Apr 14, 2022

Lemesin Aja, Deh

Halo, saya Laila. Dan saya sedang hamil, di usia hampir 38 tahun :’)

Kalau gue mau cerita-cerita soal kehamilan ini, angle yang bisa dipilih ada banyak banget.

Yang paling gampang adalah angle usia. Soalnya, dalam kultur Indonesia yang ageism-nya luar biasa ini, hamil di usia 38 biasanya butuh justifikasi, nih. “Ngapain umur udah mau 40 tahun malah bunting?” gitu kalau kata bude-bude.

Ada juga angle proses kehamilannya sendiri. Soalnya, kehamilan ini diupayakan dengan rada susah payah, lewat program terapi hormon.  

Tapi mungkin semua cerita itu bisa buat lain kali, ya. Dalam kesempatan ini, gue akan berbagi soal… WHAT THE FUCK HAPPENED TO A PREGNANT WOMAN’S BODY?!

SORI, KITA NGEGAS! IT IS FOR A REASON! 

Gue punya teman sebaya. Sejak beberapa tahun lalu, dia rajin banget olahraga dan sedikit-sedikit mempelajari sains nutrisi. Belakangan ini, fenomena olahraga dan sadar kesehatan memang rame, ya, di kalangan warga urban. Bagus, sih. Hasilnya pada jadi Benjamin Button semua, alias makin hari pada keliatan makin muda. Kayak Dian Sastro, yang curiganya masih dimintain KTP kalau ke club.

Anyway, teman gue ini bilang, anggapan bahwa fisik kita melemah akibat usia itu sebenernya miskonsepsi. ‘Kan para warga urban usia 30an ke atas—bahkan pertengahan 20an—doyan banget tuh ngomong “Aduh, gue jompo.” sambil melambaikan minyak kayu putih, minta dikasihani. Seakan-akan badan melemah itu hal yang tak terhindarkan. Usia jadi alasan. 

Namun penelitian bilang, sebenernya nggak, tuh. Otot kita nggak mengendor karena usia. Otot kita mengendor karena kita makin sedentary aja, alias minim gerak. Pas kita SD sampai kuliah, kita ‘kan lebih lincah dan aktif tuh. Otomatis, badan lebih sehat.

Makin tua, lifestyle perkotaan terkutuk ini membuat kita makin sedentary atau inactive (duduk di bangku kantor aja, misalnya). Padahal tubuh manusia ditakdirkan untuk terus gerak aktif, dari pagi sampai malam, setiap hari. Gaya hidup sedentary tuh 100% menyalahi kodrat hidup manusia. Ibarat ikan dipaksa terbang. 

Alhasil, otot makin kendor, tulang pun susah ditopang. Badan makin nggak aktif, makin rentan sakit-sakit, deh. Sementara akses terhadap makanan makin gampang, sehingga kita rawan makan berlebihan, yang merupakan sumber banyak penyakit. 

Gue percaya 110% dengan riset tersebut, dan gue janji sama diri sendiri untuk lawan!!! (bak anak BEM cieee). Lawan kelemesan badan, maksudnya. Maka sekian tahun ke belakang, gue berusaha untuk tetap aktif gerak, olahraga, dan nggak mau sugesti jompa, jompo, jompa, jompo ke diri sendiri. Malu dong, sama lansia usia 70 tahun yang masih triathlon

Gue menanamkan pemikiran tersebut ke diri gue dengan kuat, sampai gue overestimate diri sendiri. Gue sempat yakin, di kehamilan ini, gue bisa setangguh banteng. Jangan sampe gue setahun rutin mikul barbel, hanya untuk kesia-siaan! 

Tapi sekuat-kuatnya gue mikul barbel, tentu saja lebih kuat kuasa Tuhan. Jikalau Dia berkehendak, “Jangan kepedean ente!” maka kepedean gue pun akan dipatahkan. Memang, jadi ibu tuh berarti ekspektasi dan harapan lo akan banyak yang patah, sedari awal. Cocok sama lagunya Kendrick Lamar, sit down, be humble

Qadarullah, meski menyandang titel iNsTruKtuR oLahRaGa, di kehamilan gue ini, gue tetap tepar. Sama aja kayak pas hamil Raya 10 tahun lalu. Malah mungkin lebih awur-awuran.

Berikut adalah hal-hal yang gue alami, semasa trimester satu ini:

1. Lemas dan Ngantukan

Trimester pertama kehamilan adalah trimester paling krusial dalam perkembangan bayi, karena di periode ini, organ-organ vital si calon manusia sedang berkembang. Maka, di periode ini, seorang ibu hamil harus sangat well-rested dan jaga asupan makanan.

