May 31, 2016

4 Hal yang (Tanpa Disangka) Gue Temukan di Musim Dingin

DSCF0372

Waktu tahun lalu gue ke Berlin dan Copenhagen, gue salah kaprah.

Sebelum berangkat, gue ngecek berbagai situs prakiraan cuaca, dong, supaya packing bajunya tepat dan haqiqi.

Nah, gue haqqul yaqin bahwa berbagai situs prakiraan cuaca yang gue cek menyatakan bahwa temperatur di Berlin dan Copenhagen nanti bakal sekitar belasan derajat Celcius aja. Masih nyaman, lah, buat pake jaket Cibaduyut dan syal Cihampelas.

Eeeh, pas mendarat di Jerman… INI KOK UDARA DINGIN AMAT?! Lebih dingin dari perkiraan!

Dan selama gue di Eropa, temperaturnya nggak bergeming, lho, dari 3-9 derajat Celcius. Setiap hari. Yassalaaam … 

Gue bingung kenapa gue bisa salah kaprah, karena gue yakin banget, sampe seminggu sebelum gue berangkat, weather forecast bilang temperatur di Berlin dan Copenhagen akan belasan derajat Celcius aja. Sumpah, bukan Fahrenheit.

Walaupun nggak saltum-saltum amat, tapi baju-baju yang gue bawa nggak 100% tepat untuk cuaca tersebut. Alhasil, setiap hari, pasti ada momen di mana gue merasa bak dikecup Night King, saking kedinginannya.

Karena gue mau sombong dikit, harus gue tekankan bahwa ini bukan pertama kalinya gue travelling ke negara dingin (cieee…). Pas dulu harus ke Beijing, udaranya malah lagi 1 derajat Celcius. Hampir semaput karena terhempas (tapi nggak datang lagi) angin Siberia melulu.

Tapi anehnya, di Eropa ini gue lebih tersiksa. Mungkin faktor usia, ya? #huft

Lucunya, selama ber-dingin-dingin-ria di Eropa, gue jadi “belajar” beberapa hal yang nggak pernah gue ketahui sebelumnya, seperti...

1. Gue jadi nangis melulu

DSCF1090
Grey and gloomy Copenhagen

Selama gue di Eropa, cuaca nggak hanya dingin, tapi juga sangat gloomy. Di Berlin, sih, kadang masih terik. Tapi Copenhagen nggak ada harapan banget, deh. Gerimis, mendung, dan kelabu setiap hari.

Masalahnya, ternyata cuaca kelabu begitu sangat mempengaruhi mood gue!

Sebelumnya, gue seriiiing banget mendengar bahwa di luar negeri, cuaca yang kelabu dan dingin sering bikin orang gloomy. Makanya ada istilah “winter blues”. Sampai-sampai para bule banyak menjual lampu yang bisa menirukan cahaya matahari, supaya mood penggunanya keangkat dikit. Bahkan ada lampu “replika matahari” khusus untuk bumil (lampunya gede dan bisa dipeluk, bok. Literally memberikan kehangatan fisik dan mental, ya), supaya bumil nggak jadi depresi.

As a tropical monkey, I never thought in a million years gue akan merasakan fenomena “winter blues” ini. Lagian, seumur idup, mood gue nggak pernah terpengaruh sama cuaca. Kalo Jakarta lagi hujan dan kelabu, gue nggak pernah, tuh, mendadak pengen nyender ke jendela, menatap nanar ke luar, trus masang lagu Boyz II Men. Biasa aja.

Tapi di Eropa kejadian, lho.

Nggak tau kenapa, cuaca dingin dan mendung di sana bikin gue jadi keinget segala hal buruk dalam hidup gue. Bikin gue banyak berkontemplasi, banyak menyesal, banyak meratap, dan merasa kesepian. Rasanya kayak PMS hebat, setiap hari, sepanjang hari.

Hari terdingin yang gue alami selama di Eropa. Di Copenhagen, kami kemana-mana sepedaan. Di hari ini, udara Copenhagen nggak hanya dingin, tapi juga gerimis-semi-ujan seharian. Harus bersepeda melawan angin dan ketampar gerimis tanpa punya sarung tangan dan masker muka, tuh, rasanya..........................

