Mar 17, 2022

Seniman dan Karyanya


A Good Woman. By Laila Achmad.

I’m unfollowing her. And her. And her. They’re good people, but they’re giving me anxieties. Why do they have such tight bodies? They’re my age. They’re my age, right? And they eat like shit. That’s unfair. I don’t eat like shit. Unless on the days when I missed my personal deadlines, and my son's teacher texted me that he hasn't submitted a dozen of his assignments, and my husband just went back on his month-long business trip, and my house's a mess, and I had no one to talk to – really talk to - and I felt empty, and I just wanted to crawl back to my bed and die. Those are Indomie days. And those days are normal, right?

They have a warung Indomie in New York now. Why am I not in New York? Not to go to faux fashion week, but to study. I want to learn more about the world. About its people. I’m capable. At least I believe I’m capable. But society doesn’t think so. When can I be in New York? I’m almost 40. Only yesterday my husband asked me, what are you going to do with that Master's degree you so stubbornly pursue? How much would you make from that degree? He he he. I chuckled along with him, he he he, probably not much. But his question echoed back to me, made me doubt myself a bit more, hate myself a bit more.

Don't hate yourself. Love yourself, they said. Beauty influencers said I need to buy this new serum. Self-love, they said. My Shopee cart is filled with so-called self-loves. Why does her skin so good and her body so tight? How much does a tummy tuck cost? I want to feel better about myself. Will a baby make me feel better about myself? No one talks about miscarriages enough. How are my two fetuses up in heaven? Are you watching Ibu struggle? Sometimes I forgot to think about you, babies. But whenever I do, I remember the pain. Oh, the pain. The burning pain on my vagina, the burning pain inside my heart, detected by the cold ultrasound device on my lifeless tummy. No one talks about miscarriages enough. Please please please God protect this new fetus. I promise I will be good. A good wife. A good mother. A good woman.

Hola!

Setelah kita kasih sepenggal tulisan yang mendayu-dayu gitu, kita kasih sapaan ceria. To show you I'm not suicidal, I promise :') Apa kabar pemirsa?

Beberapa hari setelah International Women's Day kemarin, gue nulis ini dengan spontan di Instastory. Beneran spontan, lho. Cuma lima menit, trus jadi. I didn't think about it much. I didn't even spell-check, which made the Virgo side of me screamed.

Yang mau gue bahas dikit adalah gimana orang-orang mencerna sepenggal tulisan ini.

Sekitar 85% follower gue hanya fokus ke bagian terakhirnya, sehingga berkomentar "Mbak hamil? Selamat yaaa, sehat-sehat, yaaa!"

Sebagai mahkluk sosial, tentu gue senang didoain kayak gitu - terlepas gue beneran hamil apa nggak (hamil nggak, siiih...? Pada taruhan plis. Taruhan kok minta!). Tapi sebagai penulis, gue agak kecewa, karena bukan itu reaksi yang gue harapkan. Nggak penting kalau faktanya gue hamil atau nggak. Bahkan nggak penting kalau tulisan ini fakta atau fiksi. Siapa tau tulisan ini bukan tentang gue?

Esensi yang ingin gue tampilkan dari sepenggal tulisan ini adalah the woes of a woman. Derita-deritanya perempuan. Setelah hidup selama hampir 40 tahun, gue bisa menyimpulkan bahwa beban jadi perempuan itu berkali-kali lipat dari laki-laki. Sebagian beban fisik, sebagian beban mental. Sialnya, mayoritas beban-beban itu nggak kasat mata, sehingga perempuan harus bersikap seakan-akan beban-beban itu ya... nggak ada. 

Gue sering bilang ke teman-teman laki gue, "Tau nggak lo, ketakutan kita di jalanan aja beda?" Kalau laki-laki jalan sendirian di gang gelap, pasti ada ketakutan ditodong, dibegal, atau dijambret. Kalau perempuan, ada ketakutan itu semua, tapi plus takut diperkosa dan dibunuh. Nggak harus kalau lagi jalan sendirian di gang gelap, deh. Lagi naik taksi atau jogging sore aja sering merasa gitu, kok. 

Itu mungkin contoh yang spesifik. Tapi ada segudang contoh beban mental lain yang dialami perempuan setiap harinya, sejak kita bangun tidur sampai tidur lagi. Sejak kita mulai punya kesadaran norma gender di usia balita ("Pink is girls' color!"), sampai nenek-nenek. Sebagian besar beban mentalnya tipis-tipis, tapi yang pasti, mental load perempuan jauh banget sama laki-laki.

Meski begitu, 15% teman dan follower merespon Instastory gue dengan penuh empati, dan sepertinya menangkap esensi yang berusaha gue sampaikan.

Terinspirasi oleh International Women's Day, tulisan gue di atas sebenarnya berusaha merangkum beban-beban mental tak kasat mata yang gue - seorang perempuan - alami hampir setiap menit, setiap hari, in my waking hours. Beban-beban mental terkait tekanan penampilan, ageism alias diskriminasi karena usia, tekanan sosial, validasi diri, dan tentunya (kegagalan) menjadi ibu.

Beban-beban mental kolektif ini gue yakini dialami banyak perempuan, tapi nggak dialami oleh - misalnya - suami gue, sehingga tiap malam do'i bisa tidur nyenyak dengan dengkuran yang nggak putus, sementara gue rutin merenung dan menatap langit-langit kamar jam 3 pagi :') 

Beban-beban mental ini juga umumnya dianggap nggak ada oleh generasi atas. Kalaupun ada, solusi yang ditawarkan hampir selalu hanya, "perbanyak sholat". Gue adalah mamak-mamak paruh baya yang kelakuannya mulai nyebelin, termasuk meremehkan generasi di bawah gue.

Tapi sebanyak apapun komplen gue terhadap Gen-Z, satu hal yang gue syukuri adalah mereka mau mengakui bahwa beban mental yang menggerus kewarasan itu ada dan nyata.

Jadi kalau gue bilang, "Mau tau nggak, apa aja beban mental yang musti lo siap-siap hadapin pas lo mau 40 taun nanti?", they would probably listen and wouldn't say "Tante perbanyak sholat aja, deh."

:)

1 comment:

Fradita Wanda Sari said...

Kak, aku kembali ke post ini setelah nonton Barbie :))

Post a Comment