Jan 14, 2019

Banyak Kesempatan, Banyak Kefrustrasian

Qerja qeras bagai quda, demi menjemput jaya

Sekarang ini, kita sedang hidup di era yang penuh kecemasan, khususnya bagi orang-orang di kota besar yang serba cepat dan penuh persaingan. Semua orang streys, nek. Semua orang gelisah. Semua orang tegang. 

Kenapa? Sebabnya tentu banyak, tapi gue tertarik dengan alasan yang dikemukakan Alain de Botton: menurut dia, sebabnya adalah karena peluang sukses yang sekarang ini melimpah banget.

Mungkin dalam satu atau dua dekade terakhir, salah satu slogan yang paling rame digaungkan adalah “anyone can be anything”, “you determine your own success”, dan sejenisnya. Masyarakat sekarang percaya bahwa kesuksesan bisa diraih oleh siapapun. Literally anyone. Mulai dari anak petani, lulusan SMA, sampai ibu rumah tangga. Mereka bisa, kok, ujug-ujug jadi penemu startup sukses, influencer ternama, artis, politisi, dan banyak lainnya. Pokoknya kesetaraan kesempatan banget.

Hari gini, dengan akses seluas-luasnya kepada platform yang saling terkoneksi, siapapun bisa berkarya, menyebarkan karyanya, dan meraih kesuksesan dari situ. The possibility is truly endless, dan semuanya bisa diraih hanya dengan klik-klik ujung jari.

Contoh, nih: impian masa kecil gue (sampai sekarang, sih) adalah kerja di majalah. Mulai dari kepengen jadi wartawan, sampai jadi pemred. Gue suka nulis, dan gue kepengen tulisan gue dimuat di platform “besar” dan dibaca banyak orang. Dulu, di tahun 90-an, gue nggak pernah ngayal bisa “bikin-bikin sendiri” kayak anak jaman sekarang. Bikin media sendiri? HMPH, MANA BISA, FERGUSO?!

Maka di awal tahun 2000-an, ketika gue mulai blogging, bayangkan betapa euforia-nya gue. Wow, gue bisa menerbitkan tulisan gue sendiri, seenak jidat w, di platform publik! Dan ada yang baca! Ada yang merespon! I felt like I had my own mini magazine, sehingga dunia terasa berada dalam genggaman. Malah sekarang, di industri fashion, misalnya, blogger sudah hampir sepenuhnya menggeser otoritas pemred.

Intinya, hari gini, the possibility is endless. Kesempatan sukses ada dimana-mana. Bahkan sehari-hari, kita tenggelam dalam berbagai kisah rakyat jelata yang akhirnya menjadi sukses. Larry Page dan Sergei Brin cuma ngutak-ngutik komputer di garasi, ujug-ujug punya Google. Mark Zuckerberg cuma ngutak-ngutik Internet di kamar asrama kampusnya, ujug-ujug punya Facebook. Si Itu ujug-ujug jadi Youtuber sukses dan akhirnya punya empire media sendiri. Si Anu ujug-ujug punya startup unicorn. Si Inu rajin posting di media sosial, ujug-ujug jadi influencer. Wah, apa-apaan, nih?

Zaman dulu, orang hebat di masyarakat adalah para raja / penguasa. Mereka lahir dari orangtua yang juga penguasa. Penampilan mereka pun "raja" banget: pakai mahkota, kain sutra, perhiasan mahal, dan duduk di singgasana Menara Gading. Rakyat jelata, sih, memandang mereka dari bawah sambil angkat bahu aja. Rakyat nggak merasa sirik atau terintimidasi, karena merasa bahwa takdir sang raja ya memang begitu sejak awal zaman, dan nggak mungkin kekejar. Dulu, sih, gue nggak pernah sirik atau julid sama cucu-cucunya Soeharto yang datang ke sekolah naik Range Rover. Angkat bahu aja, deh.

Tapi pakaian kebesaran para "raja" modern sekarang—Larry Page, Mark Zuckerberg, Steve Jobs—ya sama aja kayak kita-kita: jins dan kaos. Jokowi aja hobi pakai jaket bomber dan jajan kopi susu di Tuku. Mereka pun bukan royalties atau orang-orang yang lahir dengan privilege yang mustahil dimiliki masyarakat umum. Sehingga pesan yang sampai ke kita adalah: mereka "rakyat jelata" juga. Orang-orang biasa. Sama seperti kita.

