Mar 20, 2018

Komen Nggak Nyambung: Kebebasan Berbicara Atau Kebanyakan Micin?


Preambule dulu, ya.

Setelah dua tahun absen total, beberapa minggu lalu gue datang ke acara CreativeMornings Jakarta. Pagi itu, pembicaranya adalah pasangan Cynthia Satrya dan Dian Hasan dari Coworkinc.

Seperti biasa, duo tersebut tampil lucu, menarik, dan insightful, terutama Mas Dian yang kucurigai waktu kecil sempet nelen mesin steno, berhubung ngomongnya cepet banget dan nggak ada berhentinya (we love you, Mas Dian!).

Topik global CreativeMornings bulan Februari adalah Curiosity.

Pagi itu, Mbak Cynthia sempat bilang suatu hal yang sebenarnya kita semua sudah tahu: kritik dan koreksi bisa mematikan curiosity. Terutama dalam konteks melakukan aktivitas kreatif, ya.

Misalnya, kalau jaman SD dulu kita menggambar matahari berwarna ungu, kita pasti akan dikasih ponten jelek oleh Bu Guru. Alhasil, ke depannya kita jadi akan sungkan untuk bereksplorasi dalam menggambar. Padahal dalam seni, sah aja kalau kita mau nggambar matahari warna ungu, bukan kuning. Siapa tau matahari sunset? Atau kalau bukan matahari sunset, ya ‘mang ngapa kalau ungu? Seni ‘kan sarana mengekspresikan diri, dan nggak harus realis.

Sekarang kita sadar akan hal itu. Maka jaman sekarang, ortu dan para pendidik lebih membebaskan anak-anak dalam mengekspresikan diri, dibandingkan jaman dulu.

***
Nah, tapiii…

Salah satu pet peeve alias sumber kesebelan gue adalah kalau netijen yang budiman komen SALAH FOKUS.

Bukan cuma gue, lho. Dari hasil survei kecil-kecilan, gue menemukan bahwa banyak blogger yang bete kalau udah capek-capek nulis dengan kritis dan inteleque untuk sebuah blogpost, tapi kemudian netijen ninggalin komen yang nggak nyambung, banal, receh (mending kalo recehnya lucu), atau nggak bisa dilanjutkan jadi bahan diskusi.

Seleb internet, vloggers, atau influencers pun juga suka bete dengan komen-komen nggak nyambung di post mereka.

Bentuk komen nggak nyambung ada banyak. Beberapa di antaranya misalnya:
  • Nanyain hal kebendaan (“Kak, itu lipstiknya apa? Tasnya beli di mana? Makannya di mana? Suaminya guanteng banget, Kak!” Padahal post-nya tentang tragedi kemanusiaan, misalnya, alias nggak nyambung banget secara tema atau tone)
  • Memberi komen yang missed the point. Komen sejenis ini secara sekilas masih nyambung, tapi sebenarnya nggak menangkap “esensi” atau “jiwa” dari post tersebut.
  • Komen yang salah tangkep sama isi post-nya, trus marah-marah pula! Duh, trims banget, deh. Catat, bukan berarti gue nggak mau didebat, ya. Gue sangat terbuka dengan ketidaksepakatan, kok, asalkan basis pemikiran si pendebat/komentator selaras dengan pemikiran gue.
Gue selalu yakin, salah satu solusi untuk masalah penyebaran hoax dan “konflik di Internet” di Indonesia adalah meningkatkan kemampuan critical reading masyarakat.

Kita semua pasti bisa baca. Tapi apakah kita semua bisa membaca dengan kritis? Menangkap perasaan dan intensi sebenarnya si penulis? Membaca tanpa emosi? Read between the lines? Punya wawasan atas latar belakang tulisannya? Belum chenchu.

Padahal kalau kemampuan critical reading kita tinggi, kita pasti nggak akan gampang percaya hoax, juga nggak gampang “kepancing emosi” akibat salah tangkep.

Jadiii… mendapatkan komen yang nggak nyambung dengan isi dan jiwa postingan itu menyebalkan, sehingga banyak blogger/influencer yang mulai sering ketus terhadap komentator-komentator nggak nyambung tersebut, atau nggak ditanggepin samsek.

***

TAPI! Setelah dipikir-pikir, apa iya kita perlu ketus kepada para komentator yang nggak nyambung?

Kalau kita ngejudesin komentator yang nggak nyambung—terutama yang nggak nyambungnya sebenernya tipis aja—bukankah kita jadi sama aja dengan si guru seni yang mengkritik matahari warna ungu?