Baper dan lebay sekali, ya? Banget.

Makanya selama di Eropa, tiap pagi gue pasti buka jendela. Trus kalo langitnya mendung, hati gue langsung remuk. Gue sampe pernah nangis terisak-isak, lho, padahal masih pagi dan baruuu aja jalan keluar hotel.

Menyikapi hal ini, tentu saja T—being the heartless person that he is—nggak bersimpati sama sekali dan malah marahin gue. “You are in goddamn Europe. Many people would kill to be in your place. Bersyukur, nggak usah manja.” Ini ngomongnya sambil menatap lurus ke jalan, sementara gue nangis di sampingnya. HITLER, IS THAT YOU?!

Waktu itu, sih, gue langsung pengen giles T pake salah satu delman yang nangkring area Brandenburg Tor. Tapi kalo dipikir-pikir sekarang, nggak usah didebatin lah ya, siapa yang bener dan logis…

Ini momen “Men are from Mars, Women are from Venus” banget nggak, sih?

2. Kita beli banyak produk yang sebenarnya nggak tepat untuk konsumen Indonesia

DSCF1105

Selama di Eropa, banyak barang gue yang SECARA AJAIB jadi lebih efektif.

Contoh yang paling nyata adalah makeup. Lo pasti sering, dong, beli makeup karena klaimnya? Misalnya, foundation A di-klaim matte dan tahan lama. Blush-on B di-klaim awet dan enak di-blend. Lipstik C di-klaim nyaman dipakai di bibir. Tapi berapa kali juga elo kesel, karena klaim-klaim tersebut nggak terbukti?

Gue, sih, sering banget. Beli foundation dan bedak muka semahal apapun, kok, kayaknya tetep luntur dan bikin muka berminyak? Katanya matte? Katanya long-lasting?

Pas di Eropa, gue baru sadar bahwa klaim-klaim makeup gue jarang terbukti karenaaaa…

… gue pakenya di Jakarta, sementara produk-produk tersebut didesain untuk penggunaan di negara empat musim.

Di Eropa, semua makeup gue (bawanya juga cuma sedikit, sih) membuktikan klaimnya, lho! Sebagai contoh, foundation yang bikin muka berminyak pas dipake di Jakarta, jadi beneran matte dan awet pas dipake di udara dingin Eropa, sesuai iklannya.

Trus, gue punya blush-on krim yang benyek dan gitu-gitu aja. Tapi pas dibawa ke udara dingin Eropa, formulanya baru jadi “mengeras” dan memberikan efek powdery yang dijanjikan.

Soalnya ya begitu, formula produk-produk tersebut didesain untuk penggunaan di negara empat musim. Jadi kalo dipake di Jakarta, kurang efektif.

Huft. Negara tropis memang harus punya line makeup high-end sendiri, deh (apa udah ada?). Manufakturer dari negara empat musim will never, ever get it right. Summer-nya negara empat musim aja ‘kan tetap beda sama udaranya Indonesia yang jauh lebih lembab.

Contoh lainnya, nih—sprei IKEA. Nyadar nggak kalo bedding-nya IKEA tuh sebenernya nggak nyaman, karena cenderung kasar dan gerah? Apalagi yang murah-murah, hihihi. Ternyata karena bedding mereka memang di-desain untuk cuaca dingin. Pas di Eropa, bedding IKEA yang kasar gitu terasa oke aja, sih.

3. Raya jadi anak yang (lebih) baik

DSCF0980

Buat yang follow Instagram gue, pasti inget bahwa selama di Eropa, anakku si forever-muka-masam berubah jadi Andien. Ketawa-ketawa kenes mulu! Hepiiii terus.

Liat juga buktinya di sini, sini, dan sini.

Raya is originally a kind, fun, playful kid, tapi memang super pemalu, introvert dan sering tenggelam dalam deep thoughts-nya. Anaknya juga bisa sangat moody dan sensitif. Kalo lagi tantrum, bubar deh. Mending pulang aja semua.

Ajaibnya, Eropa sakseis mengeluarkan sifat-sifat positif Raya sampe ke akar-akarnya, dan menutup pintu sifat-sifat negatifnya.

