Mar 11, 2015

Kesempatan Kedua

Last weekend, I randomly bought three pots of succulent. At the same time, I was reading a lot of short stories and listening to a lot of Ed Sheeran. Therefore, this short piece.


***

Kesempatan Kedua

Di hari ketiga Edi pergi, Lilian membeli sukulen.

Sukulen adalah tanaman yang belakangan ini menjadi tren. Lilian tahu ini, karena ia sering melihat foto teman-temannya (dan teman-teman dari teman-temannya) dengan sukulen mereka masing-masing di media sosial. Potnya ditimang mesra, seperti anak bayi.

Kenapa sukulen? Bentuknya terlalu maskulin, ukurannya terlalu kecil. Lilian berpikir, kenapa tidak pada pelihara tanaman bunga warna-warni, atau sayur-mayur sekalian, agar lebih berguna? Mungkin karena sukulen adalah tanaman yang tidak rewel, bahkan tidak boleh terlalu sering disiram dan diberi pupuk. Wajar jika mereka dipelihara orang-orang kota untuk membuktikan bahwa di tengah sibuknya keseharian, mereka masih mampu merawat tanaman. 

Namun tanaman—dan binatang peliharaan, dan bayi—seharusnya tidak dijadikan alat pembuktian diri, bahwa kita mampu.

Di hari ketiga Edi meninggalkan Lilian, Lilian berjalan terseok-seok di pinggir jalan Jakarta, di tengah siang bolong, dan ia menemukan sebuah kios tanaman. Berbagai jenis sukulen tertata rapi di sebuah meja pendek, sementara sang abang penjual berjongkok tak acuh di sebelahnya.

“Satunya berapa, Mas?”
“Tujuh ribu.”

Murah ya, batin Lilian.
Murahan seperti kamu
, kata-kata Edi terngiang.

Lilian mengamati sukulen tersebut satu per satu, dan memutuskan untuk membeli tiga pot. Tiga. Tiga tahun ia bersama Edi. Tiga huruf merangkai nama Edi. Tiga hari yang lalu Edi meninggalkannya. Tiga hari pula Lilian kehilangan arah.

“Tiga, nih, Neng?”
“Iya, soalnya bagus semua. Saya nggak bisa pilih satu.”

Ya, kamu memang tidak pernah bisa pilih satu, suara Edi kembali muncul.

Lilian tak sedikitpun paham soal sukulen, sehingga ia hanya memilih jenis yang menurutnya menarik. Yang agak simetris dan tidak terlalu abstrak, seperti Edi yang suka keteraturan, serta yang berbunga merah jambon namun penuh duri, mungkin seperti dirinya.

“Kamu bertahun-tahun bohong, Lilian. Hatiku hancur … aku nggak nyangka sama sekali… Dulu aku percaya kamu.”

Lilian menahan diri untuk tidak merangkak dan mencium kaki Edi, memohon maaf. Ia hanya terisak, berulang-ulang mengatakan bahwa walau dirinya telah banyak berbohong, ada satu hal yang tidak pernah merupakan kebohongan: cintanya kepada Edi.

Lilian membayar dengan uang berlebih, dan tidak meminta kembalian. Abang penjual menyerahkan satu kantong plastik berisi tiga pot sukulen kepadanya.

Sukulen adalah salah satu tanaman paling minim perawatan di dunia. Kalau tanaman ini akhirnya mati, berarti aku memang tidak pantas memelihara apapun, termasuk Edi, batin Lilian.

Tapi kalau sukulen-sukulen ini tumbuh subur, mungkin aku masih ada harapan.

Lilian teringat prinsipnya sendiri, bahwa tanaman—dan binatang peliharaan, dan bayi—seharusnya tidak dijadikan alat pembuktian diri, bahwa kita mampu. Namun kini ia menjadi salah satu orang yang begitu.

Kamu ‘kan orangnya memang munafik?
kata Edi lagi.

Lilian kembali berjalan terseok-seok di bawah teriknya matahari Jakarta.

6 comments:

vee~and~me said...

whoaaa... tiba2 muncul sepenggal cerita.. saatnya menerbitkan buku mbak lei ;)

Anonymous said...

more mbaaaa.. :D

sukmawati yusup said...

First comment, udah SR selama ini...
Setuju ama vee~and~mee, satnya bikin buku...

Pryta Aditama said...

meeblog said...

ahhh senangnya kamu kembaliii :):)

Opi said...

Duh, boleh request sering-sering nge-post cerita begini ngga siiih? T_T

Post a Comment