
Kalau bicara
soal Jepang, sudah pasti gue bakal bias-sebias-biasnya.
Jepang—khususnya
Tokyo—adalah kota yang dekat dengan hatikyu, karena Tokyo adalah destinasi perjalanan
internasional pertama gue. Gue perdana menginjakkan kaki di Tokyo waktu gue TK,
dan hamdalah berkesempatan bolak-b alik ke sana sejak itu. Alhasil, di kepala,
terbentuk kolase yang terdiri dari berbagai memori yang tercipta di ibukota
negara Matahari Terbit tersebut.
Gue ingat, waktu
SMP, kami sekeluarga ke Tokyo tapi nggak nginep di hotel, melainkan numpang
nginap di apartemen seorang teman bokap yang kebetulan lagi kosong. Di akhir
tahun 90an begitu, boro-boro ada konsep Airbnb. Maka rasanya aneh-aneh gimana
gitu, ya, numpang nginep di sebuah apartemen Tokyo yang sempit warbiyasak,
milik orang asing pula. Tidur pun pake sakit pinggang gara-gara tidurnya pake
futon, sambil tatap-tatapan dengan foto keluarga si pemilik apartemen di
samping kasur. Wowww, mesra.
Gue ingat,
ketika gue pertama kali ke Tokyo berduaan adik gue, tanpa ortu, jaman kuliah
dulu. Waktu itu awal tahun 2000an (age revealing banget, nih!), belum ada
smartphone. Alhasil 80% dari isi jalan-jalan kami adalah nyasar dan berantem
karena nyasar. Sisi positifnya, kami mendapat banyak ilmu, baik yang berfaedah
maupun yang receh. Contoh ilmu berfaedah: mengasah nalar sendiri untuk menavigasi hutan subway Metro. Contoh ilmu receh: pertama kali tahu
bahwa McDonalds dibaca “Mekudonaru” dan Uniqlo di-pronounce “Yunikuro” (kenapa,
sih, orang Jepang menciptakan nama brand dengan huruf L, kalau nggak bisa
di-pronounce?!).



Biasanya,
kalau kita diperkenalkan kepada suatu hal ketika kita masih kecil, hal tersebut
akan imprinted ke kepala kita dengan dalam. Begitulah relasi antara gue dan
Tokyo. Karena dikasih icip sedari kecil, selama bertahun-tahun, gue merasa
Tokyo dan budaya kehidupan masyarakatnya adalah yang terkeren sedunia!!1!1!! Dan
gue nggak pernah mau melewatkan kesempatan untuk balik lagi ke sana.
Tapi semenjak
turisme global menguat, dan Tokyo akhirnya jadi “Singapura kedua” bagi turis
Indonesia, gue jadi males plesir ke Jepang. Yes, yes, call me pretentious dan somsek, tapi
jujur aja, ada setitik rasa malas pergi ke tempat yang banyak orang
Indonesianya. Ada perasaan rugi, sejenis “Udah pergi jauh-jauh, keluar duit
banyak, eh yang kita denger logat anak Jaksel ugha. Which is, basically, like,
literally kek gimana, gitu...” Padahal salah satu
kesenangan travelling ‘kan mendapat atmosfer yang seasing-asingnya,
sebaru-barunya, ya.
Sampai bulan
lalu.