Dan bukankah katanya ketika sebuah tulisan dilempar ke masyarakat, tulisan tersebut sudah bukan milik si penulis lagi, melainkan milik pembaca? Jadi suka-suka, deh, tulisannya mau ditafsirkan pembaca cem mana. Setiap orang ‘kan membaca dengan “kacamata” yang berbeda.

Maksim "ketika sebuah tulisan dilempar ke masyarakat, tulisan tersebut sudah bukan milik si penulis lagi" biasanya dikaitkan dengan tulisan fiksi, tapi mungkin bisa untuk tulisan non-fiksi juga, entah tulisan sepanjang esai, atau sependek Tweet.

Kalau blogger/influencer dikit-dikit judes sama komentator yang nggak nyambung, bisa jadi mereka mematikan kebebasan berpendapat follower-nya.

Gue menyadari hal ini ketika beberapa kali ada silent reader blog/follower sosmed yang bilang, “Aku belum pernah komen sebelumnya di blog Mbak Laila, karena takut komenku nggak pinter…”

Ya envelooope… kok gitu? Sedih, deh. Was I being such a pretentious snob, sehingga membuat orang segan berpendapat di platform gue? Apakah gue pernah judes sama orang yang komennya gue anggap nggak nyambung? (Taunya dijawab “Iya, Laa…”)

--- 

Situasi idealnya tentu saja di tengah-tengah, ya. Pengennya, sih, rakjat kita punya kultur bebas berpendapat di platform manapun, tapi pendapatnya nggak asal goblek. Sesuai konteks tulisan, lah. Menjadi bonus kalau komennya inteleque dikit.

Tapi karena tidak ada kesempurnaan di dunia ini, maka kalau lo adalah seorang content creator, apakah lo tipe orang yang…

a) mendukung kebebasan berpendapat sembari sabar aja dengan komen-komen yang ajaib? Atau…

b) galak dengan komen para pengabdi micin, dengan alasan supaya critical thinking mereka jalan?

16 comments:

MiawGuk said...

[komen lagi ahh]

Pengen banget loh pelajaran bahasa indonesia di indonesia itu konsep nya, baca 1 buku.. Trus pembahasan sekelas, untuk tau pemahaman tiap tiap orang.
Jaman dulu sih bahasa indonesia hapalan semua, penulis ini nulis buku apa.. Pemahaman sebatas judul doang. HAHAHA.

Pelajaran Bahasa Indonesia jaman sekarang, ada belajar soal pemahaman ga ya?

Oh ia, dulu juga pernah belajar debat waktu pelajaran Bahasa Indonesia. Lucunya dari debat jadi musuhan (jaman SD). Ga bisa bedain antara debat pake data/info sama debat pake esmosi.. hahahaha.. Alhasil.. ga ada aktifitas debat terbuka lagi.

Anonymous said...

SR numpang komen :)

Contoh yg pertama, itu gak nyambungnya parah sih. Tapiii, mungkin pembukaan postnya bikin pembaca salah fokus (bukan pengalaman pribadi lol).

Kalau komen yg missed the point, yah, namanya pemahaman dan pemikiran orang kan beda2 ya. Menurutku sih itu justru tanggung jawab orang yg merasa di-salah-mengerti-in untuk klarifikasi maksudnya apa.
Atau, si komentator mungkin sebetulnya nangkep maksud si blogger apa, tapi cuma mau nanggepin 1 point yg keliatannya gak penting buat orang lain tapi penting buat si komentator. Mungkin, lho.

Kalau bloggernya judes2 mah aku tinggal ajalah. Blog yg banyak fans2 yg militan juga bikin males. Paling kadang main kalo lagi iseng cari drama #eh

tia putri said...

Wkwkw... namanya juga debat jaman SD mba, pasti yang ada mah musuhan kalau gak sependapat. Jangankan SD, udah dewasa aja kalah debat bisa musuhan. Apalagi usia2 SD jaman dulu (gak tahu jaman sekarang) biasanya belum paham speak by data.

Untuk pelajaran Bahasa Indonesia yang pernah aku dapat dulu memang ada sih disuruh baca 1 buku, terus bikin sinopsis, tapi memang kayaknya gak ada tugas membahas buku itu dan dikomentarin teman lainnya. Kalau sekarang ada mestinya lebih baik ya, belajar menyimak dan memberikan pendapat akan suatu cerita.

Btw, maap aq komennya nimbrung disini Mba MiawGuwk dan Mba Laila. Tapi aq setuju dengan tulisan Mba Laila kok..

tia putri said...

