Sep 2, 2016

Indonesia di Berbagai Negara (part 2)

Merayakan kemerdekaan tanah air—sekaligus berkontemplasi tentang Indonesia—sih, gampang kalau tinggal di Indonesia. Tapi gimana kalau lagi tinggal di negara lain?

Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Jakarta, Indonesia, konsep “memandang Indonesia dari jauh” (alias dari negara lain) adalah konsep yang sangat asing buat gue, lho. Memandang Jakarta dari jauh aja nggak pernah. Itu adalah sebuah sensasi yang nggak pernah gue rasakan. So I was quite curious!
 

Di bulan Agustus ini, gue “ngobrol” dengan delapan teman yang sedang tinggal di negara lain.  Berikut adalah obrolan bagian dua, dengan 4 dari 8 teman tersebut.

Baca bagian pertama di sini.
***

Ismira Anindia (Anin), tinggal di Belanda selama 12 tahun terakhir, di kota Delft dan Schiedam, lalu sebentar lagi pindah ke Bodegraven. Awalnya tinggal di Belanda karena mengambil gelar Master dan PhD, kemudian lanjut bekerja di sana. Pada akhirnya, Anin berkeluarga dengan seorang warga negara Belanda. Dulu tinggal di Jakarta dan Bandung.

Apa, sih, hal-hal yang paling sering dikangenin dari Indonesia?

Pertama, MAKANANNYA, of course! Walaupun di Belanda relatif gampang mendapatkan makanan Indonesia, tetep aja gue nggak bisa ketemu sama sop kaki kambing atau serabi oncom. Cara ngobatinnya, cari restoran Indonesia, masak, atau cari orang Indonesia yang punya usaha katering makanan Indonesia, hahaha.

Cara lainnya, datang ke KBRI kalau Lebaran—ketupat sayurnya selalu enak!—atau datang ke Pesta Rakyat pas 17 Agustus-an

Kedua, berbagai kemudahan di Indonesia, seperti tukang makanan yang suka lewat depan rumah, Go-Jek, dan asisten rumah tangga (how i want them badly!). Di Indonesia, kalau mesin cuci rusak, kita bisa langsung telpon tukang servis, dan hari itu juga, mesin cucinya bisa dibetulin. Kalau di Belanda, harus janjian dulu untuk diservis minggu depan.

Ketiga, kangen keluarga, tentunya. Kalau lagi kangen keluarga, terutama di musim dingin, gue suka nyesek membayangkan jarak 10.000 KM yang harus gue tempuh untuk ketemu mereka.

Untungnya ada teknologi, jadi gue bisa telponan dengan keluarga setiap hari.

Gimana, sih, perayaan 17 Agustus di Belanda?

Setiap 17 Agustusan, KBRI selalu mengadakan acara semacam pesta rakyat. Acaranya selalu sama, yaitu bazaar makanan Indonesia dan panggung musik. Biasanya mereka ngundang artis-artis dari Indonesia. Kadang artisnya bagus, kadang gitu, deh… hahaha.

Terus terang, gue sendiri cuma pernah datang sekali, karena makanan yang dijual biasanya overprized, dan acaranya overcrowded sama pengunjung yang bikin nggak nyaman. Pada akhirnya, tujuan utama acara pesta rakyat ini memang lebih untuk kumpul-kumpul, ketimbang merayakan hari kemerdekaan Indonesia. Which is fine, of course, cuma gue kadang suka males, hihihi. 

 
Gimana dengan perayaan hari Belanda?  

Hari nasional Belanda yang paling rame dirayakan adalah Hari Ratu/Raja, untuk merayakan ulang tahun Ratu/Raja Belanda. Suasana Hari Raja (sekarang kebetulan Raja), tuh, selalu seru! Semua orang keluar dan berpesta, pakai baju oranye. Trus, banyak panggung dan musik.

Yang paling khas di Hari Raja itu adalah free market, dimana semua orang boleh jualan apapun yang mereka mau, dimana pun mereka mau. Mau barang baru, barang bekas, semua boleh.

Apa, sih, hal-hal yang kepengen banget “dibawa” dari Belanda ke Indonesia?

