Mar 15, 2018

Kejar Paket Pintar - Episode 6: Kemarahan-Kemarahan Perempuan


Selamat Hari Perempuan Internasional!

Telat kaleeek, La. Embuer. Tapi boleh dong, ya, kita anggap Maret adalah "bulan"nya perempuan, bukan hanya pas tanggal 8 Maret kemarin.

Sejujurnya, ya, menurut gue, kalau berpanut kepada prinsip kesetaraan gender, seharusnya nggak perlu ada Hari Perempuan Internasional. Karena seakan-akan, perempuan perlu hari atau bulan khusus agar masyarakat mengingat pentingnya peran mereka dalam kehidupan umat manusia. Dengan kata lain, seakan-akan perempuan minta apresiasi banget. Alhasil, perempuan kesannya masih jadi the second sex, kalau kata Simone de Beauvoir (ciyeee, padahal baru tau Simone de Beauvoir lima menit lalu dari Wikipedia...)

Tapi kalau melihat situasi di Indonesia dan banyak negara lainnya, Hari Perempuan masih diperlukan kali ya, karena masyarakatnya MEMANG suka lupa mengapresiasi perempuan. Perempuan Indonesia MEMANG masih jadi the second sex. Kok ciyan.

Meskipun begitu, sebenarnya gue dan Dara udah kepengen bahas soal isu perempuan di podcast sejak lama, tanpa niat mecingin sama bulan Maret. Tema ini sudah kepikiran sejak film Marlina lagi heboh, dan ketika kami membahas ulang kasusnya Sitok Srengenge

Eeh, eksekusinya pas di bulan Maret. 


Trus, entah karena tahun-tahun sebelumnya gue kurang woke apa gimana, tapi kok tahun ini gue baru menyadari bahwa selebrasi Hari Perempuan ternyata seru banget. Ada berbagai diskusi, pertunjukkan, aksi, artwork, pemutaran film, dan tentunya demo dan protes, termasuk Women’s March, di seluruh dunia. Gue sempet sinis pas Women’s March Jakarta 2017, karena merasa itu gerakan ikut-ikutan aja. Apalagi akar Women’s March ‘kan kemarahan masyarakat perempuan Amerika terhadap Trump, ya. Gue mikir, nggak usah terlalu berkiblat ke Amerika gitu, deh. 

Tapi makin diulik, ternyata Women’s March lokal seru dan penting, ya. Tuntutannya pun lokal banget, kok, di masing-masing kota/negara. Aslinya gue pengen bangeeeet ikut Women’s March Jakarta tahun ini tanggal 5 Maret kemarin, tapi bentrok sama acara nikahan sepupu. Udah jait seragam pula 'kaan (teteup). Pas intip berbagai video Women’s March Jakarta di sosmed, hati rasanya iri sekaligus meletup-letup bangga, lihat ceciwi-ceciwi kenes meneriakkan tuntutan di Thamrin, diiringi dengan lagu Run The World dari speaker raksasa. MY TRIBE Y SO KEREN?!


ANYWAY, I DIGRESS!



Di episode podcast kali ini, gue dan Dara membahas tentang "kemarahan-kemarahan" kami sebagai perempuan, gara-gara ketidaksetaraan gender dalam kehidupan sehari-hari. In other words: patriarchy and misogynist shits women have to endure.

Happy International Women's Month, everyone! F*ck gender role, give us spring roll!

(image: Femina, Vice)

2 comments:

winkthink said...

Trus gw sambil dengerin sambil nyautin dalam hati. Jadi pengen ngumpul ama temen2 sendiri bahas ini. Setuju, "..it's not written on the stone.." Bisa bangett kita ubah banyak hal yang kita liat dan batin: kok gak adil sih?

dela said...

Hai mbak Lei.

Baru denger podcastnya (telat!) dan pingin komen dikit..

Sebagai salah satu perempuan dari middle lower class (!) yang resign dengan alasan yang pasti beda banget sama middle upper class housewife (I do still need the money! Hahaha), aku setuju banget sama dunia korporasi yang gak kondusif sama perempuan dan peran sebagai ibu tentunya. Guilt-shaming ibu yang cuti karena anaknya sakit, misalnya.. padahal si ibu masih kerja juga dari rumah. Atau mengurangi penilaian karena si ibu harus cuti hamil tiga bulan (Did happen to me!).

Salah satu (dari banyak) alasan aku resign (dan tampaknya jadi alasan beberapa teman perempuan aku juga), karena sulitnya support system juga buat keluarga. Maksudnya, dua puluh tahun yang lalu, my mom was working, dan aku gampang2 aja dititipin ke tetangga, because everyone was nice back then. Ga ada anceman pedofil dimana-mana, we practically trusted everyone, didn't we? Tapi sekarang? Setiap ibu emang beda sih, cuma tingkat kepercayaan kita sama siapa yang bakal "megang" anak juga menurun drastis ga sih dari beberapa tahun yang lalu? Or is it just me? Trus dengan adanya gadget atau internet dan lain2 menambah keparnoan gak si?

Mungkin karena perempuan basically punya nurturing skill or motherhood instinct or whatsoever jadi lebih peka dengan hal-hal yang aku sebutin diatas mungkin... husband gave me freedoom to choose dan aku sendiri yang memilih resign dengan alasan-alasan diatas.

Post a Comment