Lanjut komen tentang blogger/influencer yang galak ke komen2 berbumbu micin: menurut aq daripada sama-sama keseleo jari dan lidah lebih baik gak usah ditanggapi meskipun sebel. Atau kalau tingkat kesabarannya seluas samudera coba ditanggapi manis aja, wkwkw... tapi memang berat sih ya Mba, biasanya dah kesel duluan. Karena ya itu, kadang aku juga mikir laah ni orang sama nyolotnya sebenernya dengan komentator yang nyolot.

Oiya, kalau menurut Mba Laila, yang gak nyambung2 atau yang komen diluar konteks dengan bahasa kasar terus kemudian dihapus sama blogger/influencer itu gimana?

Anonymous said...

Option B! mungkin karena seringnya saya nemu orang yang tipe A adalah ignorant people. Ngerti enggak tapi pengen ngeksis aja ninggalin komen, apalagi kalo ditambah pake kata kasar, ucet deh! kalo kita sabar2 aja, itu namanya sama aja dengan ngezalimin diri sendiri dan bikin ganggu tensi darah. *Peace*

"Kalau kita ngejudesin komentator yang nggak nyambung—terutama yang nggak nyambungnya sebenernya tipis aja—bukankah kita jadi sama aja dengan si guru seni yang mengkritik matahari warna ungu?" menurut ku ini false equivalency karena seni itu basicnya ngandelin skill dan imajinasi ngga perlu nyamain persepsi buat nikmatin seni, sedangkan kalo tulisan, seperti yang Mba lei bilang, basis pemikirannya harus sama dengan demikian kritik yang diberikan bisa mendorong kita buat lebih kreatif. Lah kalo udah salfok, ga nyambung, menurut saya di block aja sekalian.

*Maaf mba lei, hormon esterogen saya lagi naik, kok kayanya jadi emosi :D

Arman said...

gua tipe a... tapi kalo komennya nyebelin banget sih gua hapus. hahaha.

Leony said...

Gue sering banget La nerima komen-komen ajaib dan kadang ngga jelas atau kasar. Kalau gue sih mungkin kombinasi a dan b kali ya. Gue ngga pernah ngehapus komentar orang yang kasar atau aneh, asal masih nyambung-nyambung dikit dengan konteks, sekalian gue tanggepin juga dengan cara gue. Soal tanggapan gue judes atau ngga, ya depends on persepsi yang nerima juga. Kadang gue ngomong biasa aja, suka dibilang judes hahaha. Anyway, ada sih komen-komen yang gue hapus, yaitu: Yang promosi ga jelas, apalagi jualan obat!

kriww said...

Numpang iklan peninggi, pelangsing, pemutih plus rebonding otak biar lurus dikit kakak...Fadli Zonk juga pakai loh... cek lapakku ya...ada bonus cilok micin loh.

Kayaknya udah banyak yang mengomentari dari posisi penulis ya...biar berimbang akyu mau membela netijen micin ahh...

Kalau tulisan dalam konteks karya sastra sih aku maklum banget ya ada yang nggak nyambung karena semua orang punya persepsi berbeda terhadap seni. Misalnya sajak senja di pelabuhan kecil nya Chairil, menurut persepsi banyak orang itu sajak sedih, tapi kok menurutku itu sajak tentang move on ya (sayangnya guru bahasa tidak setuju dan nilai tugas gw sewaktu smp dapat 6 sajahh). Atau misalnya penulis yang menulis nonfiks tapi pakai bahasa satir (seperti beberapa penulis mojok.co, agus mulyadi misalnya) ya jangan disalahkan jika ada yang gagal paham, karena gak semua orang cerdas macam lau, my lov... Dan yang terakhir, jangan salahkan orang yang gagal paham kalau bahasa si penulis sendiri memang memukau nalar mengguncang iman a.k.a out of the box. Mungkin macam vicky prasetyo gitu. Yang mau nyebut mantan aja panjang bener (katalog bidadari yang pernah singgah dalam transitisasi perjalanan hidupku yang penuh gelombang asmara).

Nah, jika ada komentar bertabur micin, mungkin si penulis atau konten kreator perlu introspeksi, berada di golongan manakah aku, apakah chairil atau gusmul atau vicpras? Hahaha...

(Kok ini komen juga kebanyakan micin yaaa)

Jane Reggievia said...

Kayaknya aku tipe dua2nya, sih, walaupun aku jarang banget ketusin komentar yang nggak nyambung (karena jarang terjadi, kecuali di postingan yang sempet dapet traffic tinggi).

