Nov 13, 2013

The Hijabi Monologues, Part 2

The Waiting Game

Nungguin pengumuman story writing contest Hijabi Monologues, tuh, rasanya lamaaaaaa… bingit. Ya, menurut ngana?! Kontes diadain bulan Juli-Agustus, sementara pementasannya bulan Oktober. Ya lama, laaah :)))

Awalnya gue obsesif. Ngecek Facebook Hijabi Monologues Indonesia tiap hari. Tapi lama-lama gue sibuk sendiri, trus akhirnya lupa blas sama mereka. Hijabi Monologues? Apa itu? Iiiih, somse, deeeh :)))

Tau-tau, pada suatu sore di bulan Oktober, gue ditelpon oleh seorang mbak-mbak yang membawa kabar gumbira.

“Mbak Laila, selamat ya! Sahar Ullah suka banget sama cerita Mbak, dan dua-duanya menang Best Story Hijabi Monologues Indonesia!”

“Wah, cerita yang mana, Mbak? ‘Kan saya kirim dua…”

“Ya, itu tadi… Dua-duanya! Nanti kedua cerita Mbak dipentaskan, ya, tanggal 22 Oktober.”

Aaaaaaaaaaargh!

Seumur-umur, gue nyaris nggak pernah menang apa-apa, lho, kecuali saat (tim) kelas gue menang lomba tarik tambang pas TK. Kacian, ya? The story of the underachiever banget, deh.

So, obviously, I was so happy to hear the news! Asliii… Padahal gue nggak dapet hadiah apa-apa, lho. Imbalannya hanyalah dipentaskannya cerita gue pada tanggal 22 Oktober itu. Udah, gitu doang.

Oh, dan tentunya sebuncah rasa bangga ya :’)

Sebagai partisipan dalam Hijabi Monologues Indonesia ini, gue diundang ke dua acara:
  1. Workshop storytelling yang bertajuk The Power of Storytelling. Diadakan oleh pihak yang sama, sehari sebelum pementasan. Pembicaranya para pendiri Hijabi Monologue juga, yaitu Sahar Ullah dan Kamillah Pickett.
  2. Pementasan Hijabi Monologues Indonesia. Ini adalah acara utama, pada tanggal 22 Oktober.
The Workshop

Di tanggal 21 Oktober, gue dan Dara hadir di acara workshop The Power of Storytelling di @america, Pacific Place.

Acaranya sendiri lebih kayak kuliah umum, sih. Sahar dan Kamillah berdiri di panggung, menyampaikan materi tentang ‘kekuatan’ berbagi cerita, serta tentang Hijabi Monologues itu sendiri.

The Power of Storytelling: A Hijabi Monologues Workshop

The Power of Storytelling: A Hijabi Monologues Workshop

Seru, nggak?

Kalo dari segi materi yang dibawakan, seru dan insightful bangeeet. Sahar and Kamillah are damn smart women! Tau nggak, sih, tipe-tipe orang yang makin pinter, tapi ngomongnya makin sederhana (tapi berisi)? Itulah mereka. Nggak ada kontroversi labil hati, 29 my age, ya.

Apalagi gaya penyampaian Sahar dan Kamillah ‘kan khas Amerika yang santai-tapi-provokatif gitu… Tipe banget ama guah! *sok*

The Power of Storytelling: A Hijabi 
Monologues Workshop

The Power of Storytelling: A Hijabi 
Monologues Workshop

Dua quote yang paling ngena buat gue:

1. “I am passionately dispassionate about my hijab,” –Kamillah. Dengan kata lain, “Gue sangat napsu untuk nggak napsu sama hijab gue.”

Sebagai hijabi, segala tindak tanduk, prestasi dan kesalahan lo biasanya selalu dikaitkan dengan hijab yang lo pake. Males. Asli, males. Peran kita di dunia bukanlah (hanya) seorang ‘hijabi’, lho. Kita adalah wanita, ibu, istri, anak, adik, kakak, teman, musuh, dan yang paling penting, seorang pribadi yang unik.

Pada dasarnya, semua hijabi berusaha jadi orang yang baik dan berusaha menikmati hidup sewajarnya. Dah, gitu doang. Sama seperti orang lain, lah. Gue pribadi, sih, males kalo selaluuu dikait-kaitkan dengan hijab gue.