Jadi selama di Eropa, Raya hepi dan baiiiik sekali. Sekalipun nggak pernah nangis, nggak pernah merengek, nggak pernah susah makan, dan nggak pernah nyusahin. Selalu pengertian, sabar, dan most of all, ketawa melulu!

Tolooong... ini anak siapa?!

Andien si gadis Pantene, waktu rambutnya masih gondrong berkibar.

Kalo teori nyokap gue, sih,  Raya bahagia karena selama liburan ini, dia bisa dekat sama ortunya 24/7 tanpa distraksi apapun. Tapi teori ini patah, karena sebelumnya kita pernah banget, kok, long holiday. Tapi sikap Raya nggak pernah jadi positif drastis gini. Soalnya dulu liburannya seputar Asia Tenggara aja ya, nak? Gerah! Hihihi.

Jadi gue tetep yakin, perubahan sikap Raya tersebut akibat udara Eropa yang dingin (dan bersih). Bahkan di antara kita bertiga, Raya tuh yang paling tahan sama dingin, lho. Selama di Eropa, dese nggak pernah ngeluh tentang udara yang menggigit, dan tahan lari-larian di playground padahal lagi gerimis, dengan jaket yang keplek-keplek nggak di-risleting. Hepi aja manjat-manjat sampe kolornya keliatan, sementara ibunya udah beku di pojokan.

DSCF1485

4. Jadi lebih menghargai matahari... dan buah tropis

Karena poin nomor #1 tadi, pas pulang ke Jakarta, tanpa disangka-sangka gue jadi menghargai matahari. Setelah dua minggu depresi di situasi cuaca dingin di kelabu, kena terik matahari Jakarta, tuh, rasanya enaaaak banget. Gue langsung merasa bersyukur dilahirkan di negara tropis. 

Sebenernya gue gampang annoyed kalo kepanasan. Kalo baru masuk mobil yang diparkir di outdoor siang-siang aja, rasanya pengen gebuk dashboard saking keselnya. Panas, mak! Ketek basah! 

Tapi pas baru pulang dari Eropa, gue selalu menenangkan diri dengan mikir, "Mending dikasih panas gini, atau harus hidup di negara yang kelabu?"

I instantly calmed down.

Memang bener banget, sun is life, sun is happiness.

Dan satu lagi.

Selama di Eropa, gue tuh kangen banget sama buah-buahan tropis yang juicy, super manis, dan berwarna-warni cerah. Gue sebenernya nggak rutin-rutin amat makan buah, tapi Raya selalu gue suapin buah tiap hari, dua kali sehari. Jadi pas di Eropa, nelongso juga, sih, setiap hari ketemunya sama apel, pir, anggur, dan kiwi asem melulu. Mana buah nagaku? Durenku? Manggisku? Rambutanku? Semangkaku? Gohok dan nangkaku?!

Memang tanah air kita sebenernya canggih banget, ya. Buang biji apapun ke tanah, pasti tumbuh jadi pohon yang berbuah. Subhanallah! *cium tanah*

***

Ada yang pernah ngerasain hal-hal yang gue rasain di atas? :)

24 comments:

Irien said...

Mbak leija.. aku silent reader dr zaman blog mbak siapin kawinan.

Ini yg winter blues bener bangeet! Aku br pindah ke Jepang 1 thn ini. Winter kmrn winter pertamaku. Dan aku asli marah2 nangis2 mulu. Padahal aku di Jepang bagian selatan. Kl di Hokkaido wassalam bgt deh.

Dan ky suami mbak Lei, suamiku jg menanggapinya dgn "kamu ga hepi amat. Pulang aja ke Indonesia." Trus rasanya lgsg depresi.

Musim dinginnya ud akhir2 dan mulai hangat aku lgsg hepi lho. Asli. Ini entah krn aku adaptasinya lama ato krn emg musim dingin bikin gangguan mood. Kita liat musim dingin berikutnya aku gmn.