1. Udaranya yang bersih, sehingga bikin badan segar dan jarang sakit.

2. Sebagai seorang traffic engineer, gue pengeeen banget mengimpor transportasi publik Belanda ke Indonesia. Di Belanda, nggak ada tempat yang nggak bisa dijangkau dengan transportasi publik. Kita gampang banget survive tanpa kendaraan pribadi.

3. Kedisiplinan dan etiket orang-orang di tempat umum. Gue nggak hanya pengen mengimpor transportasi publik, tapi juga mental penggunanya, hahaha. Bisa nggak, ya? Gue merasa sebenarnya Indonesia punya banyak SDM pintar, yang bisa bangun Indonesia jadi lebih maju. Hal yang nggak kita miliki adalah mentalitas masyarakat yang baik. Kenapa, ya?

4. Work-life balance di Belanda yang menurut gue sangat bagus. Di sini, kerja nggak boleh bikin stres dan nggak boleh mengganggu kehidupan pribadi. Dalam setahun, cuti kerjnya banyak. Pemerintah juga ngasih segudang benefit ke para pekerja, seperti subsidi daycare, tunjangan anak, dan sebagainya. Kerja part-time di sini lumrah banget, baik untuk laki-laki maupun perempuan, supaya masyarakat juga punya cukup waktu untuk keluarga. 


Apakah tinggal di luar negeri jadi mengubah pandangan elo terhadap Indonesia?

Sejak tinggal di sini, gue jadi banyak melihat berbagai hal tentang Indonesia yang tadinya nggak gue lihat… terutama yang jelek-jelek. Tapi entah kenapa, cinta gue terhadap Indonesia sama sekali nggak berkurang, malah bertambah, karena gue justru jadi merasa makin kenal Indonesia. Buat gue, Indonesia tetap tanah air beta, dan tumpah darahku.

Sejak tinggal di sini, gue jadi makin sedih kalau baca berita jelek soal Indonesia. Gue juga sedih karena merasa pengen berkontribusi buat Indonesia, tapi nggak tau gimana caranya. It's rather complicated.

You know that feeling when you love somebody so much, it hurts?
Kayak begitulah cinta gue sama Indonesia.

Tinggal lama di luar negeri bikin gue semakin menghargai “akar” gue, walaupun gue juga bersyukur banget bisa tinggal di negara seperti Belanda. I don't love one more than another. I simply have two homes that I love very much.


Bening Mayanti (Bening), tinggal di Singapura selama 1,5 tahun terakhir. Tinggal di Singapura karena memang mendambakan bekerja di luar negeri, setelah dua tahun bersekolah di Belanda. Akhirnya, Bening mencoba mendaftar bekerja di Singapura, dan di terima. Dulu tinggal di Bandung.
 

Apa, sih, hal yang paling dikangenin dari Indonesia?

Orang-orangnya!

Astaga, orang Indonesia, tuh, juara banget, yak. Mereka bisa luar biasa menyebalkan sekaligus luar biasa menyenangkan. Kayaknya cuma orang Indonesia, deh, yang saat pertama kali ketemu setelah sekian lama nggak jumpa, langsung bisa nyerocos, “Eh, lo iteman/gendutan/jerawatan, ya?” (Gue, sih, biasanya kombo ditanya tiga-tiganya. Cih!)

Singapura dan Indonesia itu tetanggaan, tetapi kultur dan karakter orang-orangnya bisa sangat berbeda. Sebelum pindah ke Singapura, seorang temen sempet pesan untuk tebel-tebelin kuping, karena orang Singapura suka nggak ramah.

Kejadian dong. Baru tiga hari di Singapura, gue disamperin seorang aunty yang ngomel-ngomel curhat sama gue. Karena logat Singlish-nya kental, gue nggak bisa nangkep detil omongannya, tapi gue ngeh dia mengeluh soal pemerintah dan banyaknya pendatang. Karena nggak paham dengan omongannya, gue berkali-kali bilang, “Sorry,” yang kemudian dia timpali, “Why say sorry a lot, ah? Are you deaf? Just take this off (sembari nunjuk jilbab gue) so you can hear!

Luar biasa!