2. “Kalau kamu (seorang hijabi) melakukan suatu hal yang kontroversial—misalnya, minum alkohol, merokok, suka sama Lady Gaga—biasanya kamu akan ‘dimarahi’ oleh hijabi lainnya.

Mungkin sebagian maksudnya baik, yaitu mengingatkan bahwa hal-hal tersebut menjurus dosa. Tapi sebagian lain karena para hijabi tersebut khawatir, bahwa kamu merepresentasikan mereka.” –Sahar.

Misalnya, nih, kalo gue clubbing, hijabi lain pasti ngamuk, khawatir akan dianggap tukang disko juga. Padahal bukan. I’m just Laila. I’m not a representation of anyone. I’m not a representation of other hijabis. I’m not a representation of Islam. Kalo gue berdosa, ya gue dosa sendiri. Gue bukan contoh yang buruk, tapi gue juga bukan contoh yang baik.

'Tul nggak, sih, penonton? ("'Tuuuul...")

Intinya, diskusinya cukup seru, lah.

Tapi dari segi respon penonton….

Hmmm…




Faktanya, @america tuh sering banget ngadain event, besar maupun kecil, hampir setiap hari selama setaun. Dan untuk menjamin agar acara-acara tersebut rame, @america selalu ngundang komunitas dari berbagai institusi. Terserah deh, mereka mudeng apa enggak sama topik yang dibawakan, pokoknya undang aja dolo biar rame!

Nah, di acara workshop storytelling ini, @america ngundang dua institusi untuk meramaikan acara ini – para siswa sebuah Mts (?) setaraf SMA, serta para siswa IPDN. Mereka, sih, jelas nggak mudeng soal storytelling, apalagi soal Hijabi Monologues. Wong pada dateng karena lagi ada program kelas Bahasa Inggris! Zzzzz.

The Power of Storytelling: A Hijabi Monologues Workshop

The Power of Storytelling: A Hijabi Monologues Workshop

Apa akibatnya? Akibatnyaaaa, hampir nggak ada interaksi sama sekali saat workshop berlangsung. Ketika Kamillah dan Sahar menerangkan di depan, para penonton cuma bisa bengong, sampe Kamillah nyeletuk, “I can see you don’t understand what I’m saying… With your eyes glazing over like that…” Hihihi.

Dan saat sesi tanya jawab dibuka, muncul pertanyaan-pertanyaan ‘pinter’ seperti, “Apa pendapat Anda mengenai hijabi berpakaian ketat?” dan “Apa pendapat Anda mengenai perempuan bercadar?”

Zzzzz.

Sekali lagi, zzzzz.

The Power of Storytelling: A Hijabi Monologues Workshop

The Power of Storytelling: A Hijabi Monologues Workshop

Gue dan Dara sampe pengen nyakar-nyakar karpet saking malunya sama Sahar dan Kamillah. Dayum, people! Kalian bahkan nggak ada yang nanya soal storytelling atau event Hijabi Monologues-nya sendiri, lho! Langsung aja bahas-bahas soal ‘kontroversi hijab’!
 

But really, who could we blame, huh? Seharusnya @america bisa ngundang crowd yang lebih relevan nggak, sih?

Gue dan Dara sampe berusaha ‘menanggulangi’ tengsin kita kepada Sahar dan Kamillah dengan ikut mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ‘agak pinteran’, tapi teteup aja, deh.

The Power of Storytelling: A Hijabi Monologues Workshop

Kesimpulannya, gue pulang dari acara workshop dengan senang (karena dapet banyak insight baru) sekaligus gemes (karena respon kosong dari para penonton).

Ya udah lah, ya? Hufffft.

The Performance Night

Besok malamnya, gue kembali hadir di @america, tapi kali ini untuk menghadiri acara utamanya - acara pementasan Hijabi Monologues Indonesia! Ululululu…

The Hijabi Monologue Indonesia

Sebenernya gue nggak tau, gue bakal ngapain di acara ini. Apakah gue akan duduk manis doang di bangku penonton? Apakah gue akan diberikan karangan bunga sambil dielu-elukan? (ngarep). Apakah gue ternyata dapet hadiah karena menang Best Story? Tiket gratis ke Amerika, misalnya? (ngarep part 2). I really didn’t know. There was no brief. Pokoknya gue diminta RSVP hadir, maka gue RSVP hadir. Udah, gitu doang.