Aku sampe konsul/curhat ke temen psikiatri.. kt dia emg ada tuh diagnosis penyakit Seasonal Affective Disorder. Terapinya ya bener pake lampu2an itu. Jadi aku selama musim dingin bangun tidur buka jendela trus diem madep matahari ky bayi dijemur. Hahaha

prin_theth said...

Waaah sharing yang menarik! Aduuh, kirain cuma aku yang "winter blues"nya lebay (padahal waktu itu blm winter juga). Mungkin karena kita manusia-manusia tropis ya, jadi efek winter bluesnya berkali lipat huhuhu.

Semoga taun depan udah cingcay yaa ngadepin udara dingin dan kelabu. Semangats!

Anonymous said...

Wah, aku mikir buah Eropa lebih manis mbak. Secara kalo liat di film kayaknya makan stroberi sama cherry kok renyah amat. Aku juga lebih milih Indonesia mbak Leija. Pernah ke Belanda selalu pas di musim gugur atau dingin. Yang ada tiap hari pake jaket kayak lemper, secara aku nggak tahan dingin. Trus makanannya juga nggak suka aku. Sama satu lagi, toiletnya. Huh, ndak ada buat bilasannya. Hiii

Anonymous said...

Percaya banget sama winter blues, atau udara dingin blues deh ya. Gue awal spring kemarin ke Jepang, udaranya nggak dingin-dingin amat, cuma belasan derajat Celcius. Duduk di bangku taman, sendirian, tiba-tiba aja nangis entah kenapa.

Unknown said...

Hai Laila,
nemu blog ini pas nyari2 apapun ttg winter.
ya ampunn... segitunya banget ya winter blues itu, secara aku aja tidur bertiga ama anak suami cuman 26 suhunya.
besok2, gimana ini?? bulan Sept besok, aku hrs move ke Belanda, dan akan stay disana selama 1,5 tahun...
makkk apa jadinya aku, secara akan dpt winter 2x....??!!
tips en trick dong La, buat ngatasin dinginnya udara sana..

———- said...

Dear Mbak Laila,
Wahh mau high five dong ama Raya. kita sama banget Raya. Sejak pindah ke Korea empat tahun lalu.. aku juga bawaannya happy mulu.
Winter ama Fall bahkan jadi musim paling favorit. Kalo yang paling bikin males kalo lagi winter sih cuma satu.. bikin cepet laper.

-ndutyke said...

Sampe sekarang aku masih terkenang rasa bahagianya mendarat di Sydney pertama kali, dalam kondisi disana lagi musim gugur. Dinginnya tuh pas banget, kerasa nyesss di hati, hahaha. Aku setuju sih, udara sejuk-adem memang could bring the best in you. Bawaannya senyum melulu yaaa. Tapi di Sydney nggak ada winter blues gw rasa ya, lawong tetep aja matahari bersinar terang. Trus apalagi ya? Oiya, pas udah nyampe Indonesia baru berkesempatan beli sarung bantal IKEA yg murah. dan KAGET: ini kenapa kasar begini? Ternyata memang nyamannya dipake buat di negara adem yaa, krn nyerep panas gitu kayaknya.

Anonymous said...

harus banget komen karena ngalamin banget semuanya mulai dari poin 1 sampai 4.

untuk poin 1: sedingin apapun udara di sini tapi yang paling gue gak tahan tuh gelapnya. Masuk akhir agustus gue udah mulai depresi loh mikirin kegelapan di bulan2 ke depan.
Kalo lagi gelap gini yang bantu satu: salju. Putihnya salju bikin suasana jadi sedikit terang. Makanya pas dua tahun lalu winternya tanpa salju orang sini makin2 aja deh depresinya. *tebalikin meja*

poin 2: dulu pas baru ke eropa gue bawa toiletries dari Indo, biar irit. Taunya gak cucok, sis. Kulit sama rambut jadi kering kaya padang pasir. Kebalikannya, kalo bawa barang-barang dari sini ke Indo...ampun dijeee...muka siap nambang minyak.

