Apr 25, 2017

Kelakuan Manusia Selama Pilkada


Bosen nggak ngomongin Pilkada DKI? Ocen, yah. W ugha. Tapi ada sedikit uneg-uneg yang kayaknya bakal jadi jerawat, kalau nggak dihempaskan di sini. Maka kuhempas dulu, yaaa.

***

Selama dua putaran Pilkada DKI, gue memilih Ahok-Djarot. Tapi postingan ini akan berbicara tentang hal-hal netral, kok, bukan tentang puja-puji terhadap Ahok-Djarot, bukan tentang kekecewaan gue atas kekalahan mereka, dan bukan sinisme gue terhadap Anies-Sandi.

Postingan ini akan sedikit membahas tentang perilaku manusia. Gue bukan ahli psikologi sama sekali, but I looove observing human behavior. Eleus-eleus aja, sih. Dan selama Pilkada DKI 2017 kemarin, human behavior rakyat Indonesia menarik banget, lho, and I’m sure you’ve noticed these too…

1. Pilkada DKI 2017 kemarin sangat membagi warga Jakarta ke dua kubu. Dan karena konflik antar dua kubu ini sangat intens, terciptalah sikap rahasia-rahasiaan.


Semasa Pilkada DKI kemarin, kalau seorang warga Jakarta ditanya, “Lo pilih siapa?” Biasanya dia nggak mau straightforward menjawab dengan lugas. Pasti nginyem-nginyem dulu, sambil “membaca” gelagat lawan bicaranya—kira-kira lawan bicaranya ini milih paslon yang sama nggak?

Manusia selalu ingin disukai oleh manusia lain. Kalau kata Madonna, it’s human nature. Makanya, kita selalu baper kalau didebat, disanggah, atau dikritik. Maunya dipuji dan disetujui aja melulu. Gue juga pernah baca sebuah survei yang mengatakan bahwa biasanya, orang bakal menahan diri untuk nge-post/menyatakan sesuatu yang dia rasa bakal “bersebrangan” dengan publik, walaupun sebenarnya dia pengen banget nge-post/menyatakan hal tersebut. Tentunya karena dia kepengen “disetujui” atau di-approve oleh netijen.

Jadi perhatiin, deh, postingan sosmed orang-orang semasa Pilkada DKI. Nggak banyak individu yang berani terang-terangan menyatakan, “Gue pilih si anu!” di post mereka yang berbicara soal Pilkada. Tapi lucunya… it’s so obvious anyway! Bagi yang memilih Pak Ahok, pasti ada kata-kata “kebhinekaan” atau “Jakarta yang lebih baik” di postingannya. And on Instagram, they would make a peace sign :D

Bagi yang memilih Pak Anies, pasti ada kata-kata “Muslim Vote Muslim,” and on Instagram, they would (sometime) make an oke-oce sign :D

Seorang teman pernah curhat. Katanya dia selalu keder kalau ditanya, “Mbak pilih siapa Pilkada nanti?” sama sopir taksi/taksi online. “Soalnya, kalo jawaban gue ternyata berseberangan sama pilihan si sopir, gue takut diajak debat, trus ujung-ujungnya diperlakukan nggak enak,” katanya. Awalnya gue merasa itu hal konyol. Tapi kalau dipikir-pikir, iya juga, sih. Bae’-bae’ diturunin di tengah jalan.

Alhasil, gue juga termasuk ke dalam golongan rakyat yang nggak (selalu) terang-terangan menyatakan siapa pilihan gue.

Tapi setelah Pilkada DKI kemarin berlalu, gue malu. Kalau gue betul-betul udah menetapkan hati gue terhadap Pak Ahok, seharusnya gue berani menyatakan pilihan gue dengan lantang kepada siapapun yang bertanya, dan tabah menghadapi segala konsekuensinya. Entah itu konsekuensi dicibir, diajak debat, dicap kafir, atau betulan berdosa.

Dulu gue kira, yang pada segan blak-blakan menyatakan pilihannya adalah para Muslim yang memilih Pak Ahok, karena malas kalau ujung-ujungnya direndahkan oleh Muslim lain yang kontra.