Ya intinya, sebagai penulis maupun pembaca blog, harus bisa menyampaikan suara dengan baik dan benar, sih. Mereka yang suka komen salfok itu menurutku nggak harus diketusin juga, karena alasannya mungkin ada dua: 1) nggak begitu paham dengan topik yang dibicarakan, tapi pengen ninggalin komentar, yaudalah nanya yang lain aja. 2) mereka sebenernya paham, tapi takut komentarnya kurang nyambung, seperti yang Mba Lei bilang. Nah, yang bikin marah kalo komentarnya bener-bener nggak nyambung alias SPAMMING doang. Apalagi sampai menimbulkan kericuhan, duh. Content creator/influencer juga harus pinter-pinter nih ngejawabin para netijen, jangan malah asbun juga komentarnya.

Btw, ini jadi keinget blognya si Joanna deh. Menurutku, dia hebat banget ya, tiap kolom komentarnya bisa sukses menjadi ruang diskusi terbuka para pembacanya. Seru banget lho tiap baca komentar para readers-nya. Hampir nggak nemu deh yang kebanyakan micin, hahahaha Netijen endonesia kudu belajar nih kayaknya sama mereka :D

gestigege said...

Poin2 di atas bisa jadi bahan diskusi mendalam sih..kaya knp kita, umm maksudnya gw dan netijen micin lainnya, cenderung fokus ke benda/fisik. Jangan-jangan pemasaran produk yg agresif lewat sosok influencer yg cantik dan tampan itu jd pemicunya-kami jadi lupa kalo vlogger/selebgram ya manusia juga.

Kemudian, komen missed the point atau komen dangkal itu juga macam-macam sebabnya. Bisa jadi ada orang males mikir yang pengen meninggalkan jejak digital ajah, komen pun ngasal. Gw pribadi suka juga sengaja meninggalkan komen agak ga nyambung jika gw ga trlalu setuju suatu konten atau punya opini lain tapi malu untuk trlalu to the point. Harapan gw, penulis bisa melihat juga dari sisi yang berbeda.

Yang ga kalah banyak adalah komen yang 'serba aku'. Saat seseorang bercerita/membuka diskusi di social media banyak yang menanggapi dengan berbagi cerita ttg dirinya. Ini mereka nyambung siiih, sebagian berbagi pengalaman yg bisa jadi pelajaran, sebagian lagi ya nyombong ajaaa.

Nah, terakhir...karena gw masih main FB, bisa dibilang di sana yang paling parah kegagalan logika netizen. Baik pembuat konten ataupun komentatornya sudah salah. Sudah salah dishare pula. Disitulah sungguh komen orang dagang pembesar dosa pengecil utang di IG artis jauh kalah gengges.

Anonymous said...

https://medium.com/communication-for-change/data-yang-menjelaskan-mengapa-hanya-sedikit-lulusan-perguruan-tinggi-indonesia-yang-mampu-menyusun-34bbf8379e33

Siap-siap dijudesin

prin_theth said...

Hahaha... jangan minta maaf, doong! Makasih opininya, ya. Mungkin betul, contoh guru seni itu kurang relevan. Tapi soal komen terhadap tulisan, pendapatnya bisa banyak banget.

Sebagai penulis, tentunya kita tergoda menyalahkan pembaca kalau mereka nggak nangkep inti tulisan kita. Tapi saya pernah "dinasehati" oleh seorang editor senior: kalau pembaca nggak nangkep tulisan kita, ya berarti ada yang salah dengan tulisan kita. Hahahaha. Sbl tapi yha ugha.

prin_theth said...

Hahaha betul banget... jadi inget dulu di blog ini, suka masuk spam comment iklan JASA DUKUN. Oke makasih! :D

prin_theth said...

My lov, komen ini nggak kebanyakan micin kok. Apalagi terselip kalimat pujian untuqqu. Tentunya kuterima dengan senang hati hahaha.

Tapi setuju, kok. Gue pernah "dinasehati" oleh seorang editor senior: kalau pembaca nggak nangkep tulisan kita, ya berarti ada yang salah dengan tulisan kita. Entah "salah"nya "salah inteleque" bak Chairil dan Gusmul, atau jangan2 Vicpras hahahah...

prin_theth said...

SETUJU BANGET SOAL KOMEN-KOMEN DI CUPOFJO! *capslock jebol*

Gila ya, aku rasa blog itu memang jadi besar karena komen-komennya yang pinter, membangun, dan inspiratif. Komen-komen itu pun pasti jadi ladang inspirasi post untuk Jo. Impian setiap blogger! I seriously don't know how she does it. Aku rasa karena tone posts-nya Jo konsisten hangat dan kekeluargaan yaaa...

Thanks for bringing this up, Janeee

prin_theth said...

Wah, tulisannya Mbak Mita Mohamad!

Post a Comment