poin 3: ini suka bikin gue sedih. Anak-anak gue kalo di Indo jadi lebih krenki, gak hepi, susah makan, susah tidur, dan susah2 lainnya. Masa adaptasinya bisa sampe 2-3 minggu sampe akhirnya mereka bisa jatcin sama Indonesia. Makanya gue kalo mudik harus lama biar gak rugi kebagian ngurusin anak krenki doang. Selain panas dan kelembaban yang emang bikin darting, Mikko sih berpendapat kalo being outdoor tuh bikin orang hepi, apalagi buat anak-anak. Di Jakarta tau lah ya fasilitas outdoornya masih termasuk minim dan sapa juga sih yang mau ke luar di tengah cuaca panas ngecrong begitu? Emang terus terang aku anaknya gak outdoor-outdoor amat, qaqaq. Lebih milih bawa anak ngemol gituh

4. banyak yang suka ngiler liat gambar arbei-arbeiannya orang bule. Pada gak tau aja dia kalo 1) arbei itu seasonal banget (paling gak di pinlan sini), gak selalu ada setiap saat 2) arbei2an tuh aslinya asem, makanya kandungan antioksidannya tinggi. Arbei yang manis2 itu katanya sih hasil perkebunan dengan metode khusus buat menciptakan rasa manis. Kalo mau buah2an enak dengan manis alami ya pastilah buah tropis seng ada lawan. Di sini mah ketemunya apel lagi, pir lagi, kiwi asem dan pisang setengah mateng.

Mima said...

Mba.. Aku sempet ngerasain sihh winter blues tapi ga parah banget.. sempet exchange 1 tahun di belanda, sebelum berangkat udah hayal2 babu main salju pegang2 salju,,, pas ketemu itu sajuu.. Yaampuun rasanya kayak merana banget..

Rambut aku disana dengan sampo murah meriah beli di Albert hein jadi baguss banget ga perlu diblow, kering alami aja,, pas pulang indo udah bawa stock sampo segambreng taunya rambut eike balik lagi kaya dulu lagi lepek2 lurus kayak abis rebonding..

Bedding ikea jugaa ditaro dikosan yang pake kasur busa langsung keringetan.. Cuss balik lagi beli bed cover murah meriah.. Hehehe

prin_theth said...

Hai Gina!

Wah, sebenernya aku juga nggak faseh ngadepin winter blues, secara kemaren cuma numpang lewat jadi turis di Eropa, hehehe. Nanti aku coba minta temen-temenku yg tinggal di Eropa jawab, yaaa.

Tapi sebenernya yang memicu winter blues adalah GELAPnya, bukan DINGINnya. Kalo kemaren itu, aku berusaha menghindari perasaan-perasaan galau dengan mendekati keramaian, cari lampu yang terang-terang di mall, makan yang enak-enak dan hangat, atau kruntelan aja di bawah selimut with a good book or good movie.

Kalo harus ke outdoor di bawah awan gelap nan kelabu gitu, langsung nangissss...

prin_theth said...

Rikaaa, pas gue nulis ini, gue udah yakin banget deh lo mengalami semua hal ini :D Tapi gue nggak nyangka sama poin nomer 3 lho, yaitu anak-anak lo jadi lebih krenki kalo lagi di Indonesia!

Kalo di Bali (dimana mereka bisa lebih outdoor-sy), anak-anak jadi lebih hepi nggak Rik?

prin_theth said...

Mem Tyke, soal sprei IKEA, iya bangeeet. Kurcok lah untuk pasar Indonesia. Yang semi-mahal aja menurut gue masih nggak enak, lho. Mendingan beli di Cipadu, deh :D

Yesss, kalo di Australia winternya tetep enak ya, karena mataharinya tetep kenceng. Yang bikin depresi sebenernya gelapnya. Ozone di Aussie aja bolong ya hahaha (eh ozon bolong di Aussie apa NZ sih?)

Anonymous said...