Tapi ternyata—berdasarkan curhatan seorang teman yang milih Anies-Sandi—para pendukung Anies Baswedan juga segan menyatakan pilihannya. Alasannya karena malas kalau ujung-ujungnya dipandang rasis, nggak mendukung kebhinekaan, dan sebagainya.

Kemarin ini, Jakarta betul-betul panas, ya. Praduga dan ketegangan yang tercipta bener-bener meracuni pembuluh darah ibukota, dan merembes ke seluruh Indonesia.

2. Semua pihak GR merasa terzholimi.

Awal-awal masa Pilkada, gue merasa terzholimi banggeeeets, berhubung tiada hari berlalu tanpa menerima cercaan dan “nasihat” pedes tentang bagaimana kafirnya gue, karena mendukung Ahok.

Setiap hari, gue literally gigit bogem, menahan atit hati karena menerima forward-an berisi berita, opini, atau himbauan anti-Ahok bernada nyinyir dan pedas di Whatsapp group keluarga besar. Walaupun niatan pesan-pesan tersebut mungkin baik (kecuali yang hoax, ya), hampir semua cara penyampaiannya menyinggung gue.

Kadang gue sampe pengen cari sumber penulisnya, dan bilang, “Mas/Mbak, nggak ada orang yang bakal tergugah sama pesan sampeyan, kalo tulisan sampeyan penyampaiannya gitu amat. Belajar nulis dulu, gih.”

Kemudian gue berpikir—kenapa para non-Ahokers segitu pedesnya dalam menyampaikan pemikiran mereka? Harus begitu banget?

Tapi setelah berdialog dengan beberapa teman, gue baru sadar bahwa para non-Ahok juga pasti sering tersinggung sama cangkem (atau jari) pendukung Ahok. Pendukung Anies-Sandi juga pasti kesel berat tiap terima forward-an yang menyiratkan mereka sebagai rasis, yang bilang bahwa Pak Anies nggak kompeten, apalagi yang mendebat ayat Qur’an. Mungkin pesan-pesan forward-an anti-Anies yang beredar di luar sana juga nggak kalah offending-nya. Mungkin, ya.

Semua pihak merasa menjadi “korban”. Semua pihak merasa paling terzholimi. Akibatnya, balas-balasan nyinyir ini nggak pernah usai.

3. Setelah Pilkada DKI selesai, banyak orang yang bilang “Alhamduillah, Pilkada selesai. Kita semua kembali akur, ya. Sudah, sudah.” Yakin?

Semua bisa kembali seperti dulu? Betul begitu?

Walaupun Pilkada DKI sudah selesai, tapi ada kata-kata kasar yang terlanjur terucap, ada judgement yang terlanjur terbentuk, dan ada human nature yang terlanjur terungkap.

Gara-gara ketegangan semasa Pilkada, gue sendiri jadi melihat, “Oh, ternyata si A ngomongnya kasar,” atau “Oh, ternyata si B nggak bisa menerima perbedaan pendapat,” atau “Oh, ternyata si C oportunis banget,”. Padahal si A, B, C atau D adalah kerabat dan handai taulan dekat, yang gue kira sudah gue kenal dengan cukup baik.

Maka walaupun hubungan kami tetap terjalin, tapi pandangan gue terhadap mereka jadi berubah. Sebaliknya, gue yakin, ada banyak orang yang pandangannya juga berubah terhadap gue.

(sebaliknya, ada juga, sih, orang-orang yang bikin gue jadi kagum, karena sikap mereka selama Pilkada DKI kemarin tampak “elegan”—terlepas pilihannya sama atau beda dengan gue. You guys are the true MVP!)

Tentunya sangat disayangkan, kalau ada hubungan yang jadi “putus” gara-gara Pilkada DKI 2017, tapi gue rasa hal tersebut wajar dan mungkin perlu.