Setelah tujuh tahun melewatkan berbagai kesempatan pergi ke Tokyo, bulan Juli kemarin akhirnya gue berkesempatan pergi lagi ke sana, selama enam hari, bareng keluarga. Wuidiiih.
Apa
rasanya, La? Pertama, rasanya agak kaget, karena Tokyo lumayan berubah sejak
terakhir kali gue ke sana. Kedua, rasanya bak CLBK. Sungguh.
Meskipun
ada beberapa wajah Tokyo yang berubah—misalnya, manusia-manusia di Tokyo
sekarang jadi jauh lebih beragam, sehingga kotanya terasa lebih jadi “melting
pot” dibandingkan saat gue terakhir kali ke sana—perjalanan tersebut kembali
mengingatkan gue, kenapa dulu gue jatuh cinta dengan Jepang, khususnya Tokyo.
Kenapa tuh, La?
Karena “kepribadian”
Tokyo sesuai banget dengan kepribadian gue.
Tau ‘kan,
kalau setiap kota di dunia punya karakter dan kepribadian khasnya masing-masing?
Kebetulan, rasa-rasanya, gue cocok dengan karakter dan kepribadian Tokyo.
Pokoknya seandainya Tokyo adalah seorang laki, maka akan kujadikan suami,
sementara kalau dia adalah seorang perempuan, maka akan kujadikan saudara
seumur hidup. Takbir!
Apa aja,
sih, karakter, dan kepribadian Tokyo yang gue rasa cocok dengan gue?
TERATUR

Seperti
kepribadian gue—si 40% Libra 60% Virgo—Tokyo adalah sebuah kota yang teratur,
sistematis, simetris, dan berpola. Semua orang bergerak pada jalurnya, memposisikan
diri pada tempatnya, pada waktu yang semestinya. Pernah denger istilah “keteraturan
dalam kekacauan” nggak? Gue yakin istilah itu lahir dari Jepang, karena
sekacau-kacaunya suatu hal di Tokyo, rasanya selalu ada keteraturannya.
Gue nggak
pernah melihat kerumunan orang seteratur kerumunan orang di Jepang.
Misalnya,
di peron kereta saat rush hour, atau di Tokyo Disneyland saat lagi mau nonton
pertunjukkan. Walaupun awalnya mereka bejubel dengan chaos, pelan-pelan
manusia-manusianya otomatis bikin barisan, atau semacam keteraturan dalam
bergerombol tersebut.



Kadang keteraturan tersebut terjadi karena arahan otoritas, tapi biasanya terjadi karena sudah insting orang-orangnya aja. Jangan-jangan, orang Jepang nggak punya hasrat nyelip, nyelak, atau keluar jalur. Self-control-nya, kok, warbiyasak gitu? Pada rajin puasa sunnah apa gimana?
Kalau ada
orang yang merasa nggak nyaman, nggak sabar, pegel, atau kebelet pup ketika
berada di tengah kerumunan itu, kayaknya dia telen aja, deh, demi keteraturan.
TERTUTUP DAN PRIVATE

Juga seperti gue, Tokyo adalah kota yang introvert dan sangat menghargai privacy, apalagi kalau dibandingkan orang Amerika. Semua orang berbicara seperlunya, nggak ada yang suka ngobrol basa-basi ke orang asing, dan mereka menjunjung tinggi keheningan. Di dinding berbagai stasiun kereta, gue lihat ada banyak poster iklan layanan masyarakat yang menghimbau agar penumpang nggak berisik di kereta.
Apa, sih,
definisi berisik mereka? Main gendang? Ketawa-ketawa ngakak bareng teman-teman
segeng? Nggak, tuh. Bagi mereka, definisi berisik bisa sesederhana mendengarkan
musik keras-keras… pakai headphone. Jadi suara musik yang bocor dari headphone
pun dianggap sebuah keonaran, pemirsa! Wow, keknya Tokyo nggak Batak-friendly, ya
:D Padahal untuk standar Jakarta, suara bocor dari headphone tentunya suara
sepoi-sepoi belaka.
Selama bolak-balik
naik kereta Metro, gue, Teguh, dan Raya kadang ngobrol di perjalanan. Ngobrolnya
biasa aja, dengan level suara yang sangat normal, standarnya orang Jawa, lah.
Tapi begitu
doang pun gue merasa nggak enak, karena NGGAK ADA SATUPUN orang di sekitar kami
yang ngobrol, baik di telpon, atau ngobrol live sama temannya. Pokoknya semua
sileeeent… of the lamb.