Wah gw baru tau kalo winter blues segitunya hehe, gw ngerasain winter di ostrali 2x yg pertama selama hamil trimester pertama, mana mabok mana bulan puasa jd sepanjang 3 bulan winter 80% gw di dalem kamar bedrest, kangen sama keringetan yaaa haha kalo liat keluar ada matahari buru2 keluar eh lha kok tetep dingin anginnya..tapi g ngerasa gloomy sih cuma aneh aja jam 5 udah gelap, malem jadi panjaaang tapi jam 9 malem masih terang juga aneh hehe

Yg kedua jadi turis ke sydney&melbourne pas early winter jadi belom dingin2 banget malah sukaa, ortu gw suka krn gak cepet capek kalo jalan2, anak gw juga suka, makan&tidur lebih gampang, gw pun suka krn muka tetep kinclong dari keluar apartement sampe pulang lagi hehe (jd setuju sama poin yg soal make up itu ya)

Sejak itu ortu gw pun kalo jalan2 baik sama atau tanpa gw selalu minta nya lg musim dingin, paling nggak autumn deh krn kalo panas mereka jd cepet cranky macem bocah hahaha..terakhir ke hongkong seminggu abis extreme weather yg tiba2 drop itu, jd masih dingin banget..anak gw yg gede sempet masuk angin (duh indo bgt sih) walaupun tetep happy dan anak gw yg bayi selalu girang gumirang ketawa2 mulu, etapi kalo dingin dan gerimis emang bikin sumpek sih..

Anonymous said...

Supaya ngak terlalu kena effect winter blues di Canada rata-rata kita minum suplemen Vitamin D. Aku suka kena 'blues' kalau ngak bisa keluar rumah, yang menjadi lebih jarang dikala winter saking dinginnya. Teman-teman juga jadi jarang hang-out. Kalau summer setiap hari pasti aku jalan-jalan ke park untuk break dari kantor. Kalau winter, mau napas saja susah kalau keluar kantor hehehe... Walaupun jaket dan sepatu kita tahan dingin sampai minus 35 derajat. Menurut aku, yang ikut kontribusi ke winter blues karena badan jarang gerak. Disini gym jauh lebih ramai kalau summer. Untung mood aku ngak terlalu pengaruh hanya bosan saja jarang keluar rumah.

Jane Reggievia said...

(Tadi udah komen, cuman tiba-tiba lost connection, jadi ngetik ulang, hiks. Kalau dobel, diapus aja ya, Mbak, hihi.)

Winter blues is REAL! *sikattt Hitler-nya Mbak Laila* :P

Inget banget pas kuliah di Guang Zhou dulu, masuk ke winter tahun pertama rasanya kayak PMS tiap hari. Malem mau bobok rasanya gloomy abis. Tiba-tiba homesick, tiba-tiba mempertanyakan kalimat2 seperti "why am I here" atau "what the heck I am doing here", dll. Padahal winter tahun pertama di sana paling dingin 10 derajat, 8 derajat aja jarang deh. Baru belakangan bisa sampai 3 derajat! *pelok termos panas*

Tapi kalau soal tinggal menetap, aku tetep pilih di tanah air. Mau cuacanya cemana pun, tetep bisa dibawa hepi. Soalnya sering dulu ditanya, pernah tinggal empat tahun di China nggak pengen coba stay di sana aja. Ogah, deh. Negara 4 musim malah menurutku cuacanya bisa lebih ekstrim, aku aja lebih sering sakit di sana.

Jadi teteppp... I love endonesiahhh! *anaknya nasionalis*

:D

Unknown said...

Silent reader selama ini, tapi mau komen yah..
Pertama kali dapet winter langsung di area yang winternya 6 bulan dalam setahun dan saljunya numpuk sampe 3 meter. Hampir tiap hari ujan salju yang sampe deres banget. Untungnya ga kena winter blues, kalo kena kayanya habislah study saya (pas itu masih mahasiswa dikejar-kejar deadline hiks).
Trus akhirnya pindah ke kota lain yang lebih manusiawi winternya, dan ternyata.....
...summer yang bikin saya tersiksa! Ada ga sih istilah summer blues? tapi bukan jadi biru dan sedih sih, jadinya malah angot. Bawaanya pengen marah mulu, senggol bacok lah. Musim panas di Jepang itu bener-bener ga asik dan berasa kaya sauna. Keringat bisa netes2, trus panasnya udara gila banget. Panasnya beda sama panas tropis sih. Ini tuh lebih...bikin capek, menguras tenaga.
Makanya tiap musim panas pasti bawaannya kesel dan pengen cepet-cepet selesai aja haha.