Balik lagi ke orang Indonesia, kangen gue terhadap orang Indonesia sepaket dengan cara bercanda dan bahasa sehari-hari mereka. Cuma di Indonesia, deh, kita bisa nggosip pake bahasa binan a la Debby Sahertian dengan lancar. Gimana coba, menjelaskan bahasa binan ke orang asing?


Gimana, sih, perayaan 17 Agustus di Singapura?

Setahu gue, untuk perayaan HUT Indonesia, biasanya ada serangkaian acara yang diorganisir oleh KBRI di Singapura.

Pastinya ada upacara penaikan dan penurunan bendera, trus ada lomba-lomba khas 17-an, panggung gembira, juga bazaar.

Untuk acara bazaar dan panggung gembira, setiap warga Indonesia bisa ikut berpartisipasi. Bahkan untuk panggung gembira, ada audisi untuk warga Indonesia banci tampil yang kepengen bisa perform di acara ini.

Tahun ini, tema yang diangkat adalah Balik Kampung, dan audisinya terbagi menjadi kategori solo pop dan dangdut, grup dangdut dan qasidah, juga kategori band dan tarian. Ada juga artis-artis ibukota yang diundang dan tampil memeriahkan panggung gembira. 


Gimana dengan perayaan hari nasional Singapura?  

Hari nasional Singapura biasanya dirayakan dengan sangat meriah, apalagi tahun 2015 kemarin, karena bertepatan dengan ulang tahun Singapura yang ke-50 alias SG50.

Yang pasti, setiap tahun ada National Day Parade (NDP) yang diisi dengan berbagai atraksi, dan ditutup dengan kemeriahan kembang api.

Menjelang NDP, warga Singapura yang tinggal di wilayah timur sudah terbiasa dengan bisingnya pesawat jet militer yang mulai latihan akrobat di udara.

Tiket untuk menghadiri NDP ini nggak diperjualbelikan, melainkan cuma bisa didapat lewat undian. Sayangnya, undian ini hanya bisa diikuti oleh warga Singapura dan Permanent Resident.

Tapi acara NDP ini selalu disiarkan live di TV maupun streaming online, kok! Plus, masyarakat umum tentunya bebas menikmati kembang api saat NDP. Yang penting standby di titik-titik tertentu aja, saat acara kembang apinya berlangsung.

Tahun ini, untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, NDP kembali diselenggarakan di National Stadium, Kallang. Stadion ini sempat direnovasi (FYI, Singapura hobi banget melakukan renovasi, yang kadang before dan after-nya nggak ada bedanya) sampai akhirnya dibuka kembali tahun 2014. 

Tradisi lain dari NDP adalah membuat theme song.

Setiap tahun, ada theme song baru untuk perayaan NDP, meskipun tradisi ini sempat terputus di tahun 2014, karena panitia penyelenggara ingin menggunakan theme song klasik yang sudah lebih akrab di telinga warga.

Di luar NDP, kemeriahan hari nasional bisa dirasakan di berbagai sudut kota/negara Singapura, mulai dari community centers, shopping mall, sampai area residensial. Tahun lalu, ketika SG50, setiap rumah tangga mendapatkan goodie bag yang berisi pernak-pernik hari nasional Singapura, termasuk bendera Singapura yang disarankan untuk dipasang di luar jendela setiap rumah/apartemen. Tapi gue kurang tahu, apakah ini tradisi tahunan atau nggak.

Bagi gue, hal paling menyenangkan dari hari nasional Singapura adalah… diskon-diskonnya!

Apalagi hari nasional Singapura juga biasanya bertepatan dengan periode Great Singapore Sale (GSS). Dobel, deh, segala godaan syaiton. Diskon dan promonya nggak hanya untuk berbelanja, lho, tetapi juga untuk masuk museum, amusement park, serta berbagai tempat wisata lainnya. Bahkan di hari-H, transportasi publik Singapura digratiskan untuk sehari penuh.  

Apa, sih, satu hal yang kepengen banget “dibawa” dari Singapura ke Indonesia?

Kalau cuma boleh satu, gue pilih sistem transportasi publiknya.