Tapi ‘kan nggak semua ibu hamil punya wawasan gini. Misalnya, bumil jaman Nabi Adam, atau ibu-ibu di suku pedalaman. Kagak ada bidan yang ngasih penyuluhan, “Istirahat ya, Buuu… jangan makan yang aneh-aneh ya, Buuu….” 

Alhasil, Tuhan menganugrahkan sejumlah kondisi dan insting tak terhindarkan kepada ibu hamil di trimester satu, termasuk ngantukan dan mual-mual. Tujuannya supaya si ibu “dipaksa” untuk well-rested dan jaga makan.

Maka, wajar banget kalau gue jadi lemes dan ngantukan. Tapi sebagai mantan sobat olahraga yang dulu bisa angkat besi di pagi hari, trus lari di GBK sore harinya, kondisi ini cukup bikin terpukul. Kenapa gue jadi molor belasan jam sehari gini?! Dan ngantuknya kayak ketembak tranquilizer shot buat ngebius badak gitu, lho. Langsung plek, pingsan. 

Kadang gue merenungkan siklus ayam-atau-telur-nya. Gue jadi ngantukan gini, apakah karena mendadak stop olahraga total? (gue sempat pendarahan, sehingga harus bedrest total 2-3 minggu). Atau apakah gue jadi nggak olahraga, karena nggak bisa melawan kondisi ngantukan ini? Sebaiknya gue tetap disiplin olga, atau nurut aja sama ngantuknya? Apa, sih, maumu hei bodi?!

Apapun itu, gue jadi ngantukan dan lemesan, dan rasanya merana sekali. Pelan tapi pasti, kurasakan otot gue melembek, tertutup lemak, dan bertranformasi jadi agar-agar.

Nggak cuma merasa makin lemah fisik, kestabilan mental gue juga jadi ikut kacau. Dulu, gue tiap hari kena endorphin dari olahraga. Sekarang nggak sama sekali. #bismillahpasrah #padahalkenamental

2. Gendut

Gue nggak dilahirkan dengan DNA kurus. Sebaliknya, bentuk tubuh gue cenderung bantet dan sebenarnya gampang melar. Sekitar tahun 2015-2020, gue sempat singset, tapi ditempuh dengan cara toxic—kalori defisit bertahun-tahun. Olahraganya kenceng, tapi makannya juga cuma angin dan tetesan embun. Sumpah.

Gaya hidup itu tentu nggak sehat, dan akhirnya metabolisme gue pun rusak (ini cerita lain lagi). Tapi dari pengalaman tersebut, gue jadi tau bahwa willpower gue yang lumayan kuat. Gue kuat kontrol makan dan konsisten olahraga, dalam periode waktu lama. Sehingga pas hamil, gue bertekad untuk nggak jadi ibu-ibu hamil yang kalap makannya, agar nanti gembrotnya nggak keterlaluan sehingga BB-nya susah diturunkan. I was committed to be a graceful, controlled pregnant lady. Seperti para bumil Jepang, kenaikan berat badan gue akan sopan dan terkendali.

Semua orang pasti akan bilang, “Yang penting hamilnya sehat,”. Betul, utamanya memang harus sehat. Tapi bo’ong banget kalau ada bumil yang bilang nggak pengen BB-nya terkontrol. Secretly, we all want to be pregnant Gigi Hadid. Or Andien.

Kenyataannya, sebelum kandungan gue 8 minggu, kenaikan BB-nya udah 3 kg. Mana willpower-nya, Bunda, mana?! Sejujurnya, willpower-nya ada banget. Gue memang nggak kalap makan. Terkontrol, kok. Tapi badanku… mengembang aja inevitably, kayak roti masuk oven.

Mungkin karena gue sejauh ini nggak pernah gerak, boro-boro olahraga. Mungkin juga karena gue cenderung panic-snacking tiap mual. 

Jadi, selama trimester satu ini, mual-mual gue cukup dahsyat dan bisa berlangsung seharian. Maka gue sering desperate nyari cemilan atau makanan apapun yang bisa nahan rasa mual gue. Kalau remedies standar nggak ampuh, I would literally shove anything into my mouth, to stop the nausea. Mungkin ini juga biang keladinya. 

Bicara soal mual, mari kita bahas soal kutukan neraka yang satu itu.