Yang lebih absurd adalah perihal memanggil orang di publik. Seringkali, waktu kami sedang berada di kerumunan, salah satu dari kami terpisah. Misalnya, tau-tau si Raya ngacir duluan entah kemana. Tentunya, gue harus agak teriak memanggil si oknum yang terpisah, karena susah ngubernya.
“Rayaaaa! Aydiiiin!” Lagi-lagi, dengan
level suara sewajarnya, ya, bukan level suara kenek manggil penumpang nggak
bayar. Nggak “WOY, WOY LAE!!!”



Nah,
walaupun kerumunannya sedang ramai, gue betul-betul nggak enak teriak-teriak
manggil-manggil… because no one else does it. Serius, deh. Nggak pernah
sekalipun gue menyaksikan orang Jepang berseru memanggil orang lain, termasuk
ibu dalam memanggil anaknya. Padahal di kerumuman, hal tersebut ‘kan wajar
terjadi, ya. Apalagi yang namanya anak kecil, pasti doyan ngacir, sehingga
emaknya harus jejeritan, “Otooong! Balik sini!”. Tapi sepanjang mata gue
memandang, nggak ada, tuh. Alhasil, oknum yang mau dipanggil ya harus dikejar.




Bagi orang
Indonesia yang biasa teriak-teriak, hal ini mungkin merepotkan. Memang betul.
Tapi gue juga melihat ini sebagai hal yang indah. Siapa, sih, yang nggak senang
hidupnya bebas polusi suara?
Ke-private-an ini sudah gue sadari dari dulu, sejak gue menyadari bahwa kalau ada orang Jepang baca buku di publik, bukunya pasti dibungkus kertas polos, sehingga sampul aslinya nggak kelihatan. Kenapa harus malu, sih? Apa mereka lagi baca buku stensilan atau hentai? Pas gue intip, bukunya normal aja, tuh. Mereka sekedar nggak pengen orang lain tahu, mereka sedang baca apa.
HP Jepang pun terkenal karena fitur kameranya nggak bisa di-silent. Jadi kalau kita motret dengan HP Jepang, pasti akan ada suara CEKREK-nya, meski sudah disetel ke fitur silent. Tapi hal ini gue pahami motivasi "penting"nya, yaitu supaya nggak ada orang yang bisa diam-diam motret pervert (misalnya, motret dari bawah rok cewek).
Ke-private-an orang Jepang pun dibawa ke ranah kamar mandi. Pasti pada tahu, dong, kalau toilet di Jepang umumnya dilengkapi oleh washlet, alias seperangkat fitur untuk mendukung kenyamanan buang hajat? Mulai dari tombol flush besar, flush kecil, semprotan air untuk cebok depan, semprotan air untuk cebok belakang, tombol untuk menghangatkan dudukan toilet, sampai tombol suara latar, ada semua.
Ke-private-an orang Jepang pun dibawa ke ranah kamar mandi. Pasti pada tahu, dong, kalau toilet di Jepang umumnya dilengkapi oleh washlet, alias seperangkat fitur untuk mendukung kenyamanan buang hajat? Mulai dari tombol flush besar, flush kecil, semprotan air untuk cebok depan, semprotan air untuk cebok belakang, tombol untuk menghangatkan dudukan toilet, sampai tombol suara latar, ada semua.
Tombol
suara latar ini kayaknya fitur yang baru muncul sepuluh tahun terakhir. Intinya,
sih, di toilet umum, kita bisa menekan sebuah tombol yang akan memutar suara.
Entah suara nada lagu, suara gemericik air, suara burung-burung, macem-macem,
deh. Untung bukan suara orang ngajak ngobrol, ya, "Yaaak... sedikit lagi... keluarkan sepuasnyaaa... bageuus..."
Tujuannya supaya suara pipis dan pup kita ketutup. High-level privacy ya, neyk.
Tujuannya supaya suara pipis dan pup kita ketutup. High-level privacy ya, neyk.
SENSE OF FASHION
I
absolutely love Japanese’s sense of fashion. I really do.
Sebelum gue
elaborasikan alasannya, flashback dulu, ya.
Jaman dulu,
setiap kami sekeluarga ke Jepang, nyokap suka cerewet nyuruh kami tampil rapi.
Walaupun cuma mau halan-halan nuris dan foto-foto di samping kembang macem TKW piknik
di taman, nyokap nggak mau kami pakai kaos oblong belaka. Pakai kemeja, lah.
Minimal polo shirt. Baju harus disetrika dulu sebelum dipakai. Palet warna dan
motif baju baeknya juga jangan heboh, lah, takutnya nanti jadi norak. Dulu gue
heran: mau plesir santai doang, kok, tata busananya seribet busana mau ngelamar
kerja (atau ngelamar anak orang)?
Ternyata
karena gaya berpakaian orang Jepang sungguh tertata rapi adanya. Saking rapinya,
nyokap gue sampai insecure. Namun sebagai si Virgo yang obsesif dan