Anin said...

Hi Gina,

Aku mau nambahin komennya Laila ya, sebagai orang yang udah lebih dari 10 tahun terdampar di negeri kulkas :)) Sampe sekarang aku masih ngalemin kok winter blues kok. Bener kata Laila, yang bikin winter blues itu memang gelapnya. Frustasi banget rasanya kalo terangnya cuma dari jam 9 sampe jam 4 sore.
Cara mengatasinya, jangan dipikirin, dinikmati aja sebisa mungkin. Winter in Europe can be really charming, apalagi mendekati christmas. Banyak lampu-lampu, banyak christmas markets, suasanya juga biasanya lumayan festive. Ngumpul-ngumpul rame sama temen-temen juga membantu banget. Makan-makan di rumah, jalan-jalan. Dan....bener banget kata Laila, selimutan di sofa sambil baca buku dan liat keluar jendela dengan segelas teh hangat. Jangan lupa nyalain heater, hahaha.
Satu lagi, winter is the time to buy cool coats and boots!! Fight the cold with sytle adalah mottoku *cetek banget*. Pake coat keren dan boot mutakhir dikala winter itu juga bisa meningkatkan mood dengan significant loh...:D

prin_theth said...

Waaaah hehehe.

Aku ngebayanginnya, summer di negara 4 musim itu seperti musim panas di dataran Timur Tengah. Panasnya kering, jadi bikin kepala pusing dan kulit nyelekiiit. Bener nggak ya?

Mungkin beda sama "panas"nya negara tropis atau negara-negara di ekuator, yang jauh lebih lembab, dan nggak nyelekit di kulit. Anginnya juga beda kali ya? Semangat dan sabar yaaa! *lempar AC dari Jakarta*

prin_theth said...

Makasih Aniin!

Ada juga tips tambahan dari commenter di bawah: konsumsi Vitamin D (sebagai pengganti VItamin D dari matahari) dan banyak-banyak olahraga / gerak. Memang bener, olahraga kan pemicu endorphin sekaligus moodboster yaaa

prin_theth said...

Oya, seperti kata Rika di atas, mungkin kamu nggak "Winter blues" justru karena banyak salju ya, sehingga suasana jadi lebih terang. Pemicu winter blues yang paling gawat memang gelapnya deh, bukan dinginnya

prin_theth said...

Oya, seperti kata Rika di atas, mungkin kamu nggak "Winter blues" parah justru karena banyak salju ya? Sehingga suasana jadi lebih terang :D

Sprei Cipadu aja deh, paling bener ya hahaha

Dessy said...

Gw baru nyadar ada yg namanya winter blues, pantes waktu dulu gw sekolah di austria pulang malem2 menyusuri jalan yang sepi rasanya hampa, kesepian bikin nangis dan sedih. Jadinya gw sampe sekarang ga suka winter, paling enaknya cuma sejam bikin snowman diluar tapi abis itu beku lagi dan bikin mood uring2an.

Anonymous said...

Gue semacam pernah merasakan summer blues walopun cuman dalam rangka liburan 4 hari aja :))
Mei lalu liburan ke Kamboja-Vietnam, dimana udah serasa di gurun Dothraki rasanya, yawlaa panasnya ga bisa kujelaskan dengan kata-kata. tinggal di Indonesia ga pernah sepanas ini. Sepanjang liburan jadi misuh-misuh sendiri, mana di Vietnam klakson mobil ga pernah berhenti bersuara, makin esmosi lagi deh.
Habis liburan itu gue ga mauu liburan lagi ke Asia Tenggara kecuali Thailand, makasihh sama panas luar biasanyaaa. Mending eike mengejar salju ke dataran Islandia sajaa ~

Fanny F Nila said...

Hahahaha, kita beda sih mba :). Aku tipe yg ga kuat panas. Makanya tiap traveling, aku selalu pilih saat winter. January, ato february. Pas lg dingin2nya. Makin minus, makin aku happy :p. Mungkin itu sih alasan jg kenapa aku jrg jelajah negri sendiri, walo cantiknya kebangetan, tp maap, suhunya bikin mau emosi stiap saat hahahaha :p

Post a Comment