Gue hadir bareng T, dan kami nyampenya agak telat. Pas kami hadir, sudah dipentaskan cerita yang pertama, yaitu I’m Tired.

Satu demi satu, kesepuluh kisah—termasuk kisah gue—dipentaskan oleh para cast.

The Hijabi Monologue Indonesia

The Hijabi Monologue Indonesia

Total acara pementasan berlangsung selama satu jam.

Pendapat gue?

Pertama, kurasi ceritanya bagus. Ya eyalah, cerita-cerita ini semua ‘kan udah diseleksi ketat dan udah berulang kali dibawakan di sejumlah panggung Hijabi Monologues, di berbagai kota di Amerika dan Eropa.

Bahkan jujur, sebelum nyampe @america pun, gue udah apal semua ceritanya, hasil nontonin berbagai penampilan Hijabi Monologues di Youtube 100x sebelumnya, hihihi.

Kedua, soal penampilan para aktor…. Hmmm… To be brutally honest, gue nggak sepenuhnya sreg.

Giniiii… Menurut akika pribadi, Hijabi Monologues adalah sebuah ajang sharing. Kata kuncinya adalah sha-ring, maka tugas para cast adalah men-share kisah-kisah nyata para wanita Muslim tersebut kepada para penonton. These are real stories, from real women. Maka gue, sih, ngarepin performa panggung yang natural, bukan penampilan teatrikal lebay. Anggap aja situasinya kita lagi ngobrol-ngobrol santai di kafe. Gosip-gosip. Cerita-cerita. Ya nggak, sih?

Sayangnya, konsep penampilan Hijabi Monologues Indonesia ini nggak seperti itu. Konsepnya, yaaa, teatrikal, lah. Semua aktor tampil dengan… well, lancar dan profesional, tapi full acting dengan gesture-gestur heboh gitu, deh.

Beberapa 'kehebohan' gesturnya memang pantes, beberapa lainnya enggak.


Menurut gue, sayaaang banget. Karena dengan penampilan seperti demikian, penonton jadi merasa kurang deket dengan cerita-cerita yang dibawakan. Cerita-ceritanya jadi kerasa fiktif, karena dibawakan dengan fake juga. Coba kalo dibawain dengan santai dan natural, IMHO mungkin jadi lebih bagus?

Selain pembacaan ceritanya yang agak, uhuk, lebay, kostum para cast juga agak, uhuk, lebay.

Ternyata acara Hijabi Monologues ini disponsori oleh Alleira. Otomatis, kostum para cast pun adalah koleksi Alleira. The thing is, semua cast Hijabi Monologues Indonesia tuh berhijab, sementara Alleira bukanlah koleksi baju Muslim. Alhasil, outfit para aktor harus serba di modif tumpuk sana-sini, supaya menutup aurat, sehingga menurut gue… kok… kurang modis. Cieee, modis :)))

Maklum, aku golongan anti manset :)))

Dan bagi yang familiar dengan Alleira, pasti tau ya, betapa meriah dan warna-warninya koleksi mereka. Again, hal ini membuat penampilan para cast jadi AGAK kurang natural. Kisah-kisah yang dibawakan ‘kan kisah-kisah dengan latar kehidupan sehari-hari, ya. Kalo sedang membawakan kisah seorang anak mahasiswa, masa’ anak mahasiswa ngampus pake gaun batik?

Tapi perihal kostum ini minor, kok. Sedikit genggeus di mata gue, tapi gue yakin genggeusnya nggak universal. Urusan selera pribadi aja kali, yaaa. In fact, sebenernya gue cukup bangga Hijabi Monologues Indonesia disponsori oleh brand sebesar Alleira. Selain itu, Sahar dan Kamillah mungkin juga jadi sekalian ‘kenalan’ sama batik Indonesia. Okedeh.

Oke, selain akting lebay, apalagi yang menurut gue agak genggeus?

Pronunciation and enunciation Inggris para aktor.

Duh, tapi hal ini gue maafkan banget, deh. Emangnya gampang, nyari sepuluh orang aktor amatir wanita yang bisa dedikasiin waktunya untuk Hijabi Monologues Indonesia, sekaligus punya lidah bule? Susah, kaliii.

Sehingga poin ini gue maafkan banget. Dari kesepuluh aktor yang tampil, ada sekitar 3-4 orang yang pronunciation-nya bagus, dan 1 orang yang sempurna. Sisanya kumur-kumur, yamaaakkk… But still, kudos to you, ladies. Beneran!

