Bagian kedua:
Diponegoro, Raden Saleh, dan Sejarah di Mata Seniman Indonesia:
Kalo di bagian pertama kita bisa liat karya-karya maestro klasik, nah, di bagian kedua pameran Aku Diponegoro ini, kita bisa liat karya-karya seniman modern TENTANG Diponegoro DAN Raden Saleh.
Jadi, untuk pameran ini, Goethe-Institut Indonesien meminta 21 seniman kawakan Indonesia untuk bikin sebuah karya mengenai Pangeran Diponegoro DAN/ATAU Raden Saleh.
Inget kata kuncinya—mengenai Pangeran Diponegoro DAN/ATAU Raden Saleh. Dengan demikian, karya 21 seniman tersebut nggak harus menggambarkan Diponegoro dan Raden Saleh secara gamblang. Nggak sekedar bikin lukisan muka Diponegoro dan Raden Saleh segede-gede gaban, gitu, lho.
In responding to legendary icons such as Diponegoro and/or Raden Saleh, the possibilities are endless. Ada seniman yang bikin image Pangeran Diponegoro secara simbolis, ada seniman yang membedah lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, dan lain sebagainya. And my God, their creativities are truly mindblowing (kalo nggak kreatif, namanya bukan namines dong, Laaa…)
Bentuk karyanya bebas. Bisa berupa fotografi, lukisan, instalasi, apapun.
Berikut adalah beberapa karya favorit gue di area ini:
Raden Saleh, Theodore Géricault, dan Revolusi Eropa di Abad ke-19
Oleh Chusin Setyadikara, 2014
Untuk lukisan ini, Chusin Setyadikara terinspirasi oleh dua lukisan lain, Le Radeau de La Meduse (yang artinya Rakit Medusa) karya Theodore Gericault (1818) dan Banjir di Jawa karya Raden Saleh (1862).
Kita bahas lukisan-lukisan tersebut satu-satu, ya.
Lukisan Le Radeau de La Meduse terinsipirasi oleh sebuah kisah nyata:
Pada tahun 1816, Prancis membuat sebuah kapal perang bernama Meduse dengan terburu-buru. Trus (katanya) istana menitahkan seorang bangsawan yang nggak becus menjadi kaptennya, cuma gegara nepotisme. Pokoknya the whole thing seemed shady, deh.
Kapal Meduse seharusnya berlayar dari Prancis ke Senegal, tapi singkat kata, kapal ini akhirnya tenggelam. 250 penumpangnya, termasuk sang kapten, berhasil menyelamatkan diri dengan kapal sekoci, sementara 146 penumpang lainnya terpaksa buru-buru bikin rakit, kemudian luntang-lantung di laut selama 13 hari.
Ketika akhirnya rakit tersebut ditemukan, cuma 15 orang bertahan hidup. Sisanya mati kelaparan, bunuh diri ke laut, atau jadi korban kanibalisme. Yes, they ate each other to survive.
Tenggelamnya kapal Meduse adalah salah satu kejadian paling memalukan dalam sejarah Prancis.
Nah, lukisan Le Radeau de La Meduse menggambarkan kejadian luntang-lantungnya rakit tersebut, sebagai kritik politik dari Theodore Géricault.
Gue cintaaaa buanget sama lukisan yang punya ratusan detail menarik di dalamnya semacem ini. Perhatikan komposisi segitiganya, dan fakta bahwa orang yang berusaha menyelamatkan rakit ini—yang lagi ngibar-ngibarin bajunya untuk menarik perhatian penyelamat itu, tuh—adalah orang kulit hitam Senegal, not some white French guy. Menarik, yah?
Komposisi segitiga sering digunakan dalam lukisan klasik, untuk menekankan tokoh pentingnya
But all in all, pesan lukisan ini satu: kalo rakyat jelata kesusahan, nggak ada yang nolong mereka kecuali diri mereka sendiri. BERAT, CING.
Sementara itu, lukisan Banjir di Jawa karya Raden Saleh tuh miriiip banget sama lukisan Le Radeau de La Meduse, dan mempunyai benang merah yang sama.