3. Mual dan Muntah

Mual dan muntah itu spektrumnya luas. Ada bumil yang merasa mual-mual kecil aja, kayak pas abis intens main HP di dalam mobil beraroma Stella Jeruk. Ada bumil yang sampe projectile vomiting alias muntah heboh, kayak si gadis kesurupan di film The Exorcist. Tentu saja, semuanya nggak enak. Semuanya layak dikasih simpati.

Kecuali para bumil yang nggak mual sama sekali.

Kalau lo termasuk bumil yang nggak mual-mual, how dare you? Kurang ajar bener ente. Semakin kurang ajar lagi, kalau bumil tersebut bersikap seakan-akan semua bumil tuh buntingnya seenteng buntingnya. Seperti Ria Ricis yang nulis caption di foto hamilnya “Hamil itu nikmatnya 1%. Sisa 99%-nya nikmat banget.” Atau seperti seorang rekan bumil yang masih boxing dan angkat besi, dan nge-post tulisan, “Jadi bumil tuh nggak boleh mager!”

AH MASA, SEH, BUNDAAA? Gue yang baca semua itu sambil mual-mual, ya makin pengen hoek.

Ketersinggungan gue yang terbaru datang dari Nikita Willy. Dalam sebuah sesi Instagram Live, dia bilang bahwa dia rajin ikut kelas edukasi hamil, prenatal yoga, hypnobirthing dsb sejak trimester 1. Alhasil, ngakunya, Nikita sukses jadi ibu hamil yang pintar dan kuat, sehingga nggak pernah mual sama sekali.  

Gue yang udah gilda karena hormon ini jadi tersungging. Excuse me? Pernah denger yang namanya hormon HcG, yang reaksinya dalam kuasa Tuhan? Dan apakah artinya bumil yang mual itu adalah bumil yang lemah dan nggak teredukasi? Hmmm?

Ampuni aku Ya Allah, diam-diam Nikita kudoakan agar gendut pasca hamilnya lama banget (padahal dese nggak gendut habis melahirkan. Tetep cantik). 

Maaf ya, pemirsa. Seperti yang barusan gue sebut, gue udah gilda karena tersiksa oleh mual hamil ini, yang bisa berlangsung seharian. Pagi mual, siang mual banget sampai muntah, sore kadang mendingan, lalu malam mual banget lagi.

Gue coba deskripsikan rasanya, ya, untuk orang-orang yang mungkin penasaran atau menganggap mualnya bumil tuh lebay (don’t you dare):

Rasanya seperti harus ngetik di laptop ngejar deadline, saat lagi terperangkap di kemacetan parah, di dalam sebuah taksi beraroma Stella Jeruk, dengan seorang sopir yang bau keteknya menusuk. Trus, ketika lo nengok keluar jendela, lo menyaksikan seekor hewan pup dengan lancar depan mata lo. Lo mulai merasakan perasaan nggak nyaman di ulu hati, seperti ada segumpal sesuatu dalam dasar perut, dan lo terdesak untuk memuntahkan gumpalan itu. 

Kira-kira mual gue rasanya begitu, dan berlangsung seharian. Setiap hari. Berminggu-minggu.

Seandainya suatu hari sains bisa menciptakan pil yang bisa ngasih efek rasa mualnya bumil, gue sarankan pil itu dikasih ke tahanan, supaya dia cepet mau ngaku pas diinterogasi. It’s the perfect criminal torture: pelan tapi pasti, dan nggak berhenti.

Mual gue berada dalam spektrum nanggung: mual banget, tapi jarang bisa muntah. Padahal gue pengen bisa muntah byarrr sekalian, supaya lega. Sayangnya, HcG gue mengutuk gue untuk mabok seharian, tapi jarang bisa ngeluarin isi perut, sehingga nggak pernah tercapai perasaan lega. Ibarat dikasih takdir duduk sebelahan sama gebetan di kantor, tapi si gebetan udah ada yang punya. Mampus nggak, lu. Gelisah seharian.

Kalau lo bumil yang bernasib sama dengan gue, dan lo berharap tulisan ini mengandung solusi, I’m sorry to disappoint you. Gue nggak punya solusi atau tips tokcer mengatasi mual. Kadang sebuah solusi sukses di hari ini, tapi gagal keesokan harinya. Cobain aja tips-tips standar yang banyak beredar di internet: ganjal mual dengan biskuit, makan dikit tapi sering, olahraga tipis-tipis, minum jahe, dan sebagainya. Tapi ya itu, kadang berhasil, kadang nggak. 