Di Instagram, Diana Rikasari pernah terang-terangan menyatakan bahwa dia menentang gerakan 212. Kemudian dia kehilangan banyak follower. Gue nggak menyayangkan hal tersebut—gue yakin Diana juga nggak—karena seleksi alam memang harus terjadi.

Menurut gue, follower seorang seleb sosmed—apalagi yang sekaliber Diana—kadang harus “terfilter”. Sebaliknya, dari waktu ke waktu, kita juga harus mem-filter siapa yang kita follow. Se-hits apapun seseorang di sosmed, kalau kita nggak nyaman sama pandangannya, ya unfollow aja (tapi kalau mau follow terus demi nambah khazanah juga nggak apa-apa. Suka-suka lau aja, deh!)

***

Buat para pendukung Ahok yang masih sedih, dan yang takut kalau ternyata Indonesia nggak se-liberal yang selama ini kita kira, boleh, lho, baca artikel ini. Intinya, Ahok-Djarot kalah BUKAN hanya karena isu agama, kok, tapi juga karena berbagai faktor lain, seperti kampanyenya, karakternya, dan karena kompetensi Anies-Sandi sendiri. Ada juga opini yang bilang bahwa Ahok kalah banget di logistik (baca: duit dan dukungan pengusaha Indonesia).

Kayak nggak tau politik aja, ih. Ribet!

(image is from 3sixteen.com for Scott Albrecth)

24 comments:

Ntiw said...

Akupun mengalami yang namanya rahasia-rahasiaan. Ngga pernah terang-terangan posting mendeclare dukungan terhadap salah satu paslon. Namun kalau ada postingan teman yang se-aliran, langsung ikutan komen. *cupu

Mira said...

Buat aku yang sampe dibilik suara masih galau mau pilih siapa pilkada ini berat bgt loh. Bahkan waktu itu ditanyain masalah terberat saat ini apa? Jawabannya "milih siapa di pilkada DKI" *serius
Ujung2nyansih memilih untuk tidak memilih ke tps cuma 'rusakin' surat suara.

Cuma yg bikin gemessss adalah 80% sosmed gw yg berantem masalah Ahok-Anis itu ga punya ktp jakarta,, ada yang kejakarta 1 sekali itu juga transit doang benciii banget sm ahok.. ada yg pas tau ahok kalah nyinyirin anis-sandi mulu di path padahal doi milih rano karno *halo om tante* kan kzl..

Erliaann said...

Aduhhh seru banget ini bahasannya. Saya kesel sama kedua kubu yang sangat2 offensive di sosmed, yang satu nuduh rasis, irrasional yang satu ngelabel kafir munafik, KZL.

Dan seru banget ngeliat 'perang nuklir' buzzer buzzer kedua kubu, terutama Pandji yang diserang sama temen temennya sendiri karena jadi jubirnya Anies Sandi. Saya jadi kasian, sampe berdoa supaya anies menang, eh..

Kadang suka kesel liat orang2 yang masih aja nyerang padahal pilkada udah lewat tapi dipikir2 hak mereka sih mau menyampaikan pendapat apapun juga, tapi masih penasaran mau di unfollow haha..

MiawGuk said...

Pilkada ini yang ter 'bloody' yang pernah gw saksikan. Dan ini yang pertama dalam sejarah demokrasi Indonesia. Memang sakit sih tapi ya, coba kita liat dari 1 sisi juga -> awareness masyarakat sama politik lebih meningkat (untuk gw pribadi sih ia). Dari yang dulu pilih Megawati cuma karena dese ciwi macam gw (hahaha), or pilih SBY karena disuruh papah.

Dan ini adalah satu cerita yang bakalan gw ceritain ke anak/cucu gw nanti nya.
yu salam salaman yuuuu..

Gadis said...

kak... abis ini posting tentang kelakuan laila, teguh dan raya di amerika yaaah...fufufufu #tetep

Winkthink said...

