Feb 22, 2020

Kebijaksanaan Alam Semesta


Apa yang biasanya lo lakukan, kalau lo lagi sedih?

Apakah elo—seperti Ika Natassa—menghibur diri sendiri dengan melihat orang-orang yang “di bawah lo”?



Banyak orang sebel dengan tweet-nya Ika Natassa yang beraroma ignorant dan schadenfreude itu. Sayangnya, dari kecil, kita memang sering diajarin untuk “melihat ke bawah supaya kita bersyukur”, tapi trus lama-lama berkembang jadi pola pikir “bersyukur di atas penderitaan orang lain”.

Ada banyak penjelasan kenapa tweet Ika Natassa itu bermasalah. Intinya, sepatutnya kita nggak menopang diri kita dengan orang-orang yang kita anggap kurang beruntung agar kita merasa baik-baik saja.

Tapi gue pun paham, kita hanyalah makhluk lemah rentan ambyar yang seringkali nggak sanggup menopang diri sendiri cuma dengan kekuatan diri, apalagi cuma dengan afirmasi-afirmasi yang seringkali terasa basa-basi dan nggak membuat kita lega di level lebih dalam (“Life is tough but so are you!” ah, masa siiih?).

Oftentimes, we do need external support.

Setiap kali gue merasa sedih atau down, gue biasanya mencari sesuatu yang lebih besar dari “dunia” gue. Dulu, gue bakal ambil koran dan menyimak soal demo besar di serta dan Argentina, krisis iklim yang semakin parah, atau keberhasilan pengungkapan pelaku mega korupsi. 

Belakangan, gue bakal ambil HP atau remote TV, dan menyetel tayangan dokumenter alam.

Gue bukan penggemar topik sains, tapi menyaksikan planet bumi dan alam semesta beroperasi—baik dalam skala besar maupun kecil—itu humbling banget. Menyaksikan tebing es runtuh di Antartika, melihat ikan paus biru membanting dirinya ke lautan, melihat kawanan kuda liar berlari di padang rumput, dan melihat luasnya gurun Sahara membuat gue merasa amat, sangat kecil. Membuat masalah-masalah gue terasa amat, sangat kecil.

Ketika kita menyaksikan betapa kecilnya planet Bumi dibandingkan Saturnus atau matahari, menjadi seberapa penting, sih, persoalan sehari-hari kita? Galaksi—berserta miliaran benda langitnya—membuat rasa kecewa karena batal liburan, atau gagal dapat promosi di kantor, jadi sepele. Ketika kita (membayangkan) berdiri di tengah kesunyian gurun Sahara, atau di punjak Gunung Rinjani, di bawah taburan jutaan bintang malam, penolakan cinta yang kita rasakan minggu lalu, kok, rasanya jadi biasa aja.

Kata The School of Life, kita harus rutin membawa perspektif galaktik ke problem keduniawian kita sehari-hari. Kita harus ingat, bahwa nothing really matters, and we will all die anyway. Maka kita nggak perlu overthink stuff, atau merasa terbebani dan gengsi untuk minta maaf, mengakui kesalahan, berani jujur, maupun menerima kenyataan pahit. Again, we will all die anyway.



Kalau gue lagi sulit tidur malam karena overthinking berbagai masalah, gue suka banget nonton video ini—atau video alam lainnya—sambil mengingatkan diri bahwa di tengah alam semesta yang maha agung ini, manusia itu kecil. Problem-problem manusia juga kecil, dan pasti akan terurai. Kalaupun rasanya nggak terurai-urai, cepat atau lambat, it will not matter anymore.

Goodnight, sleep tight.


(image credit: Cory Schmitz)

1 comment:

Anonymous said...

Dulu pas masih ngantor, tiap hari buka blog Laila ini. Bolak balik baca yang lama2. kalo udah kelae, ngulang lagi dari awal. Trus baca blog persiapan wedding dan disneyvakansi. Udah kelar, ya balik lagi dari awal. Sesuka itu.

Begitu resign awal 2019, mulai gak pegang notebook, males baca blog di hp. Berarti udah setahun gak ngunjungi blog ini.

Baru malam ini lagi. Baiklah, mari baca post2 yang belum sempat terbaca dan ngulangi lagi yang dulu2.

Btw, tulisan kamu duluuuu yg pas putus cinta itu bener2 bergunaaaa buat aku, La. Pas putus cinta, aku lebih banyak baca berita, lebih banyak liat hal ini itu yang bikin ngerasa grounded. duhhhh masalah putus cinta mah kecillllllll banget kemudian I survived :)

Ah. Aku kangen sekali sama blog ini

Dari Melly yang kapan hari pernah dm menyatakan puja puji ke ig mu, kemudian dihapus lagi sebelum sempet terbaca. Malu ��

Post a Comment