Oh, ada sih, solusi dikit. Tapi ini solusi nggak gampang dan nggak instan: have a good mental health. Agak serius dikit, ya, pemirsa!

Sebenarnya, pas hamil Raya sepuluh tahun lalu, gue merasakan mual-muntah yang sama. Tapi dulu itu, kondisi mental gue (tanpa disadari) buruq sekali. Dari segala keburukan kondisi mental gue, salah satunya adalah, gue nggak aware dan mindless terhadap hidup. Gue menjalani keseharian dengan ngawang, dan disetir oleh berbagai distraksi. I was very disconnected with myself. Akibatnya, gue sering tantrum pas hamil dulu. Nangis, ngamuk, marah sekali karena merasa dilumpuhkan oleh kehamilan tersebut. 

Sepuluh tahun kemudian—setelah bikin (makin) banyak kesalahan hidup, melewati cobaan-cobaan yang cukup keras, dan nyobain terapi—kondisi mental gue membaik, dan gue jadi lebih mindful terhadap diri sendiri. Sekarang, kalau gue dihantam ombak perasaan tidak nyaman, gue biarkan diri gue kebawa ombak itu. Gue benar-benar nggak melawan atau mendistraksi perasaan tersebut dengan apapun. Dengan HP, misalnya. Gue nangis aja, merenung sambil natap tembok, berdoa, zikir, dan berusaha pasrah. 

Teorinya sih gampang, ya. Padahal prakteknya, facing your shitty emotions is practically a jihad, lho, karena nggak enak banget.

Misalnya, nih, lo tiba-tiba teringat pernah mukul anak dengan keras, trus lo kehantam perasaan bersalah dan takut. Facing your shitty emotions means… ya, kita ingat-ingat terus kejadian itu. Kita ingat penyebabnya, reaksi kita, reaksi anak, perasaan kita secara detil, the guilt, the shame, the anger. Kita pertanyakan semuanya, kita coba introspeksi, trus kita terima semuanya. 

AllahuAkbar, metong nggak, tuh? 

Gue nggak tau, gue dapat ilmu ini dari mana. Kayaknya nggak pernah gue pelajari secara spesifik. Tapi gue merasa, dengan menghadapi emosi-emosi buruk sendiri, gue terlatih jadi lebih tangguh sekaligus pasrah. Bukan cuma supaya bisa nguatin diri sendiri, tapi juga supaya gue bisa owning my mistakes, alias sepenuhnya mengakui kesalahan-kesalahan gue, tanpa membela diri sedikit pun. Gue juga jadi lebih gampang memaafkan orang. Intinya, “Yah… ya udah lah, ya? Lemesin, aja deh.” 

Sebagai seseorang yang keras kepala dan hyper-controlling seumur hidupnya, hal ini adalah pencapaian luar biasa.

Contoh lainnya: I have the longest, deepest battle with my mother. I have been angry at her—and at my life—for as long as I can remember. Sekarang hubungan kami belum akrab, sih, tapi sekarang gue udah bisa tulus mikir, “At least she tried to be a decent mother. Ya udah, nggak apa-apa.” Dulu mana bisa.

Pada akhirnya, pelatihan jihad terhadap diri sendiri ini membuat gue lebih nrimo terhadap segala ketidaknyamanan jadi ibu, sejak saat hamil. Mungkin makanya gue baru dikasih hamil lagi sekarang. Allah kasih gue waktu dulu untuk toughen up, to reconnect with myself, untuk introspeksi, untuk jadi lebih Stoic, agar gue bisa jadi ibu yang lebih pantas. All in perfect timing, konon begitu katanya. 

Alhamdulillah, sejauh ini, dokter menyatakan janin gue sehat. Detak jantungnya mantap, badannya bergerak aktif, dan sendi tangannya udah bisa melambai-lambai.

Sambil menatap si calon manusia lewat layar USG, gue menyadari bahwa seorang ibu hanyalah wadah belaka, sebagai tempat tumbuhnya seorang manusia lain. Segala muntah, lemes, pusing, dan stress adalah derita si wadah aja, sementara si manusia kecil yang menyerap sari-sari tubuh kita, hepi-hepi aja tuh. Bak parasit, tapi parasit yang dicintai.

If this isn’t the ultimate selflessness test, I don’t know what is. Men have no idea. Janji lho, ya, surga di bawah telapak kaki ibu.

Isi seluruh blogpost ini mungkin keluhan, supaya gue bisa berbagi derita sekaligus mentertawakan diri sendiri. Tapi sebenarnya, prinsip kehamilan ini adalah, “Yah… ya udah lah, ya? Lemesin, aja deh!”