perfeksionis terhadap keteraturan, sebenarnya gue suka sama hal ini. Pasalnya, gaya
berpakaian sehari-hari gue memang cenderung minimalis dan simetris, meski nggak
mistis. Cocok, 'kan.
Style rapi gini tergantung tren dan kelompok masyakarat juga, sih. Penampilan anak-anak
muda Jepang juga bisa ajaib, kok, apalagi pas Harajuku-syle lagi booming. Di
era tersebut, nyokap gue sempat kaget dan agak kecewa melihat sebagian orang
Jepang pakai baju tabrak lari, self-tanning berlebihan, dan men-cat rambut
mereka jadi pirang. Tapi toh hal tersebut cuma musiman.
Enivei, setelah
sekian lama nggak ke Jepang, pertengahan tahun ini gue kesana lagi, dan Alhamdulillah,
fashion style orang Jepang secara umum masih cukup konsisten. Setail seperti
apakah itu?
Pertama: terkoordinasi.
Biasanya, keseluruhan pakaian orang Jepang apik dan mecing, tanpa
pola, model, atau warna yang bertabrakan. They usually keep everything simple
and minimalistic, supaya tampil tertib.
Kedua:
polos. Bukan berarti mereka anti motif, sih, tapi sepengelihatan gue, orang
Jepang lebih suka pakai baju polos. Kalaupun pakai baju bermotif, biasanya motif
yang klasik seperti stripes, polkadot, gingham, dan sejenisnya. Mereka nggak doyan
motif tye-dye, motif logo Louis Vuitton, apalagi logo Versace yang cari perhatian
banget ala Hotman Paris. Kalaupun ada yang pakai baju begitu, umumnya karena
si pemakai baju memang pengen sarkastik atau lucu-lucuan.
Orang
Jepang juga kurang suka memakai pakaian atau atribut yang berlogo gede. Misalnya,
baju berlogo Nike, Adidas, Hollister, segede-gede gaban. Kebalikannya orang Amerika,
deh. Nggak heran kalau merk-merk Jepang seperti Uniqlo dan MUJI nggak pernah
memampang logo di baju-baju mereka.
Koleksinya selalu polos, klasik, dan clean cut, and I absolutely love
that.
Gue pun
menyadari bahwa selera “polos” orang Jepang dalam berbusana ini nyambung dengan
sifat mereka yang introvert, private, dan nggak suka cari perhatian.
Ketiga:
rapi. Beuh, soal ini jangan tanya, deh. Baik pakaian formal maupun kasual,
gaya berpakaian orang Jepang sungguh easy on the eyes, karena senantiasa rapi—tersetrika,
bersih, dan entah bagaimana nggak ada yang basah ketek atau basah punggung
meski hawa lagi panas. Trust me on this, berhubung tahun ini gue ke Tokyo di
tengah HEATWAVE, kakak!
Mungkin
karena kecintaan mereka terhadap kerapihan inilah, orang Jepang banyak membuat
inovasi produk yang mendukung keapikan penampilan mereka. Misalnya, setrikaan
dan papan setrika mini yang bisa dibawa kemana-mana, lembaran untuk ditempel di
bagian ketiak baju, supaya si pemakai baju nggak bas-ket kalau keringetan, tisu
basah untuk lap badan yang bisa memberi sensasi “bedakan” setelah dipakai, dan
sejuta printilan lainnya.
Intinya, orang
Jepang punya kedisiplinan tinggi untuk tampil presentable di setiap waktu,
bahkan mungkin untuk sekedar beli gula di warung sebelah pagi-pagi buta. And I
absolutely respect this. Disiplin rapi begitu capek, lho. Tanya aja anak STPDN.
Keempat:
suka keseragaman. Konsisten dengan sifat mereka yang nggak suka cari perhatian,
orang Jepang suka dengan pakaian yang “seragam”. Kita tahu bahwa para
pekerja kantoran Jepang punya standar baju ngantor, yaitu kemeja putih dan
celana hitam, dengan tas kerja yang juga sama bentuknya. Begitu juga
perlengkapan para pelajar sekolah di sana, umumnya seragaman sampai ke hal-hal
terkecilnya.
Okelah, itu
‘kan seragam kerja dan sekolah, ya. Bagaimana kalau orang Jepang lagi bersantai,
halan-halan, atau rilek-rilek akhir pekan? Ternyata teteup, mereka doyan
seragaman!
Sebagai
contoh, tiap kali gue ke Tokyo Disneyland, gue menemukan bahwa wisatawan Jepang
sukaaaa sekali datang pakai baju kembaran dengan temannya / pacarnya / suami-istrinya
/ gengnya / anaknya / keluarganya / siapapun yang datang barengan hari itu.
Seragamannya bisa sesimpel pakai kaos yang sama, bisa seribet pakai atasan,
bawahan, aksesoris, kaos kaki, sepatu, gaya rambut, dandanan, bahkan kostum /
cosplay yang sama.