Hal terakhir yang menjadi sedikit masalah adalah translation. Indonesia bukanlah negara berbahasa Enggris, sementara kesepuluh kisah Hijabi Monologues ini murni berbahasa Inggris. Inggris Amerika pula, yang penuh dengan berbagai istilah, slang, humor, serta sarkas lokal. Pastinya bukan bahasa Inggris textbook LIA. So if you’re not familiar with the American style of speaking, dijamin cerita-ceritanya nggak akan nyos di hati.

Malam itu, di panggung Hijabi Monologues Indonesia, terdapat sebuah layar gede sebagai backdrop panggung. Nah, di setiap pembacaan cerita, tertulis terjemahan kisahnya dalam bahasa Indonesia di layar tersebut.


Apakah hal tersebut cukup membantu? Ow, cencu cidak. How do you translate local humor and slangs? Mungkin penonton bisa paham esensi ceritanya, tapi mereka tetep nggak akan nangkep ‘feel’, suasana, dan undertone kisah-kisah yang dibawakan. Sayang, ya?

Akibatnya, cuma sedikit penonton yang bereaksi—ketawa, hening, tepuk tangan—disaat-saat yang tepat selama pementasan.

Nggak apa-apa, lah. Toh, selama ini, Hijabi Monologues selalu dipentaskan di negara berbahasa Inggris, dan ini adalah pengalaman pertama Hijabi Monologues tampil di non-English speaking country. That is why, gue lega mendengar bahwa pementasan Hijabi Monologues di Belanda nanti akan dibawakan dalam bahasa Belanda. We’ll see if that is a better way. Namanya juga trial and error ya, boookkk.

Terlepas dari segala plus-minusnya, Alhamdulillah, pementasan kesepuluh cerita Hijabi Monologues Indonesia berjalan dengan lancar. Dua cerita gue dibawakan di urutan ketiga dan terakhir. Gue super grogi melihat nama gue terpampang segede gaban di layar, dan mendengar cerita gue disuarakan oleh para aktor.

Kalo kata Kamillah, “Isn’t it weird to see someone else acted as you?” Maaakkk, totally weird :)))


Major kudos for the wonderful cast, serta Bapak Bambang Prihadi selaku acting coach mereka. Yay!

The Hijabi Monologue Indonesia

The Hijabi Monologue Indonesia

Selesai acara pembacaan cerita, dibukalah sesi diskusi. Panelis yang dipanggil ke panggung adalah kedua founder Hijabi Monologues—Sahar Ullah dan Kamillah Pickett—seorang feminis serta penulis wanita, Olin Monteiro, dan…

GUE.

KOK GUE, SIH?!

OMG, I hate these kind of surprises. Nggak ada pemberitahuan sebelumnya bahwa gue akan jadi panelis. Kudu ngemeng bahasa Enggres pula ‘kan?! Omaygaaad.

But what could I do? Ketika Sahar manggil nama gue untuk maju, gue cuma bisa merayap gontai dengan awkwardness level Michael Cera.


Satu hal yang sangat, sangat gue inget adalah, ketika gue berjalan menuju panggung, salah seorang aktor Hijabi Monologues Indonesia di bangku penonton berbisik tapi kenceng banget, “Oh, itu orangnya?!”

Hahahaha! Maksud loooh?!

Gue sih mikirnya, para aktor ‘kan berlatih selama dua bulan, jadi selama dua bulan itu mereka berulang-ulang membaca / mendengar cerita yang gue tulis. My personal stories. Jadi ketika mereka AKHIRNYA ngeliat muka gue, mereka kaget kali, yaaa... Kok kece amat? Zzzzz.

Diskusi berjalan lumayan lancar. Sahar, Kamillah, dan Mbak Olin did great, sementara akik udah nggak jelas ngemeng apaan T___T Cuap-cuap aja kayak rapper!

The Hijabi Monologue Indonesia

The Hijabi Monologue Indonesia

The Hijabi Monologue Indonesia

The Hijabi Monologue Indonesia

Pastinya, gue selalu berusaha ngasih jawaban ‘intelek’ tiap kali ada pertanyaan, tapi yang keluar teteup belepetan a-i-u-e-o. Dan pas gue ngeliat rekaman videonya, omayjooot, gue beneran kayak rapper!