Salam muntah.

8 comments:

Ezra said...

Anak pertama udah 5 tahun,masih takut untuk anak ke-2 ,La. Trauma banget sama mual muntah 4bulan+lahiran*penginnya normal* berujung SC karena ternyata lahiran normal itu sakid n lama banget anjj... mana nih yang bilang,"gampang kok,mulesnya kaya mau pup doang". Abis lahiran kena baby blues pula. Hajiiibbbb....
Sehat² sampai lahiran,Laila dan calon dede bayi

Nadia Nayy said...

Hamil 2 anak, keduanya dengan hiperemasis gravindarum ☝️.
Sekarang kalo ditanya, mau hamil lagi atau nggak, gw akan jawab "Tega lo, lo mau gw mati??"
Sudahlah keluar masuk UGD, turun berat badan sampe 12kg, lanjut disuruh naikin bb bayi dalam kandungan, melewati fase "hamil kok nggak keliatan ya..", melahirkan dengan susah payah dan diterpa baby blues setelahnya.

You are not alone, Mba, semangat, semoga mual muntah ini segera berakhir. Sehat sehat baby and mommy sampai due date nanti ya.

Maap ikut ngeluh, saya suka bgt ngeluh soalnya.

Salam muntah ����

Mahadewi76 said...

congrats lei, semoga sehat selalu yaa bumil dan dilancarkan sampe lahiran nanti, aamiin

Jane Reggievia said...

Congratssss kembali, Kak Leii! Bayi baik-baik yaa di perut ibu, sehat selalu buat kalian berdua :*

Ngomongin soal muntah pas hamil, ini yang aku rasain pas hamil kedua kemarin. Kayaknya karena hamil pertama sok sekali badan kuat kayak badak, ehh dikasih deh tuh eneg-enegnya selama dua trimester. Boro-boro pengen makan, masuk dapur aja eike langsung hoek T_T

Terus soal badan jompo di usia 20-30an itu yaampun bener banget sih. Nggak ada bangga-bangganya nyebut diri sendiri jompo, malah rasanya pengen pecut diri sendiri, "hayok sana squat 100x!" pas ngerasa pegel-pegel duduk kelamaan di depan laptop, hahahahaha.

Sadeya said...

Kak Laila terima kasih ya atas sharingnya. Aku mendoakan kehamilan Kakak membaik setiap harinya, dilapangkan hatinya, dikuatkan badannya. Semoga kelak menjadi orangtua yang fair untuk anak-anaknya :)

IndieanaJones said...

Hi Mba, semangat yaah. Aku dulu hamil pas menuju 37 tahun. Selain mual dan muntah parah, juga pakai sakit kepala kaya ditusuk-tusuk gitu jadi yaaah akhirnya bedrest sampai lahiran 😁😁 dan pastinya bolak-balik nginep di hotel rumah sakit 😂. Emejingnya habis lahiran, sakit pala bisa ilang, cobak ta sekalian lemak-lemak di perut yang ilang 😁😁

Anonymous said...

Finally bisa kelaaarr baca semua isi blog ini & blog menuju hari perkawinan Mba Lei :)
Jaman tahun 2014-2015 gitu aku pernah baca, lalu nggak baca lagi & tiba tiba di tahun ini aku ingin baca lagi, walaupun aku sempet lupa nama blog Mba Lei apaan, tp seneng akhirnya nemuuuuuu! maacih Mba Lei, isi blogmu sungguh menyenangkan. Sehat sehat sampai lahiran :)

ps : this is my first comment after all this years hihi

Anonymous said...

Mbak Lei, waktu hamil anak pertama, ngalamin mual muntah lumayan berat, LDM, tinggal di kos2an serba terbatas pula. Pernah saking muntah terus, plastik-plastik isi muntahan bertebaran di lantai kamar. Ga punya tenaga, ga ada suami, keluarga n teman dekat buat ngurusinnya. Trs tanpa disadari berkata dalam hati (atau diomongin juga ya) kalau aku ga mau cepet2 hamil lagi, rasanya terlalu berat. Dan sekarang, 10 tahun kemudian, aku belum dikasih hamil lagi. Sudah periksa dan usaha program anak ke2, tapi selalu ga mudah. Sekarang sudah ikhlas dan bersyukur dengan yang ada...
Mbak Lei, semangat ya, semoga diberi kemudahan n kelancaran. Btw aku selalu baca dan suka tulisan mbak Lei, you are so smart..

Post a Comment