Setuju sama semua poin.
Gw merasa, pilkada ini membuat orang kelihatan karakter aslinya. Karakter yang selama ini, karena belum ada ujian, bisa gak terdeteksi. Setelah tahu si A cuek, si B kalau ngomong kasar atau si C ternyata cepet naik darah, akhirnya ke-filter. Walau gak sampai berantem, tapi bener banget, penilaian berubah karena data tentang orang tersebut bertambah.
Saat pilkada ini, komen kalau capek dan muak liat yang pada berantem juga bisa ditanggapin orang yang masuk kubu sebagai salah; karena ya, orang-orang kedua kubu kan merasa pilkada ini penting. Apa yang penting untuk satu orang, gak selalu penting untuk orang lain sih, memang.
Toleransi dan berusaha memahami bahwa ada yang beda dengan kita itu berat banget. Sulit mengubah sesuatu yang kita yakini salah dan gak jadi pahit waktu ditentang diserang orang-orang.
Aku pun Ahokers dan memahami bahwa biar gimana pun banyak kepentingan main di Pilkada. Banyak yang bersebrangan. Seperti link yang dirimu taruh, gak hanya karena isu agama. Semua orang mikirin kepentingan masing-masing. Iya, bukan berarti gak toleran dan aku berdoa semoga memang analisis itu bener. Karena yang bikin patah hati atas kekalahan Ahok adalah pemikiran bahwa mayoritas Jakarta (rasanya), setelah bukti nyata hasil karyanya, masih memilih hal-hal lain. Patah hati karena kok tetep milih selain Ahok walau kubu lawannya jabat erat sama kelompok yang terkenal gak tolerir sama perbedaan.
Di sisi seberang, pemilih selain Ahok liat itu merasa yakin bahwa Oke Oce berusaha merangkul golongan tersebut.
Kubu Ahok, tentunya, yakin hal itu gak mungkin, hehe.
Seperti kesimpulan akhirmu mbak, singkatnya memang, politik itu ribet, hehe. Beuraddd memanggg Pilkada DKI ini.

dini said...

Pilkada Jkt kali ini emang gregetnya luar biasa ya Mbak. Jujur aja, gara-gara Pilkada ini aku jd lebih cari tahu ttg semua hal terkait calon, bener-bener ngikutin update2nya (follow akun official mereka), dan tentu saja jd belajar Agama lg ��, biar yakiinn benerr. Pilkada ini jg menimbulkan perdebatan2 dgn sahabat2 yg mempertanyakan pilihan gw, tp mereka bs menerima penjelasan gw alhamdulillah. Jd gw mikir, mungkin dasar tensi lg tinggi aja makanya ada cap2 kafirlah, rasis lha, gak bhinneka lha.. Kalo kita bs memahami pilihan org dgn open-minded harusnya ketegangan2 itu gak terjadi ☺☺. Mudah2an krn mau puasa, jd yg dulu marahan gara2 Pilkada jd baekan lg ya..

Anonymous said...

sy bkn warga jakarta. sy researcher dan tinggal di jerman. sy menemukan blog mbak secara random krn sy sdg observasi pilkada.

fenomena menarik. seperti yg diulas tempo, pilkada ini salah satunya pertarungan kelas dan soal agama. 2 hal ini menarik buat saya. soal agama, byk org teriak jangan bawa2 agama. tetapi ketika mereka diajak untuk bicara hal di luar agama, ternyata mereka tidak bisa. dan biasanya membawa kembali pembicaraan ke issue agama.

kemarin ada yg menulis apa dasar kekhalifahan dan bilang tidak ada dasarnya di qur'an dsb. kemudian sy ikut nimbung. sy tanya mau pake argumen akidah atau duniawi. kl akidah sy gak tertarik dan suatu kesia2an. di sini sy tidak mau berdebat apakah kekhalifahaan itu baik atau tidak dsb. sy hanya mau menjelaskan dsr kenapa muslim ada yg ingin kekhalifahan. sy bilang krn ada yg namanya islamic political thinking. tp diskusi ditarik lagi ke masalah akidah. sy binggung terus terang, siapa sebenarnya yg memainkan issue agama. apakah kelas menengah yg menganggap diri rasional ini mmg wawasannya hy terbatas dlm soal agama? tidak bisa membahas aspek lain dr kota jakarta? sy bukan org agamis dan tidak peduli soal agama. tp kagum melihat pr liberal wanna be suka ngomong agama.