The thing is, gue baru tau bahwa kalo gue lagi ngomong nerfes, I make a LOT of unnecessary hand movements. I also do a lot of awkward half-smiles and eye rolls. Asli, rapper gilak. Maluuuu… Nggak lagi-lagi, ah, public speaking dadakan gini! Duh, gimana mau nyampe ke panggung TEDx, yaaa? :)))

Alhamdulillah, di acara diskusi panel ini, nggak ada pertanyaan-pertanyaan ‘pinter’ seperti saat workshop sehari sebelumnya. Ada, sih, 1-2 biji, tapi nggak terlalu ‘nggemesin’.

Satu hal yang gue simpulkan—karena gerakan ini memakai judul ‘hijabi', banyak penonton yang fokus kepada isu hijab dan syariah Islam, bukan kepada isu wanita, rasisme, atau misi Hijabi Monologues-nya itu sendiri.

Yastralah, yaaa. Intinya, acara berlangsung dengan lancar dan cukup menyenangkan, kok. Yang pasti, gue seneng dan bangga bisa terlibat di acara ini.

Dan walaupun gue nggak dapet hadiah apa-apa, puji-pujian dari Sahar (“I love the honesty of your writings,”) dan beberapa aktor Hijabi Monologues Indonesia (“Mbaaak, aku suka banget, deh, cerita Mbak!”) udah lebih, LEBIH dari cukup buat gue. Eciyeeee…

Truly great and inspiring event! Dan gue berharap kedepannya Hijabi Monologue berhasil mencapai apa yang mereka cita-citakan dalam skala internasional…

because we really do hope people would stop caring what’s ON our heads, and start paying attention to what’s INSIDE our heads. Jilbabes representin’!!!

The Hijabi Monologue Indonesia

***

PS. Special tararengkyu buat kamuh-kamuh yang nyempetin dateng untuk mendukung. Muah, muah, muah! :-*

PPS. Video dari keseluruhan acara pementasan Hijabi Monologues Indonesia, 22 Oktober 2013. Monggo di-fast forward aja kalo kebosenan, hihihi.


Also this, (yes, I'm a famewhore)



PPPS. My stories that won the contest. FYI, ini bukan versi aslinya, melainkan yang sudah di-edit oleh Sahar supaya lebih ringkes dan non-rempes :D

A disclaimer—semua hal dalam cerita ini nyata, tapi nggak semuanya kisah pribadi gue.

Hijabis After Dark
Written by Leija
Edited by S. Ullah

All kinds of nocturnal activities that take place in dim-lit nightclubs can instantly become very awkward with a headscarf.   

Forget about rave clubs. Take this one jazz lounge I walked into with my husband.  All eyes were instantly on me. Maybe because 90% people there drink champagnes and vodka, and we ordered nothing but iced teas? Whatever it was, I made people uncomfortable, and I was made to leave.

Another time, my friend held this costume party at a hip, underground pub. I’ve always loved the idea of dressing up as crazy characters, but costume parties are somewhat rare in my town.  Naturally, I was excited for this party, and I was determined not to get kicked out of this club. 

…However, I was stumped in finding an original yet hijab-friendly costume that didn’t reveal I was a hijabi. I definitely didn’t want to show up without one and again be the oddball.

Then, I had an idea—I went as a “terrorist.”  I dressed in a solid, black burqa that covered everything except my eyes, carried a fake AK-47, and strapped fake bombs to myself. 

No one suspected I was a hijabi and it was a big hit!

Another hijabi friend of mine misses music lounges so much, she creates one at her house, complete with home sound system, dim-lighting and halaal drinks. We’d have grape juices and chat and sorta dance with each other. It’s fun and pathetic at the same time. 

And still another time, I was once on an assignment to cover an event at a popular nightclub. I used to work for a lifestyle magazine., and part of my job was to cover various happenings around town.

So there I was, standing in front of the club’s door, ready to enter.  Ready to do my job…

…when the bouncer stopped me.

“Sorry, miss. You can’t come in.”

“I’m covering this event for so-and-so magazine.”

I showed him my press card and my invitation. He still refused.

So I asked him why.

He said, “Well... you’re not following the dress code.”

I then looked up and saw next to the door a sign showing the nightclub’s dress code. It said, “No shorts, no flip-flops, and no weapons.”

That night, I definitely left my handgun at home. So I thought, Maybe it’s my jeans?