Sebagai mantan ratu angkot di Bandung, gue sangat menikmati kemudahan mobilitas sehari-hari di Singapura, berkat transportasi publik yang mumpuni, tarifnya jelas, dan nggak pake ngetem.

Percaya atau nggak, orang-orang Singapura sendiri sering ngeluh, lho, tentang publik transportasi mereka. Menurut mereka, frekuensi bus di Singapura terlalu jarang, rutenya nggak efisien, dan kadang agak telat. Sedangkan MRT penuh melulu kalau peak hour, frekuensinya kurang sering. Padahal kalau lagi peak hour, frekuensi MRT jalur tertentu bisa datang setiap 2-5 menit sekali, lho!

Tapi tentu saja, dibandingkan dengan di Indonesia, sistem transportasi di Singapura sungguh surgawi.

Di Singapura, hampir semua tempat bisa dijangkau dengan transportasi publik yang bisa diandalkan, dengan jam operasi per hari yang cukup panjang. Trus, untuk orang yang rentan nyasar kayak gue, MRT, tuh, sangat gampang dinavigasi, karena MRT berhenti di setiap stasiun. Kalau pun kebablasan, kita tinggal turun dan naik ke arah berlawanan.

Selain itu, meski tarif taksi di Singapura lumayan mahal dan banyak biaya tambahannya, taksi Singapura tetap reliable. Setelah di-booking, datangnya cepat sekali. Semua taksi juga dilengkapi argo dan GPS, jadi supirnya nggak akan nanya, "Tolong kasih petunjuk ya, Bu," Minta petunjuk, kok, sama gue? Emangnya gue Yang Maha Kuasa?


Karina Anggraeni (Karina), tinggal di Tokyo, Jepang selama 9 bulan terakhir karena menemani suami penempatan kerja di cabang Tokyo. Dulu tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan.

Apa, sih, hal-hal yang paling sering dikangenin dari Indonesia?

Masakan Indonesia! Cara mengobatinya dengan masak masakan Indonesia kesukaan kami sebagai menu sehari-hari, mulai dari rendang sampai mie aceh.

Tapi di sini saya jadi lebih jago masak, sih, karena sering bertukar menu dengan sesama perantau dan kadang masak bareng juga. Saya juga jadi menghargai keanekaragaman rempah Indonesia, yang di sini harganya mahal dan nggak lengkap.

Trus, percaya atau nggak, saya juga kangen dengan udara di Indonesia, khususnya ketika di Jepang sedang musim panas. Musim panas di sini sangat lembab, dan anginnya pun panas. Kadang malah nggak ada angin sama sekali. Jadi kalau memilih pakaian benar-benar harus yang adem banget!

Sepanas-panasnya Jakarta, seenggaknya masih ada angin sepoi, deh, walaupun banyak debu, hehehe.

 


Gimana, sih, perayaan 17 Agustus di Tokyo?

Perayaan HUT RI di sini terbilang meriah. Sejak awal Agustus, sudah ada beberapa lomba khas 17 Agustusan, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa. Tahun ini, saya ikut lomba tarik tambang dan tenis meja. Untuk tarik tambang, tim kami juara pertama, lho!

Upacara pengibaran dan penurunan bendara pada tanggal 17 Agustus diadakan di Wisma Duta KBRI Tokyo, dihadiri oleh beberapa undangan, termasuk murid-murid Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT). 



Puncak dari perayaan HUT RI adalah Pesta Rakyat atau Indonesian Week, yang diselenggarakan tanggal 20 Agustus.

Acaranya banyak, termasuk festival kuliner, kompetisi film pendek, lomba-lomba yang lebih seru seperti Penalti Pinang (perpaduan antara sepak bola dengan panjat pinang), serta pertunjukan seni dan budaya oleh para pelajar Indonesia di Jepang. Ada juga workshop dan bazaar batik yang bertujuan. memperkenalkan batik sebagai budaya asli Indonesia.

Oya, festival kuliner tahun ini tercatat di rekor MURI, lho, karena diselenggarakan di 17 tempat secara serentak di seluruh Jepang, dengan total durasi 8 jam untuk memasak 45 varian hidangan khas Indonesia.

Pada Pesta Rakyat tahun ini, saya turut membantu teman saya yang ikutan acara demo masak.