Untuk pameran Aku Diponegoro ini, Chusin Setyadikara menggabungkan dua lukisan tadi menjadi satu, maka lahirlah lukisan Raden Saleh, Theodore Géricault, dan Revolusi Eropa di abad ke-19. Elemen intinya sama—sekelompok masyarakat marjinal sama-sama terperangkap di atas rakit, di tengah banjir besar (atau laut?), gelisah mencari keselamatan. Komposisinya juga tetap segitiga, dengan seseorang mengibarkan bajunya di puncak segitiga tersebut.
Gue sebenernya lebih suka La Radeau de La Meduse dibandingkan Banjir di Jawa-nya Raden Saleh ataupun karya Chusin Setyadikara ini, simply because it’s darker and more intense, tapi gue suka tema inti ketiga karya ini: di seluruh dunia, kemiskinan rakyat selalu jadi akar dari kekacaun sipil. Dan sebagai rakyat jelata, once you are in deep shit, no one will save you but yourself.
Poweeer to the people! *gonjreng gitar bareng John Lennon*
Aku Diponegoro
Oleh Sri Astari, 2014
Gahar, ya, maaak! Walaupun keren, awalnya gue nggak paham, apa maksud sang seniman—Sri Astari—berpose sebagai Nyi Ageng Serang, Pangeran Diponegoro, dan penari Bedoyo sambil bawa-bawa senjata begini.
And then I found out bahwa pesannya kurang lebih begini: okelah, we have great, iconic male heroes. Tapi di saat yang bersamaan, kemunculan sosok para pahlawan yang gagah juga bisa menimbulkan male chauvinism, alias anggapan bahwa laki-laki itu lebih unggul dari wanita.
Dengan kata lain, semakin besar sosok kepahlawan (pria), arti wanita bisa semakin kecil. Ih, nggak kepikiran ya?
Tan Hana Dharma Mangrwa
Oleh Srihadi Soedarsono, 2014
Percayalah kalo gue bilang bahwa lukisan ini segede bagong, and also seems very majestic. Nggak heran kalo lokasinya sangat prominen di ruang pameran.
Dalam lukisan Tan Hana Dharma Mangrwa ini, Raden Saleh dan Diponegoro disejajarkan, karena menurut Srihadi Soedarsono, mereka adalah sesama pahlawan kemerdekaan. Disini, Raden Saleh tampak memakai medali perang gerilya, sementara Pangeran Diponegoro memakai lambang negara Indonesia di sabuknya.
Di belakang mereka berdua, tampak bendera merah putih, meski sebenernya, bagian ‘merah’nya adalah kobaran api yang dibuat oleh tentara Belanda yang sedang mengepung kediaman Pangeran Diponegoro, juga Gunung Merapi yang meletus taun 1865.
I love how this humongous painting represents everything about this exhibition—Pangeran Diponegoro dan Raden Saleh, berdampingan sebagai tokoh kemerdekaan tanah air.
Abstract Logic Series: The Arrest of Diponegoro
Oleh Aditya Novali, 2014
Aditya Novali nggak cuma bikin satu buah karya, tetapi beberapa karya, yang digabungkan menjadi sebuah seri.
Dalam seri Abstract Logic... ini, Aditya Novali “membongkar” lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh dengan gaya abstrak.
Contoh, Aditya bikin sebuah karya yang terdiri dari 13 panel ditumpuk-tumpuk. Panel-panel ini membentuk sekumpulan garis-garis dan bentuk-bentuk berwarna merah dan biru pada sebuah bidang.
Garis-garis tersebut merupakan komposisi lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro secara abstrak—bentuk yang biru-biru adalah para tokoh Belanda, sementara yang merah-merah adalah para tokoh Indonesia dalam lukisan aslinya. Keren, yah!
Kemudian, dalam sembilan panel lain, Aditya membuat bentuk-bentuk abstrak—lingkaran, garis, dan sebagainya—mewakili 67 orang pendukung Diponegoro yang ada dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro.
Kenapa Aditya berkarya dengan bentuk-bentuk abstrak begini? Konon katanya, karena dese pengen bikin versi lain dari Penangkapan Pangeran Diponegoro dengan gaya yang sangat berbeda, yaitu abstrak. Lukisan-lukisannya Raden Saleh 'kan sangat realis dan penuh emosi. Maka dari itu, Aditya bikin sesuatu yang berkebalikan—abstrak, emotionless, dan dingin.
Henius gilaaaaa! Laf, laf, laf.