I told him, “Hey, if it’s my jeans, I saw a lot of people in them coming in and out just now!”

The bouncer replied in hesitation, “Well, it’s not the jeans…”

“Then what???” I shouted. The event was starting, and I was late.

“Well, miss, you DO know we serve alcohol inside...”

Then it hit me. My turban.

The irony was, prior to the event, I fully realized that a hijabi in a nightclub would seem weird to some. So that evening, I “revamped” my hijab. Instead of my usual long scarf, I wore a turban tightly wrapped around my head. At first glance, the turban seemed more like an accessory than a head cover. I was pretty sure people could hardly tell I was a hijabi,

And I’m pretty sure I looked fabulous.

But the bouncer could tell. He apparently knew hijabi fashion quite well and that turban style had gone vogue.  And apparently, even with my stylish turban, I was still the odd one in the sea of miniskirts. And so he persistently declined, although I was there for work and not breaking any law.

Unless you count fabulousness as a crime.

A Letter from the Future
Written by Leija
Edited by S. Ullah

If I can give a letter to my 19-years-old self, here’s what I’m going to write:

Dear teenage Salma,

Don’t trust that boy. Just don’t. I know he’s handsome, mysterious, irresistible, and makes you feel absolutely giddy from head to crotch. However, your first time having sex with him will not be as important to him as it is to you. Also, despite all of his smooth-talking, you two are not going to elope and live together forever as rock stars.

Dear teenage Salma,

Deciding to wear hijab is not going to make you feel better about losing your virginity. Maybe it will for a while, but the guilt will haunt you back if you don’t forgive yourself.

Also, your parents will find out. Don’t ask how.

Dear teenage Salma,

You have to realize our society is very judgmental. You will be expected to be an overall saint and recite the Quran like an award-winning qari’ah. Oh, speaking of which, everybody will assume you know ayahs and hadiths like the back of your hand but NOT the current Top 40 on the radio.

Also, there will be times when travelling to Western countries are such. A pain. In. The. Ass. Especially when going through immigration.

Dear teenage Salma,

Your friends will slightly change, too. They will give you supportive words, but be ready to be left out of a lot of fun, like that Metallica concert you’ve been waiting for forever.  Some friends will just automatically leave you out of the loop. You’ll also miss a lot of exciting bachelorette nights and hilarious dirty jokes. Sigh.

Dear teenage Salma,

At this point, you’re probably wondering about Alex, your gay best friend since 10th grade. Well, initially, he worries that you’ll be too holy for him and judgmental. Don’t worry though. After some time, Alex will see you for who you are and he’ll stick by your side.

Dear teenage Salma,

I’m not trying to break your spirit. I’ll just tell you this – making mistakes can make you a lot wiser and stronger.

Dear teenage Salma,

Don’t give up.  And tell this to myself, 10 years later.

23 comments:

muti said...

pertamax gan!!

beberapa hari setelah baca tulisan Hijabi monologue part 1, gue liat iklan liputannya di salah satu stasiun televisi swasta. Sempet nyari-nyari penampakan dirimu di iklan itu, dan ternyata yg ditampilin kayanya cast nya aja yah?

terus menulis ya lei...jangan males2 update blognya *mlipir pelan2*

wawagunk said...

Selamat yah mbak, pasti banggaaaaaa banget yah.




buat iyank (pasti ente baca nih blog, sapa tau baca komennya) nyeseeeeelll ga jadi dateng kesiniiiiii

risti said...

omaijottt, kamu keyen abisss aku ngefens!!!

Sri,16,Brebes said...

Qaq Laila,


Sri ijin forward2 ya supaya temen2 Sri sekampung jadi ikutan keren kayak Qaq Laila.

Sri ngefen...

Anonymous said...

*tepuk tangan*
I love love love your stories. Apalagi yang Letter From The Future. Mengharukan!

Dan bener memang, sayang banget respon penonton kita masih kurang "kena" untuk acara seunik ini. Padahal udah ngarep ada diskusi seru tentang isu2 wanita masa kini, tapi baliknya ya ke baju ketat lagi...baju ketat lagi.

Heran juga gak ada yang gatel nanya tentang baju super lebay performersnya (yang sebenernya setipe juga sama trend hijabist modis masa kini di dunia maya...errrr)

JJ said...

