusin kasusnya.

Tapi ada sekelompok orang yang nyinyir dan nggak berempati sama Novel. Kenapa? Karena Novel Baswedan adalah seorang Muslim konservatif.

Gue paham banget, citra Muslim konservatif di Indonesia sekarang ini bisa dilihat negatif gegara beberapa aksi berbagai ormas Islam radikal yang mengarah ke perisakan. Dan memang betul, Pak Novel adalah seorang Muslim yang konservatif banget. Beliau mengikuti seluruh sunnah Rosul dengan detil, lho, dari mulai gaya berpakaian sampai tata cara makan (kalau makan nasi kebuli pake tangan, cuma pakai tiga jari, lho).

Sejujurnya, sebagai orang yang liberal, gue sendiri kadang punya prejudice tertentu terhadap konservatisme—apalagi terhadap orang konservatif yang bersinggungan dengan dunia politik—tapi gue berusaha melawan ke-hitam-putihan-pikiran gue. Jangan sampai gue mikir, “Novel Baswedan memang berjasa dalam melawan korupsi, tapi malesin ya. Orangnya fanatik, gitu.”

JANGAN DONG, KAKAAAK… objektif dong, kakaaak…!

Inti utamanya, jangan suka mensimplifikasi atau menghitam-putihkan berbagai hal.

By the way, gue BUKAN mau bicara soal politik, lho. Bicara soal apa, dong?

***

Selama bulan Ramadhan kemarin, sudah pasti berbagai WhatsApp grup aktif banget mem-forward berbagai pesan dan nasihat agama. Rata-rata forward-an nasehat, himbauan, dan siraman rohani yang gue terima oke-oke aja. Sebagian bermangfaat, sebagian kurang bermangfaat tapi masih bisa gue terima. Tapi ada satu pesan WhatsApp yang rada menyinggung gue.

Berikut pesannya:

  





Duh, beb. Jujur, akal budi gue tersinggung dengan pesan tersebut, karena pesan itu sangat mensimplifikasi. Simplifikasinya adalah, kalau lo melakukan hal-hal keduniawian, berarti lo seorang ahli neraka.

Pesan ini juga mengindikasikan bahwa kalau gue sekolah tinggi, bisa pronounce Louis Vuitton, suka toilet duduk, gue juga berarti ahli neraka. Apa hubungannya, sih?

Gue mencoba memahami perspektif si penulis. Mungkin dese eneg banget, karena—baginya—iman Muslim zaman sekarang makin tipis, dan dese menganggap modernisasi adalah biang keroknya. Tapi apakah selalu begitu? Kalau gue seorang manusia yang mengikuti zaman dan berikhtiar di hal-hal keduniawian, apakah berarti iman gue jeblok? Apakah seseorang nggak bisa modern dan beriman sekaligus? Kalau seseorang itu bukan PUTIH, bukan berarti dia HITAM, lho. Bisa jadi dia merah, biru, hijau, atau hitam DAN putih sekaligus.

Jadi jangan berusaha membuat orang jadi beriman dengan menghujat keduniawiannya, dong, sayang. Itu adalah metode yang malas, dengan basis pemikiran menyederhanakan, padahal manusia nggak ada yang sederhana. 

Satu hal lagi: terlepas seseorang tampak modern, ahli neraka, ahli surga, ahli apapun, kita nggak pernah berhak (dan nggak akan bisa) menilai kadar keimanan siapapun.

***

Selamat Hari Raya Idul Fitri yang agak terlambat, tetapi semoga mohon maaf lahir dan batinnya nggak pernah dianggap terlambat :-*

5 comments:

gestigege said...

Kalo akuh justru kaguuum banget dengan saudara2 muslim shalih yg pinter, sekolah tinggi ampe Phd, kaya raya sedekahnya banyak, atau memegang jabatan penting seperti Pak Novel. Maunya lebih banyak yg seperti itu (walau tentu tak kalah kagum juga dgn saudara2 yg (misal) mengabdikan diri di masjid meski idup seadanya). Sibuk membanding2kan malah gw tangkep ya itu masih sibuk urusan dunia :p

Selamat idul fitri kak Lei. Selamat liburan. Mohon maaf lahir batin ugha. Mohon maaf juga ga jd sbz an bulan puasa krn trnyta sibuk mengejar dunia (dan akhirat??)

nisa alattas said...

Nah ini! Ini mungkin postingan lo yg paling gw suka sepanjang masa.. karena teramat sangat setuju sampe ke-titik-koma-nya! Dan memang udah super muak sama simplifikasi2 yang makin kesini kok kayak makin "fanatik" sama kenaifannya masing2. Kadang gatel pengen komenin artikel/postingan di sosmed dengan bilang "please nggak usah dumb down, pembacalo juga ga bego2 amat kaliii.." tapi kemudian baca komen2 netizen di artikel tersebut dan batal ikutan komen karena *sigh* yhaaa, pantesan aja sih. *istighfar* *elus dada*

Sandra Hamidah said...

Kata Suami, packaging juga bisa menipu, orang yang soleh dari dulu ga pernah mengumbar kehijrahannya tp percuma kan kalo masi ngeRIBA, dunia akhirat harus balance ya kak, kaya miskin kan Tuhan yang nentuin. Btw makan 3 jari kalo dibiasain emang bikin langsing kalo di aku heheh

Unknown said...

Semoga semakin banyak ummat yang taat sekaligus kuat secara perekonomian, melihat mamak2 berhijab syar'i nan kece,bersih dan wangi hangout di mall dan langsung menuju musholla diwaktu sholat, rasanya adeeem.. "Mohon maaf Lahir dan Bathin" juga kak Lei

Izza said...

Huow... sangat sepakat kakak 😍
Blogwalking pertama 😆 Salam kenal 🤗

Post a Comment