Mengungkap Kritik Tersembunyi Raden Saleh
Oleh Guntur Triyadi, 2014
Oleh Guntur Triyadi, 2014
Seperti yang udah dijabarkan di postingan sebelumnya, lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro diem-diem mengandung banyak kritik untuk Belanda. Tapi kritikannya halus, sehingga beberapa elemennya malah luput dari mata para ahli sejarah.
Nah, di karyanya ini, Guntur Triyadi ‘menegaskan’ kritik-kritik tersembunyi dalam lukisan tersebut, lewat Penangkapan Pangeran Diponegoro yang dia bikin ulang dengan sketsa.
Contoh!
Gue cerita sedikit dulu, yaaa, tentang Kolonel Jan-Baptist Cleerens.
Cleerens adalah seorang kolonel Belanda yang pertama kali ngajak Diponegoro ketemuan secara pribadi. Pura-puranya mau negosiasi, eh taunya malah ngejebak.
Pada peristiwa penangkapan Diponegoro, Cleerens sang pengkhianat ini sengaja nggak hadir.
Naaah… kalo gitu, harusnya Cleerens nggak ada dalam adegan penangkapan ini dong? Tapi Raden Saleh—yang mendengar soal kelicikan Cleerens lewat gosip politik—tetep ngelukis dia dalam Penangkapan Pangeran Diponegoro, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa, “Tuh, muka si pengkhianat! Dia tuh yang ngajak Pangeran Diponegoro ketemuan!”
Dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro, Cleerens tampak berdiri di belakang Diponegoro, berdekatan dengan tiang dan sambil megang pedang. Posisi Cleerens digambarkan seperti Brutus, yang menikam Julius Caesar dari belakang.
You see how smart Raden Saleh was?
Dan tau nggak, sih? 'Kehadiran' Cleerens ini juga baru diketahui oleh para ahli sejarah lewat karya Guntur Triyadi ini, lho. Sebelumnya, nggak ada yang 'ngeh' ada sosok Cleerens dibelakang Diponegoro dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro.
Naaah... tapi, dalam lukisan aslinya, sosok Cleerens nggak terlalu jelas. Maka dalam sketsa Guntur Triyadi ini, ia digambar dengan lebih jelas.
'Gambar ulang' ini dilakukan Guntur ke beberapa tokoh lainnya dalam lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro. Jadi, walaupun seluruh obyek dalam Mengungkap Kritik Tersembunyi Raden Saleh ini digambarkan dalam posisi yang nyaris sama persis dengan lukisan aslinya, wajah-wajah dalam karya Guntur ini banyak yang nggak identik dengan lukisan aslinya.
Kok, Mas Guntur hebat, bisa merekaulang wajah-wajah yang bahkan luput dari para ahli sejarah?
Soalnya, Guntur Triyadi dapet bantuan dana untuk riset ke Belanda, demi meneliti cetak batu (litografi) yang memuat wajah asli para tokoh penting pada masa kolonialisme. Jadinya, Guntur Triyadi bisa merekonstruksi lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro dengan memasukkan 'wajah-wajah baru' yang ia temukan.
Oya, Guntur Triydi sendiri memang seorang ahli litografi.
Henius! 'Kanmaeeen! Parah! Keren parah nggak, sih? Fakta bahwa Guntur Triyadi bikin sketsa Penangkapan Pangeran Diponegoro dengan PERSIS aja udah warbiyasak, lah ini pake direkonstruksi ulang dengan wajah-wajah asli! *nangis cat minyak*
***
Sebenernya, karya-karya yang merespon Pangeran Diponegoro dan/atau Raden Saleh dalam pameran Aku Diponegoro ini masih banyaaaak banget yang menarik. The artists are such geniuses. Tapi daripada ngana-ngana makin ngantuk baca tulisan gue yang kepanjangan, gue cukup jabarkan yang best of the best versi pribadi.
Salah Tangkap Pangeran Diponegoro, oleh Heri Dono, 2007. Versi lain lagi dari Penangkapan Pangeran Diponegoro. Cari Soeharto, SBY, Megawati, Gus Dur, Amien Rais, Habibie, JK, dan Akbar Tanjung!
Semoga jadi pada ikutan paham, ya, kenapa seni adalah salah satu unsur penting dalam hidup manusia. Art can truly be anything: source of entertainment, social criticism, history recorder, or even a FRIEND. Ih, gue anaknya artsy banget nggak, siiih... Nonton video dibawah ini, deh!