Aaaaakkk... ga ngerti harus mulai ngomong dari mana (waspada! ini komen bakal panjang!)

oke. Pertama. Selamaaaat. Keren banget, La. Gue juga sukak bacanya. Keduanya! Ga kerasa bacanya sambil nahan nafas dan kerongkongan sesak bak mau nangis.

gue akui, kadang menghakimi juga terhadap jilbab. dalam kondisi ada seseorang yang berjilbab tapi kelakuannya bi4dab *maap. Dalam arti sebenarnya : backstabber bin cari muka. kalau ngomong, asli bikin sakit hati. memandang rendah orang. Pasti dalam hati terucap "pake jilbab kok yada yada yada"

gue setuju poin2 tentang "kekurangan" penyelenggaraan HMI. yang paling genggeus kok masalah pakaian ya. Opini gue.. opini yaa... kan itu ceritanya personal banget. Satu dan lain berbeda kondisi. Tapi masa pakaiannya "seragam". Walau begitu, sudah much much step forward daripada tutorial hijab ya qaqaaa. (psst.. gue masih menyimpan ketakutan tiap ada hijab week exhibition gitu. suka mikir "sekarang apalagi yang ditaroh d kepala)

Trus, maaak. Kece banget pas performance night. You looked glowing. Dan tinteuuus... tinteus kayak rapper. I hear you clearly.

Mr T harus nonton dooong. Gue di posisi loe aja bakal nebar selebaran acara itu ke seluruh RT kok! hihihihi.

Gemma said...

Ngahahahahakak! Awkwardness level Michael Cera! Langsung ngebayangin langkah gontai menuju panggung..

Lela, keren banget banget banget! Tulisannya layak dapet jempol kaki udah dipedikur!

miund said...

Dear teenage Salma, maybe it's awkward now, but years later, you will find a group of people who you converse with everyday that will accept you for who you are, look past your hijab and see the true you, and laugh hysterically at your teenage antics. They will also share the dirtiest, the juiciest even the most embarrassing experiences and laugh them off together despite their beliefs, clothing attributes and accessories. On a daily basis. Yes. Oh and yes, they will also be there when you need to vent about anything.

But most of all, if your stories got picked up and performed in the Hijabi Monologues like this, they'll be so freaking proud of you.

Karena kita vebelessss!!!! :D

prin_theth said...

Muti: Siap! Ehehehe *kretekin jari* Ooo, ada iklannya ya? NET.tv atau Metro TV sih, aku nggak nyadaaar...

Wawagunk: makasih sayaaang :-* Ih kok nggak dateng siih...

Risti: Aku lebih ngefans sama kamu, Mimut Nugraha!

Sri: BOLEH, SRIII, BOLEEEEH! Yang penting abis Lebaran kamu balik, jangan kasih harapan palsu ke aku...

Rika: Hahaha, makasiiih Nona Rika maniiis. Iya, gue jadi pengen tau siapa stylistnya. Pengen gue, um, kasih pengarahan *anjir, sok abis hahaha*

Iyut: Komenmu tajam dan terpercaya deh, Yut, as always! Soal kostum, iya ya, gue baru ngeh bahwa nuansanya seragam (ya karena satu sponsor, kale!), jadi kurang personal per cerita :D

Coba bisikin siapa itu jilbabe yang bi-adap (loh kok malah nggosip) hihihi. Tapi intinya, sterotyping itu hal yang super duper manusiawi, Yuuut. Di dalam kalangan hijabers aja, stereotyping pasti ada. Sterotype untuk hijabers fashionista, hijabers anti deodoran (ALAMAK), dan sebagainya :D

Btw, itu bukan glowing, tapi lupa bawa kertas minyak, ahahaha SEBEL!!!

Gemma: jempolnya jangan lupa di-selfie yaaa. Dapet salam dari jalan gontai Michael Cera. KZL!!! :)))

Miund: Aaaaaaa! *sun jidat* I love you, menkominfo gengger ku tervebeleeesss :)))

Anonymous said...

Congratulations!
Meski pasukan yang dipanggil @America buat menuh-menuhin kursi penonton rada bikin malu, tapi ketutup kok by the fabulousness of your stories.
I think your stories can represent and give a voice to all the smart women in Indonesia. Turut bangga sebagai pembaca setia blognya! Selamat berjuang sampai panggung TedX!

Unknown said...

Mba Laila... I adore your writings!!