september lalu sy fieldtrip ke jakarta untuk melihat apa sih kemajuan jakarta. sy ingin membuktikan kritikan dari pr urbanist. dan ternyata benar apa yg disebut oleh mrk. dan suprise2 org2 yg vokal ternyata tidak tahu tentang kota yg mereka tinggali. mereka hy melihat apa yg ada dipermukaan dan menyederhanakan masalah. dan memang jualan agama itu lebih gampang. terus terang sy salut sm pandji yg bisa membahas masalah di luar agama. tp sayang komentar para komentatornya tidak nyambung sama sekali dengan yg dibahas si pandji.


Anonymous said...

Coba baca bukunya Amy Chua yang judulnya "World on Fire: How Exporting Free Market Democracy Breeds Ethnic Hatred and Global Instability"

Agak terhenyak baca hipotesisnya dia kalau free market democracy adalah akar muakar dari terjadinya konflik SARA terutama di negara yang ada market-dominant minority nya.

sedikit review bukunya :
Chua shows how in non-Western countries around the globe, free markets have concentrated starkly disproportionate wealth in the hands of a resented ethnic minority. These “market-dominant minorities” – Chinese in Southeast Asia, Croatians in the former Yugoslavia, whites in Latin America and South Africa, Indians in East Africa, Lebanese in West Africa, Jews in post-communist Russia – become objects of violent hatred. At the same time, democracy empowers the impoverished majority, unleashing ethnic demagoguery, confiscation, and sometimes genocidal revenge. She also argues that the United States has become the world’s most visible market-dominant minority, a fact that helps explain the rising tide of anti-Americanism around the world. Chua is a friend of globalization, but she urges us to find ways to spread its benefits and curb its most destructive aspects.

Anonymous said...

Mungkin bisa ngobrol sama orang orang ini kenapa ngga milih ahok selain alasan agama :

1. Marco Kusumawijaya
2. Eva Mariani (http://www.thejakartapost.com/academia/2016/10/29/your-liberal-human-rights-make-a-glaring-omission-of-universal-principles.html)
3. Elisa Sutanudjaja

prin_theth said...

Hi, thank you for your comment yaa.

Soal Pandji, saya jujur nggak ngikutin dia.

Tapi saya "menampung" kritik dari beberapa orang yang kenal Pandji sejak lama. Ketidaksukaan beberapa golongan thdp Pandji sebenarnya bukan hanya karena cara dia mengkampanyekan Anies-Sandi, tapi karena sepak terjangnya yang dipandang tidak konsisten secara prinsip, dan oportunis sekali, kalo diperhatikan sejak beberapa tahun terakhir.

Juga karena beberapa kali, katanya Pandji menggunakan momen yang "kurang pas" untuk mengkampanyekan Anies-Sandi. Misalnya, momen ketika tersebar video seorang uztad berkhotbah bahwa binatang lbh baik drpd (pengikut) Ahok. Yang saya tangkap begitu, ya.

prin_theth said...

Hi again anonymous. Wow, you really read a lot of Amy Chua :)

Masuk akal, sih. Dan walaupun nggak bicara sepsifik ttg free-market, masuk akal juga kenapa Socrates (dan bapak saya haha) nggak suka demokrasi https://www.youtube.com/watch?v=fLJBzhcSWTk

ririmaulidina said...

Nomer 3! Gue terpaksa kehilangan 1 teman kuliah (dia delete gue di FB), di-unfollow saudara ipar di IG, dan diajak debat sampe 50 komen di FB sama saudara ipar juga. Dan gue terpaksa acting palsu krn menyembunyikan perasaan "oooh, lo ternyata pemikirannya dangkal dan sempit" kalo ada acara keluarga. Thank you, Anies Baswedan. LOL

Leony said...