***
To be continued ke area ketiga pameran ini. Don't go to sleep yet!
10 comments:
Ngga bakalan tidur, malah menunggu nunggu dengan antusias untuk part 3 nya. Thanks a lot for sharing :)
aku sukaaa banget mbak sama cerita di tiap karyanya.
Kalo pergi sendiri ke pameran itu haqul yakin ga akan mudeng, ga akan ngeh kalo ada begitu banyak detil menarik di dalamnya.
Thanks for sharing ya mbaa...sering2 nulis soal seni gini mbak, soalnya mungkin banyak yg gak paham, apalagi yg bagian abstrak itu...udah dijelasin pun aku tetep gak mudeng :D
Gilaaak kalau lo jadi guru Sejarah mungkin gw dah jadi anak IPS kali pas SMA. haha. btw i've been SR. pas blog ini ga bisa diblock langsung kocar kacir minta diinvite. haha. salam kenal ya Lei
penasaraaaan...
cerita tersembunyi selain cerita ttg Cleerens dari karya Guntur Triyadi masih ada lagi gak sih, mbak?
Cornelia: Sami-samiii :) Glad you enjoyed it
Itsmylife: Hihihi, aku juga nggak akan ngerti kalo cuma sekali dateng dan liat-liat sekilas aja, sih. Tapi aku tau, di setiap karya seni pasti ada 'ceritanya'. Kalo kita hunting, pasti akan paham.
Untuk paham cerita setiap karya di pameran ini, aku baca setiap keterangan karyanya, baca bukletnya, dengerin audio guidenya, dan ikut tur terpandu sama kuratornya... BARU MUDENG hahaha.
Shintano: Hihihi, salam kenaaal. No worries, kalo blog ini dikunci, pasti karena alesan teknis, dan cuma temporary kok! ;)
Lia: Ada kok! Tapi yang infonya aku dapet dengan jelas, cuma info ttg Kolonel Cleerens :D Jadi pengen ketemu dan interogasi Mas Guntur nggak siiih...
This is the kind of history that i enjoy. Maaak.. gw tedorrrr mulu pelajaran sejarah karena cuma bahas when where, but never why.
Pengen sungkem deh sm pak guntur triyadi ini.
Pameran ini jual booklet komplitnya kah? Aku ingiiiin
Salam kenal, Mbak Lei. Selama ini aku silent reader (bacanya dalam hati sih). Mbak, bikin tur terpandu dong, Mbak Lei jadi pemandunya, yah, yah, yah...
(serius gw suka ulasan pameran ini - soalnya kalau pergi sendiri pasti plongo ahahaha)
CP: Kenapa sih kamu silent reader? Nih aku beliin mic, biar bacanya nggak silent lagi, saingan deh sama qori'ah baca Qur'an. Nanti pake micnya gantian sama aku yah, pas jadi pemandu musiyum...
(hahaha iye Cep, seru yah pamerannya)
Senangnya baca review/apresiasi kaya gini. I especially like the Tintin-like characters one karya guerilla something. Dulu waktu pameran Raden Saleh belum ada larangan foto lukisannya, sekarang udah ga boleh (meskipun masih bisa colong2)
AAAAH akhirnya Mbak Lei muncul lagi ke permukaan. *joget goyang dumang*
Abis dari mana sih Mbak? Bikini Bottom? :)
Aku syuka sejarah, aku syuka Pangeran Diponegoro. Aku inget waktu kelas 1 pernah diminta guru kelas 3 bacain satu bab tentang penangkapan pangeran Diponegoro di depan kelasnya. Gara-gara ada beberapa murid yang belum lancar membaca. *bangga tujuh turunan*
Melihat lukisan yang punya jiwa memang sungguh menyenangkan. Serasa terserap ke dalamnya. Serasa ikut andil dalam adegan lukisan itu. Serasa masuk ke pikiran pelukisnya, mengikuti tiap garis olesan kuas, sambil pasrah menunggu interpretasi apa yang tiba-tiba muncul di kepala.
Aku menunggu bagian ketiga, dan keempat, dan kelima, dan keenam, kalau perlu sampai 10 bagian juga aku tunggu!!!
Post a Comment