Gimana dengan perayaan hari besar Jepang?  

Beberapa hari besar Jepang yang saya tahu adalah Golden Week (minggu pertama di bulan Mei), Hari Anak (5 Mei), dan Festival Musim Panas.

Saat Golden Week, warga Jepang libur selama seminggu, mulai dari Hari Showa pada tanggal 29 April. Tanggal 29 April itu tanggal ulang tahun saya juga, lho. Liburnya berasa spesial, deh, hehehe.

Golden Week adalah salah satu momen yang pas banget untuk menikmati keindahan sakura. Pada periode ini, masyarakat Jepang ramai-ramai hanami, alias piknik bersama di bawah pohon sakura.


Tapi menurut saya, perayaan paling meriah di Jepang adalah Festival Musim Panas, yang berlangsung selama bulan Juli-Agustus. Bahkan kalau mau nonton kembang api, tontonlah pada saat musim panas ini, jangan saat Tahun Baru. Di Jepang, Tahun Baru malah dirayakan dengan sangat syahdu, lho. Orang-orang pergi berdoa ke kuil, dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Tokyo juga sepi karena warganya pada mudik.

Saat musim panas, summer sale di Jepang juga meriah banget. Banyak penjual toko yang berdiri di depan tokonya sambil teriak-teriak seperti di ITC, “Ayooo, baju seribu tiga, seribu tiga, dibeli dibeli dibeli!”

Di musim panas ini, ada juga yang namanya Obon Day, di mana warga Jepang biasanya berziarah dan membersihkan makam.

Apa, sih, hal yang kepengen banget “dibawa” dari Jepang ke Indonesia?


1. Pengelolaan sampah.

Baru saat tinggal di Jepang, saya punya tong sampah 4 biji. Kalau dulu saya hanya mengenal sampah daur ulang dan sampah bakar, di sini ada sampah non-bakar, kertas bekas, dan sampah besar seperti misalnya perabot.

Sampah daur ulang pun masih dibagi lagi menjadi empat bagian—sampah plastik dan bungkus makanan (bento), botol PET, botol minuman, dan kaleng. Masing-masing jenis sampah tersebut dibungkus secara terpisah, dan dibuang sesuai jadwalnya di tempat pembuangan sampah yang sudah disediakan di beberapa blok.

Di Jepang, setiap warga diberikan Living Guide Book oleh kelurahan setempat (yang kantornya sama bagusnya dengan kantor walikota Jakarta Selatan!). Living Guide Book ini mencakup info jadwal pembuangan sampah, dan apa saja barang yang termasuk dalam jenis-jenis sampah yang sudah disebut tadi.

Pokoknya orang Jepang benar-benar mengaplikasikan “kebersihan sebagian dari iman”, deh!

2. Mental yang kuat.

Masyarakat Jepang dididik mandiri sejak awal. Dari kecil, mereka sudah pulang pergi ke sekolah sendiri. Ketika makan siang di sekolah pun, yang menghidangkan makanannya adalah murid-murid sendiri.

Selesai kelas, murid-murid langsung bagi tugas—ada yang menyusun meja, mengambil makanan, membagikan makanan kepada teman-temannya, membereskan meja dan sebagainya.

Ibu-ibu di sini juga nggak kalah tangguh. Saya sering sekali melihat ibu-ibu naik sepeda mesin, yang keranjang depan dan belakangnya diduduki anak-anaknya, dan doski sambil menggendong bayi dengan baby carrier pula!

3. Menjunjung budaya malu.

Saya baru tahu kalau mayoritas masyarakat Jepang nggak tahu bahwa dulu Jepang pernah menjajah Indonesia. Hal ini baru saya ketahui ketika salah satu teman—yang punya pasangan orang Indonesia—bilang kalau setiap pembacaan detik-detik pembacaan Proklamasi pada upacara bendera Indonesia, mereka malu!

Ada juga cerita dari teman saya yang sedang studi di Eropa. Di sana, dia berkenalan dengan mahasiswi Jepang, dan ketika mahasiswi Jepang itu tahu bahwa teman saya berasal dari Indonesia, dia langsung minta maaf karena Jepang pernah menjajah Indonesia.