Setengah
hati gue melihat aksi seragaman tersebut lucuk dan gemesh, setengah
hati gue merasa iba karena seakan merefleksikan sifat orang Jepang yang rada nggak
pedean dan nggak mau menonjol dengan tampil unik masing-masing. Mungkin lho,
yaaa...

SELERA MAKANAN
Seiring
dengan berkembangnya Jepang-isme di masyarakat Indonesia, makanan Jepang juga
semakin dekat di hati orang kita. Di Indonesia—apalagi di Jakarta—restoran
Jepang makin banyak, makin variatif, dan makin otentik. Sehingga orang Jakarta
juga umumnya sudah paham bahwa, misalnya, Hoka-Hoka Bento bukanlah “makanan
Jepang”. Plis, deh!
Trus,
ketika orang-orang Indonesia—seenggaknya yang di lingkungan gue—pada plesir ke
Jepang mereka pada memuji-muji sekali makanan Jepang. Katanya enak banget!
Apakah
betul begitu? Saat gue ke Tokyo, mungkin nggak semua makanan yang gue temui
100% enak, sih, tapi 80%-nya memang sakseis. Kok bisa?


Ini analisa
sotoy, ya, tapi gue merasa bahwa salah satu kunci kelejatan haqiqi makanan
Jepang adalah karena kesadaran mereka dalam menjaga berat badan. Orang Jepang
terkenal sangat menjaga berat badan. Overweight bukan cuma dianggap memalukan, namun
juga dianggap penyakit. Ibu hamil aja diwanti-wanti ob-gyn mereka, supaya
jangan sampai kegemukan, sehingga batas toleransi kenaikan berat badan bumil
Jepang ketats banget. Terbukti, di Jepang, gue jarang banget—apa nggak pernah,
ya?—menemukan orang gemuk, apalagi obesitas.
Apa ngaruhnya
dengan kelejatan makanan mereka, kak?
Pertama,
tingkat kemanisan dessert Jepang—menurut gue—jadi betul-betul pas. Nggak
terlalu manis atau rich, apalagi kalau dibandingkan dengan American desserts
yang giungnya tiada ampun. Sekali gigit langsung diabet. Bahkan beberapa kue tradisional
Indonesia jadi terasa kemanisan dibandingkan kue dan roti Jepang. Ditambah
dengan teksturnya yang sehalus awan kinton, nggak heran kalau Japanese desserts
jadi mendunia.