Selama ini saya jadi silent reader di blog ini, cuma pas baca Hijabis After Dark sama A Letter from the Future rasanya nyesek bangeeet (beneran ini, gak lebay..hehehe)

I feel you Salma!

Oke Mba laila terimakasih untuk tulisan-tulisannya, ditunggu postingan selanjutnya ;)

prin_theth said...

Anditry: Ahhhh, manis amat siiih? Makasih yaa bumiil :)

JusT: Hihihi thank youu :)

CHN said...

Lei... I've been your fan since... 2010 waktu jaman perisiapan nikah itu. Tulisan-tulisanmu bagus banget.

Apalagi yang menang hijabi monologue ini. Keren! Banget bangettt! Cinta deh! Kok bisa sih punya talent seperti itu. It seems like you're born to write!

Belum bisa lihat you tube-nya (masih di kantor dan akses ke situs itu ditutup). Duh, sayang kalau diceritain pake gaya heboh bin lebay. 'Jiwa'-nya bisa hilang dong.
Lebih ada jiwanya kalo gw baca sendiri dengan intonasi natural kali yee? Hihi.

Keep writing! :)

Kiky said...

Mbaaak, sebagai pembaca blogmu, aku jadi ikut terharuuu.

Selamat ya Mbak Leija! Ayo go international :D

Leony said...

La,... kenapa kagak elu aja sih yang bacain? Pasti jauh lebih bagus deh! *asal kagak pake rolling eyes dan continuous hand movements hahaha*

Aneh ya, orang Indonesia mikir monolog itu = pementasan teater. Gak sreg banget gue liat baju2 dan makeupnya. Sangat ngga natural! Jangan2 acting coachnya juga ngajarinnya untuk jadi seperti itu kali ya? Maksudnya untuk act lebay kayak di pementasan teatrikal.

And bravo! Gue belum liat videonya karena gue masih jam ngajar, tapi gue udah baca ceritanya, dan gue masih inget foto elu bawa AK-47! Semoga walaupun dimulai agak rough, nanti Hijabi Monologue Indonesia ini bisa menjadi awal dari didengarnya isi hati para hijabers Indonesia. Gue banyak belajar juga loh dari tulisan elu. Thank you!

Anonymous said...

I love your stories, but most of all, I love your point of view! You're absolutely right, it's not what's ON a woman (either hijab or bikini), but what's IN her head. Thanks for sharing.

prin_theth said...

Citra: Boookkk, of course I remember you si manten tolaki nan manis! Hahaha... jauh ya, nggak kerasa udah lama juga nikahnya :D

Makasih banget ya masih mampir-mampir ke blog ini :D

Kiky: Aaaamiiin, masa sih nggak bisa kayak Agnes Monica, yenggak?

Leony: Le, gue bukan mau mendeskreditkan cast dan acting coach acara ini ya, tapi coba kalo lo liat videonya, pasti pengen ngamuk hahaha. Lebayyy! Udah dua orang protes ke gue hahaha.

Tapi anyway, I still appreciate what they do. Dan iya maakkk, gue pengen banget jadi salah satu cast Hijabi Monologue, tapi nggak bisa audisi karena bentrok sama kawinan hihihi.

Thanks for all the kind words ya, Leee... Kiss buat Abby!

Dustysneakers: Thanks so much! Really. I love your blog by the way :) Travel blog bagus tuh agak susah ditemukan lho :D

Anonymous said...

Thanks, Laila! Saya dan Twosocks cengar cengir kamu suka blog kami :D

Oni said...

aku menyesal ga memberanikan diri masuk malah duduk di sofa luar nonton layar... aarrghh maaf yaa.. Anw aku banggaaaaa sekali denganmu..;)

aloneatlast said...

trus knp kalau sekolah Mts? IPDN? ga asyik gitu ya? ga anti mainstream ya? emang kamu yg paling cool sendiri yah. cara pandang tentang hijab aja udah menyimpang jauh dari syariat. yg penting itu bukan di mata manusia, tp di mata Allah.

aloneatlast said...

hi mbak, maaf beberapa saat lalu saya pernah comment pedas di tulisan ini, entah terbaca atau gak. tapi kalau sempat terbaca, saya minta maaf...

prin_theth said...

Nggak, Mbak. Aku masih kalah cool sama Mbak, beneran deh.

prin_theth said...

Nggak apa-apa, Mbak. Mungkin sedang kesambet. Jangan sering-sering ya, kthx.

Post a Comment