Saya jadi melihat bahwa orang Jepang sangat menjunjung tinggi budaya malu, dan nggak segan minta maaf jika merasa salah.

4. Keamanan

Di Jepang, kalau barang kita ketinggalan, dijamin nggak akan hilang. Biasanya kita bakal disamperin orang yang menemukan barang kita, atau tiba-tiba ditelpon polisi yang memberi tahu soal barang kita. Kita juga bisa balik aja ke TKP untuk mengambil barang tersebut. Pasti masih ada di sana.

Saya pernah lupa ngunci pintu rumah, bahkan pernah lupa mencabut kunci dari pintu rumah sebelum pergi. Aman-aman aja, lho!



Arman Tjandrawidjaja (Arman), tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat selama 8,5 tahun terakhir. Arman dan keluarganya pindah ke Amerika karena mencari kehidupan yang lebih baik, baik dari sisi keamanan, penghasilan, maupun pendidikan. Dulu tinggal di Surabaya dan Jakarta.  

Apa, sih, hal-hal yang paling sering dikangenin dari Indonesia?

Pertama, pastinya kangen keluarga, karena ortu dan kakak-kakak gua semua tinggal di Jakarta. Obatnya, setiap Sabtu malam (Minggu pagi di Indonesia) kita selalu Facetime sama mereka.

Kedua, kangen teman-teman. Dulu, di Jakarta, setiap minggu pasti ada aja acara kumpul bareng teman. Acara ulang tahun lah, reunian lah, dan sebagainya. Dulu gua tinggal jalan ke mall Plaza Indonesia, maka pasti ada aja teman yang lagi di sana. Jakarta lebih terasa seperti “rumah”, karena gampang ketemu orang yang kita kenal.

Sementara Los Angeles ‘kan gede sekali (FYI, luas LA County itu 19 kali lebih besar dari luas Jakarta), jadi jarang abanget ketemu teman kalau lagi jalan-jalan, hehehe. 


Ketiga, makanan Indonesia. Untungnya di LA ada banyak restoran Indonesia plus penjual bahan makanan Indonesia, mulai dari sambal ABC, bumbu instan Bamboe, sampai kerupuk putih. Apalagi istri gua, Esther, juga pintar masak. Walaupun tentunya ada makanan-makanan tertentu yang nggak bisa didapat di sini, kayak Bakmi GM, Baji Pamai, Lindung Ca Fumak, juga jajanan keliling semacam tukang somay dan abang sate... Yah, jadi ngiler dah gua!

Keempat, pembantu! Gua paling sebel dengar orang-orang di Indonesia yang suka kurang menghargai pembantunya. Dikit-dikit ngeluh pembantunya bego lah, kurang gesit lah, ini lah, itu lah... Lah, namapun digajinya cuma segitu, maunya sepintar apa? Udah bagus ada pembantu, lho! Di sini nggak ada.

Dulu, waktu masih di Jakarta, tiap pulang kantor gua bisa tinggal mandi, makan, main sama anak, trus tidur-tiduran sambil nonton TV [karena ada pembantu]. Sekarang, nonton TV pun kudu sambil melipat atau setrika baju.


Gimana, sih, perayaan 17 Agustus di LA?

KJRI selalu mengadakan acara buat 17 Agustusan. Biasanya ada bazaar makanan, trus ngundang penyanyi dari Indonesia. Gua pernah datang ke acaranya, tapi nggak rutin setiap tahun, karena lama-lama bosan. Penjual makanan [Indonesia] yang ikutan bazaar di sini, tuh, itu-itu aja. Mau lagi bazaar 17 Agustusan, bazaar Imlek, bazaar di gereja, yang jualan, ya, lu lagi-lu lagi :D

Pernah juga ikutan acara 17 Agustusan di gereja, yang kebaktiannya memang dalam bahasa Indonesia. Nah, untuk perayaan HUT RI, mereka suka bikin acara lomba-lomba khas 17 Agustusan, plus lomba karaoke.


Apa, sih, hal-hal yang elo suka banget dari Los Angeles?