Kedua, gue
merasa porsi makanan Jepang jadi PAS. Setiap gue makan di restoran di Jepang, hati gue yang kemaruk ini sering membatin: kok makanannya cimit, sih? Rasanya
kecil, dibandingkan porsi yang biasa gue temui di restoran pada umumnya. Trus
gue tersadar, mungkin gue merasa begitu karena gue membandingkannya dengan
standar porsi Amerika yang raksasa. Pas selesai makan, porsi makanan Jepang ternyata
cukup banget, kok, buat gue. Mengenyangkan, tanpa bleneg, tanpa mubazir. Porsi
cimit-tapi-cukup ini nggak hanya berlaku untuk makanan besar, ya, tapi juga
porsi kemasan kue atau biskuit, misalnya. Pas semua.




Ketiga, makanan Jepang terasa lezat dengan kesederhanaannya sendiri. Ciyek, apa tuh maksudnya? Maksudnya, gue merasa, makanan Jepang pada umumnya diolah dengan sederhana aja, tanpa elaborasi dan condiments yang berlebihan. Simple ingredients, simple seasoning, tapi semua bumbunya meresap dan lejat.



CONSIDERATE
Tadi gue
udah menyebutkan bahwa inovasi produk printilan orang Jepang itu warbiyasak. Menurut
gue, yang membuatnya warbiyasak adalah betapa considerate-nya fungsi dari
berbagai produk tersebut.
Misalnya,
yang paling jadul aja, nih: pore strip untuk hidung. Inovasi yang kok-ya-kepikiran-tapi-berguna
banget, ‘kan? Trus, pelapis untuk bagian ketiak baju, supaya kita nggak bas-ket.
Trus, berbagai macam masker. Bukan masker kecantikan ya, tapi masker buat tutup
hidung-mulut. Karena orang Jepang doyan pakai masker kalau keluar rumah, varian
masker yang mereka jual bermacam banget, lho. Ada masker yang memberi ruang
napas lebih lega, sampai masker yang memberikan aroma peppermint supaya orang
pilek nggak mampet lagi. Vaw!


Dari
contoh-contoh kecil tersebut, gue menyimpulkan bahwa orang Jepang suka banget membuat
inovasi produk sehari-hari, tapi bukan sekedar supaya produknya laku melainkan
supaya produk tersebut benar-benar menjadi solusi masalah, bahkan ketika konsumennya
nggak menyadari eksistensi ((eksistensi)) masalah tersebut.
Selama ini
elo ngomel nggak, kalau lagi pilek tapi harus pakai masker sehingga napas terasa
engap? Mungkin nggak, ya. Orang Indonesia ‘kan biasa susah, jadi sikon tersebut
ditelen aja :D Eeeh, ujug-ujug orang Jepang memberi solusi atas problema
tersebut.

Contoh lain:
di Jepang, ada obat semacam Betadine untuk mengomati luka. Bedanya, “betadine”
ini akan “mengering” dalam hitungan detik setelah dioleskan, dan membentuk
semacam lapisan transparan, seperti kulit kedua. Dan lapisan ini nggak akan
luntur walau kena air. Baru akan hilang kalau dikeletek. Macem lem UHU kering
gitu, lah ya. Alhasil, kulit disembuhkan DAN dilindungi dalam waktu bersamaan. Entah
bagi elo, tapi bagi gue, hal ini considerate banget.
T bilang,
perekenomian Jepang lagi stagnan banget, dan secara teknologi, mereka sudah
lamaaaa nggak membuat inovasi baru. Tapi coba liat, dong, inovasi daily
products-nya. Aku sih pengen tepok tangan!
***
Tuh 'kan, gue bias banget. Kesan-kesan gue terhadap Jepang positif
semua, hahaha. Bukan hanya karena kultur negara tersebut ke-imprint di kepala
gue sedari kecil, tapi juga karena “sifat” masyarakat Jepang pada umumnya cocok
dengan gue, seperti yang sudah gue jabarkan di atas.
Oh! Satu
lagi! I love the fact that Japan is weird. Weirdly neat. Weirdly shy. Weirdly
out of the box. Even their porn is very weird, ya. Dulu, di Youtube, gue pernah
nonton sebuah acara kompetisi iklan, dan saat finalis dari Jepang dipanggil, si
MC memanggil mereka dengan sebutan, “Here they are… Planet Japaaaan!” Saking
out of the box-nya iklan-iklan Jepang, mereka udah disebut Planet Jepang, kak,
bukan negara lagi. Macem Planet Bekasi gitu, ya.