Sebagai voter yg bakalan milih Ahok (yang tahun ini kagak ngevote krn perut udah gede), gue berusaha jadi voter yang adil dan objektif walaupun tetep ga bohong, unsur subjektivitas pasti ada. Minimal, gue lumayan sering negur temen dan keluarga sendiri kalau nyebarin berita ga bener (even berita yang ngedukung Ahok). Gue tetep melihat kalah gede-nya Ahok di sini bukan karena karakter dia jelek (gue jujur jg gak suka dia harsh, dan bersyukur belakangan udah jauh lebih berkurang), tapi lebih pada opini yang dibangun oleh kubu lawan soal dia. Gue sampai sekarang masih ngga tau program apa yang realistis yang digadangkan paslon 3, jadi kalo menang karena program, itu impossible. Kalau soal karakter santun yang "dijual" paslon 3, itu mungkin ada kontribusi. Tapi yang jelas, karakter Ahok dari awal sudah dimatikan dengan adanya tuduhan dia sebagai penista agama, dan sidang-sidang yang ngga kelar-kelar. Urusan akhirat itu malah digunakan buat nakut-nakutin umat beragama mayoritas. Belum lagi ancaman-ancaman yang beredar di luaran, soal gimana nanti kota ini akan dibikin rusuh kalau nomer 2 menang, dan buat orang yang trauma dengan peristiwa lalu, ini bikin pilihan jadi berubah (ini kisah nyata dari orang di sekitar gue loh). Ya gue sih sedih walaupun sudah tau hasilnya bakalan begini. Tapi udah lewat lah, mari songsong hari baruuuu! Hihihi.

Anonymous said...

Gw bukan warga DKI,yg nyari uang di jakarta dan merasakan perubahan yg lbh baik saat dipimpin Ahok. Dalam hati gw, gw dukung Ahok. Sementara nyokap gw yg relijius banget mendukung Anies, walau beliau pernah merasakan dipimpin Anies dan kecewa dgn kepimpinannya (wkt jadi Mentri Pendidikan).
Pas liat Quick Count, AniesSandi memimpin, gw becanda sm nyokap "cieee menterinya ibu menang"
Lalu, nyokap gw dengan mengernyitkan mata dan marah bilang "semua umat Muslim mendoakan Anies agar menang. Semuaa. Kecuali kamu.. gimana sih pengetahuan agama kamu?? Sana kamu baca syahadat deh" aaah aku syedih #malahcurhat

dika said...

Dear Anon diatas ane..

Kayanya sih Anies menang krn banyak orang2 macam Ibunda yg cuma liat orang bukan dari kemampuan, tapi agama. Sedih ya, kalo 2017 masih terjadi spt ini, ngga heran kalo Indonesia bakal jd negara berkembang terus.
Lah buat non muslim yg berpotensi mah mending kabur ke luar karena tahu negara ngga akan kasih mereka kesempatan.
Lagian kalo ada #MuslimVoteMuslim, bisa aja dong #ChineseRecruitChinese or #ChristHelpChrist 😂

Anonymous said...

Ooowww..kirain mba Lei dukung no 3, soalnya no 3 dipinjemin Helikopter sama sepupunya Mba Lei hehehe.. ngomongin pilkada sampe kiamat pun gak akan ada kelarnya yak, capek..

Izna Amalia said...

Paling enteng deh baca artikel pilkada punya Mbak Lei, sukaaaaa. Ga berat kesono, berat kesini, tapi merangkum perasaanku. Btw, ame siape amerika ditunggu loh ampe part 16 nya hahaha #teror #teroritunyata

Unknown said...

Dah lama gw nggak buka blog si ibu, tp tergelitik sama posting ini.

Sama La gw ngalamin yg sama, paitnya sih gw nggak bisa gunain hak gw sebagai WN. Gw baru pindah daerah pejaten yg notabene isinya no.3.. Awalnya gw santai, ah paling cuma anget2 t** ayam keadaan panas ini. Pas putaran pertama gw masih terdaftar di rumah bokap, tenang lha hati mau milih, sana netral.