Gua suka banget sama cuaca di LA, khususnya di West Area, bukan di East atau Valley. Nggak pernah terlalu panas ataupun terlalu dingin. Perfect weather all year long! Hampir nggak pernah ujan, pula. Dalam setahun, hujan di LA bisa diitung pakai jari satu tangan doang, lho. Walaupun akibatnya kadang jadi krisis air.


Gua juga suka banget sama ketertiban orang-orang sini. Kalau lampu lalu lintas sedang mati dan polisi belum datang, pasti mobil tetap gantian lewat dari setiap arah dengan tertib. Nggak ada yang nyelonong boy, trus bikin stuck di tengah jalan.  Atau kalau naik lift, orang yang di dalam pasti dipersilahkan keluar duluan, sebelum orang dari luar lift masuk. Hal-hal kecil begitu, sih.

Gua juga suka sama kebiasaan orang sini yang suka nyapa, termasuk ke orang asing. Walaupun sekedar basa-basi “How are you?” atau “How is it going?”, tetap jadi terkesan ramah.

Gua juga suka dengan sikap kekeluargaan orang-orang di sini. Kita sering dengar bahwa bule itu individualis, padahal sebenernya nggak, lho. Orang Amerika sangat dekat dengan keluarganya, dan mereka selalu saling suportif. Acara-acara kecil di sekolah bisa rame banget, karena sampai om-tante dan kakek-nenek muridnya pada hadir semua, untuk menyemangati si anak/keponakan/cucu.

Los Angeles juga menyenangkan karena sangat mixed culture, berhubung ada banyak imigran. Kita jadi bisa bergaul, bekerja, dan banyak mengenal orang dari berbagai macam bangsa. Kadang memang jadi membentuk stereotipe, sih, tapi seru aja ‘kan, bisa jadi tau, “Oh, orang bangsa X, tuh, kebiasaannya blablabla… Hati-hati, lho, sama orang dari negara Y, biasanya suka sok tau.” Huahahaha!

Last, but the most important thing, gua suka sama LA karena ada banyak theme park! Ada Universal Studios Hollywood, Six Flags Magic Mountain, Knott's Berry Farm, dan tentunya the original Disneyland and Disney California Adventure Park. Trus, tinggal ngesot dikit ke San Diego, ada Legoland dan Seaworld. It's definitely theme park heaven in here!



Apakah tinggal di luar negeri jadi mengubah pandangan elo terhadap Indonesia?

Nggak, sih, tapi tinggal di luar negeri bikin gua jadi lebih menghargai hal-hal yang dulu gua miliki di Indonesia, namun nggak bisa gua dapatkan di LA.

Tinggal di luar negeri nggak jadi merubah pandangan gua terhadap Indonesia, tapi membuka pengetahuan gua tentang pandangan orang asing terhadap Indonesia.

Contohnya, ternyata Indonesia nggak seterkenal yang gua kira. Banyak orang asing yang nggak tau—bahkan sama sekali nggak pernah dengar—tentang Indonesia. Kalau Bali mereka tau, tapi Indonesia belum tentu.

Kalaupun tau, mereka kira Indonesia itu negara terbelakang banget. Mereka nggak nyangka kalau Indonesia udah maju dan modern. Ini bisa jadi PR buat pemerintah Indonesia, untuk lebih mempromosikan Indonesia ke luar Asia.

Tinggal di luar negeri juga menyadarkan gua, bahwa memang masih banyak yang perlu dibenahi di Indonesia. Tapi bukan berarti gua jadi malu sama Indonesia, lho. Gimanapun juga, Indonesia tetap kampung halaman gua. Walaupun mungkin nggak akan membawa perubahan apa-apa, gua suka cerita tentang Indonesia ke teman-teman orang asing di sini. Seenggaknya jadi ada beberapa orang yang jadi tau (atau lebih tau) tentang Indonesia, ya ‘kan? :)

3 comments:

Arman said...

Wah jd beken dah gw masuk blog lu la... Hahaha

prin_theth said...

Kebalik kaliii... ada juga blog gue jadi beken, karena ada elonya, hahaha. Makasih ya Koh Arman!

Anin said...

Aduh...gue bangga bener deh bisa masuk blog lo, La! Numpang beken...hihihi

Post a Comment