Plis jangan
banjiri kolom komen post ini dengan, “Tapi Jepang ‘kan…” atau “Bukan cuma itu,
kak, Jepang ‘kan juga…” Yaaas, mailov, tentunya gue juga tahu bahwa Jepang—juga bangsa
dan negara manapun di dunia ini—punya banyak sekali sisi. Japan can be awesome,
weird, fun, depressing, beautiful, and ugly all at once. I also don’t know
EVERYTHING about Tokyo or Japan (fact: gue nggak baca manga, nggak nonton anime, nggak
dengerin Jpop, dan baru pernah nonton TIGA film Ghibli. Don’t judge me), tapi
lewat secuplik cerita ini, semoga dipahami kenapa gue akan selalu merasa bagai
ketemu sahabat lama, tiap kali kembali ke Jepang.
Sekian dan
terima endorse-an JAL.
Next up: Tokyo Disneyland!

Next up: Tokyo Disneyland!





14 comments:
Dear mbak Lei, thank you for this post , seriously, thank you.
Baru sekali ke Jepang selama semingguan, sudah ke beberapa tempat di Asia dan Eropa juga, tapi kalau ditanya, yang mana paling berkesan, selalu dan selalu bilang, it's Japan. Dan post ini menjelaskan dengan detail, yang di beberapa bagiannya pas baca sambil ngangguk-ngangguk dan bilang, iya ini bener banget! Hahahaha..
Sempet terinspirasi pas lagi hamil gini pengen babymoon ke sana juga kaya mbak Lei, tapi sama-sama lagi sibuk dengan kerjaan dan ga bisa cuti. Akhirnya cita-cita berkembang, pengen bawa anak bayi ini ntar ke Jepang, mengenalkan dan meracuninya dengan Jepang sejak kecil (AMEN!) :D
Aku cuma mau komen ini kak:
Raya udah gede dan tinggi yaa..
Jadi inget tulisan tentang Raya waktu masih piyik, fotonya yang cuma pake pampers, trus cerita di Bali saat dia dihukum masuk lemari karena tendang kepala kakak.
Raya sudah besar dan akupun semakin tua ��
Sartika
First of all, mari kita ucapkan hamdalah karna cerita travelling di blog ini hidup lagi! Yay!
Aku bener2 hepi lho mba bacanyaa...
mana foto-fotonya, adudududuh bikin langsung pengen booking tiket ke Japan!
*booking doang ga dibayar
*gak ono duite
*cryyyy
Btw, terakhir Mba Lei ke Jepang sebelum ini tuh pas hamil Raya kan ya?
itu udah 7 tahun yang lalu ya?
waaoow time really flies yaaa...rasanya baru kemaren baca cerita tripnya Mba Lei ke Jepang dengan perut buncitnya.. :D
-RH
kalau akuuu... aku suka banget karena mereka itu cuek beibeh. meskipun aku nyasar dan nampak bingung pun gak akan didatengin buat "how can i help you" (macam di amsterdam misalnya) kecuali nanya (dan itupun kadang dicuekin, sumimaseng doang mailov wkwkwk) tapi jadinya aku gak merasa aneh gak merasa diperhatikan atau bakalan jadi korban tourist scam karena nampak bego.
trus ya... their attention to details!! everything is sooo kawaii there. dari roti sampe rautan pensil, sampe bungkus tisu.
trus lagi disana aman banget... kayaknya mereka ga punya hasrat tawan karang alias yg nemu yg memiliki apa gimana ya... tapi selama masa pertukaran pelajar yg singkat aku 2x ketinggalan tas sm kamera dan host aku nyante banget cuma ngajak balik k lost n found terdekat dan beneran ada dong!! oh wow bukan! (norak karena viasa dicopet di kereta)