Putaran ke dua jeng2, KTP gw dah pindah, pas kasih surat pemilihan si RT sok becanda, wah ada bapak makin menang neh yg muslim. Gw iyein aja sambil senyum. Pas sebelum hari H gw cek sikon, gw tanya putaran satu yg nyoblos Paslon 2 berapa? 2 aja katanya. Ehmm mulai mules, dan bener besok paginya Hari H mesjid belakang rumah dah pada pidato, yg implisit dukung 3. Yah itung2an gw klo gw nyoblos, hahaha diluar menang kalah ketawan kan siapa yg nambah suaranya paslon 2, waktu itu gw sedih sih, demi kelangsungan hidup gw dan keluarga di lingkungan ini akhirnya gw golput.

Temen2 gw yg non pada misuh2 bilang2 bla2 lha, minoritas di deskriminasi dll, gw kesel sih sekalian gw bilang ke mereka, yah emang jalannya begitu dah takdir. Kalian bersyukur yg ngerasa minoritas tp masih bisa pakai hak pilih, saya yang mayoritas terpaksa tidak gunakan haknya karena suara hati saya berbeda dengan mayoritas

Anonymous said...

poin 2 kena banget, semua merasa terzolimi

tadinya gw mikir lo bakal stay away dari hot-button issue this pilkada has become krn gak nulis samsek, en denn u wrote this! keren! dan berani sebut merk lagi... jempol

sebenernya gw mah tserah deh org mo pilih tu wa ga atau pat..

semenjak grup wa gw udah byk yg rame, blum lagi byk yg left seketika krn emosi, rata2 diskusinya emosian dan berdasarkan anekdot2 copas dari grup sebelah (entah sebelah mana lol)

berpendapat mbok yg konstruktif lah toh mau buat jakarta maju... quit spreading distrust and mistrust dgn bagi2 disinformasi dan misinformasi.. we all gain not from this... and the aftermath?? ini yg paling menyedihkan sih, krn terciptakan polarisasi yg gw pikir udah lama kita tinggalkan,

suatu kemunduran besar bagi gw

menurut gw yg mesti diinget jg adalah fenomena ini bukan unik untuk indonesia aja, ini jg terjadi di byk negara, jd jangan terlalu cepat mengumpat "ah dasar (insert: suku, agama dan ras apa aja) emang rese!!"... instead bilangnya "ah dasar manusia emang rese!!", to echo ur sentiment it is essentially human nature toh!

ttd,
sebut saja melati
ps: nom de plume gw biasanya "sebut saja mawar", eh gw baru sadar kalo ngana pe teman ada yg namanya mawar jg :D
pps: lo mestinya raise ur profile more publicly deh, indonesia perlu denger suara2 yg ga conform to any cookie-cutter template, macam lo

prin_theth said...

Hehehe, keluarga besarku memang pendukung Anies. Kecuali segelintir outlier, termasuk aku :D

prin_theth said...

Sungguh, terror ini nyata sekali!! Hahaha.

prin_theth said...

Oyampuun, si mawar melati semuanya indah, hahaha. Iya gue inget lo pernah beberapa kali komen yaa :) Apa kabaar? Setuju banget dengan poin-poin lo. Opini dan observasi ttg Pilkada ini sebenarnya ada banyak bgt ya.

Pilkada ini memang ajang politik paling beracun dan destruktif yang pernah gue alami, tapi kita belajar banyak sekali, dan mudah-mudahan kita semakin didewasakan, aamiin.

Bok, gue 'kan pemalu bgt untung ngangkat profil diri hahahaha. Minta tolong teman-teman dan pemirsa aja deh, bantu angkat2 blog gue di sosmed hahaha.

prin_theth said...

Wah Mi, ternyata gila juga ya ketegangan di Pejaten. Tapi Pejaten gitu, lho. Kental sekali komunitas paslon 3-nya.

Gue paham sih atas kekhawatiran dan perasaan terancam lo. At least kalo golput, semoga ballot-nya lo rusak, ya. Next time mudah2an lo bisa pake hak suara lo sesuai kata hati yes!

PS. Anak lo kembar yaaaa, gila lucu bgttt

Post a Comment