trus ya, merhatiin ga sih di jalanan tokyo itu tempat sampah rada jarang tapi bisa bersiiiihh banget ga ada yg buang sembarangan. aku takjubb.
Inovasi Jepang buat barang sehari-hari keren banget ya. Jadi penasaran abad 22 kayak gimana, peralatan Doraemon bisa dibikin kali ya
Btw itu tas Thumper-nya Raya lucu sekali~
Targetku tahun 2022 harus ke Jepang nih, di Disneysea bakal ada area Neverland katanya huhu
Wah seru banget bacanya, jadi nambah pengetahuan nih, semoga bisa ke Jepang sama keluarga, aamiin tfs kak❤️
Jadi itu mengapa baju-bajunya Uniqlo sangat basic, potongannya rapih, nggak banyak motif atau warna, namun elegan sekali yaaa. Aku pernah nonton dokumentasi di Youtube soal tren fashion harajuku, ternyata ada alasan yang cukup dark, yaa kenapa mereka berpakaian kayak gitu. Baca artikel ini jadi makin yakin, Japanese people memang sangat sangat introvert.
Thank youuu Mba Lei udah nulis ini. Lafff!
Sebagus apapun negara lain, Jepang selalu di hati. Semua negara ada kelebihan masing - masing. Tapi ga tau kenapa Jepang lah yang selalu bikin pengen balik lagi pengen balik lagi. Jadi kangen Jepang lagi pas baca tulisan ini.
Dear Lei,
Sebagai pecinta Jepang, aku setuju sama semua yang kamu tulis di sini :-) Dan bikin aku jadi pengen bisa terbang ke Jepang lagi :-)
hai La, ber 4 doang? btw taukah kenapa istri2 jepang begitu mengabdi sama para suami dan apa bener disana masih banyak yang atheis dan harakiri masih dilakukan.. dan apakah pria2 masih biasa pulang larut after working utk minum sake dan cari geisha kaya dulu? sekalian mengupas sisi lain dari jepang juga kan, temanya...
Tanya aja anak STPDN 😂 that's why I laff this bLog.
aduh ini thesis komprehensif banget bikin aku jatuh cinta sama Jepang. itu salah satu impian aku all of Asian countries. semoga ya someday bisa ke sana sekeluarga!
baca kalimat demi kalimat kak Lei aku ngangguk, "iya yah", "tul uga" terus! sebagai Leo perbatasan Virgo, the details pleased me. ku betah berlama-lama ke Muji Uniqlo pun. belum lagi Daiso aja udah bikin geleng-geleng ko bisa kepikiraaan aja!
pengen bahkan tinggal di rumah-rumah Nobita dengan tatami dan pintu gesernya! (norak biaar ga tau istilahnya LOL)
anw aku suka Aydin dan Raya pakai baju dinosaurus warna warni segala macem! karena aku pun hobi dandanin anak pake begituu hahahaha!
kak Lei tengkyu ya photostoriesnya aku suka, just like every post you've made :)
bener banget, kak lei, klo penemuan daily life mereka itu luar biasa dan sungguh sangat considerate! aku waktu itu ke toilet di salah satu pusat perbelanjaan mereka dan aku liat ada folded tray di bagian bawah gitu. aku bingung fungsinya buat apaan ya. pas setelah aku buka wow ternyata itu buat pijakkan klo kita mau ganti celana biar kaki kita ga kotor/basah kena lantai! sampe hal sekecil itu dipikirin! aku juga suka banget packaging-nya jepang yang selalu ingenious dan membuat mudah kita untuk unpack apa pun produk yang ada di dalamnya. hmm, jadi pengen beli tiket ke jepang saat ini juga~
wah makanannya pasti enak ya :D
Post a Comment