Tapi akibatnya, kita jadi mikir, “Hmmm… gue juga orang biasa. Gue juga rakyat jelata. Tapi… mana Google gue? Mana Gojek gue? Mana Tokopedia gue? KENAPA MEREKA UDAH BISA SUKSES, SEMENTARA GUE KAGAK?!”

Menurut Alain de Botton, inilah salah satu penyebab kita hidup dalam anxiety. Banyaknya peluang, kesempatan, serta berbagai kisah sukses ternyata bisa bikin kita bingung dan gelisah. Nggak selalu bikin kita terinspirasi.

Kata de Botton, lewat pidato presiden dan para politikusnya, Amerika Serikat sering menekankan bahwa mereka ingin membangun Amerika menjadi negara meritokrasi.

Secara ide, sih, meritokrasi tuh "indah" ya. Dengan meritokrasi, dari mana pun asal kita, kita bisa jadi orang hebat dan berada di puncak piramida masyarakat, kalau kita usaha keras. Asalkan giat, anak tukang becak pun pada akhirnya bisa jadi CEO perusahaan besar, bahkan jadi kepala tertinggi negara. Trus, untuk bisa jadi pengusaha sukses, kita nggak harus jadi anak pengusaha dulu. Dan kalau kita gagal mendapatkan pekerjaan impian, kita bisa ciptakan sendiri pekerjaan tersebut. Lagi-lagi, slogannya adalah "anyone can be anything" dan "you determine your own success".

Indah, ya? Indah, sih, TAPIII (nah, ada tapinya) meritokrasi punya sisi gelap, yaitu: kalau "you determine your own success", maka "you are also the cause of your own failure."

Sekarang ini, setiap orang diharapkan bertanggungjawab atas nasibnya sendiri. Sekali lagi, prinsipnya adalah "anyone can be anything" dan "you determine your own success". Di negara Barat, hampir nggak ada lagi orang yang percaya dengan keberuntungan atau hoki. Bahkan, prinsip yang sekarang banyak digaungkan adalah "you make your own luck". Kalau kita sukses, itu adalah hasil kerja keras kita.

TAPI, artinya, kalau kita gagal, itu hasil kegoblokan dan kemalasan kita juga, dong? Jreeeng.

Gue sendiri merasakan logika itu. Berhubung di usia segini gue belum jadi "apa-apa", gue merasa "kegagalan" ini murni SALAH GUE SENDIRI: berarti gue kurang rajin, kurang tekun, kurang gesit, kurang taktis, kurang banting tulang. Gue nggak bisa nyalahin keberuntungan, birokrasi, atau diskriminasi, karena hal-hal tersebut sudah nggak bisa dijadikan alasan. Hanya diri gue sendiri.

Maka, prinsip "you make your own luck" nggak hanya indah, tapi juga sangat kejam. Kita jadi sangat terbebani untuk sukses, karena kita jadi meyakini bahwa kalau kita nggak sukses, berarti kita malas, bego, dan sebagainya. Dan inilah salah satu sumber anxiety masyarakat modern.

Dulu, di budaya Inggris abad pertengahan, seseorang yang hidupnya nggak sukses disebut sebagai "The Unfortunate" alias Si Sial. Di budaya Indonesia, hal ini juga ada. Misalnya, di kisah-kisah rakyat dulu, ada tokoh si Lebay Malang atau si Kabayan. Hidup mereka apes, bukan karena mereka malas atau bego, tapi ya karena mereka "malang" aja, alias sering sial.

Sekarang, di budaya Inggris-Amerika, seseorang yang hidupnya nggak sukses disebut apa, pemirsa? "Loser". Pecundang. Masyarakat menyimpulkan, karena hidup si X kayaknya susah terus, ya itu karena dia seorang pecundang. Malas, bodoh, jahat, dan sebagainya. Sekarang, orang nggak percaya lagi dengan faktor hoki, nasib, atau takdir.

Menurut Alain de Botton, inilah mengapa tingkat bunuh diri meningkat secara global, khususnya di masyarakat negara-negara meritokratik, yang membebaskan rakyatnya mengejar "kesuksesan" sepenuhnya dengan daya dan upaya masing-masing. Tingkat bundir ini meningkat, karena beban setiap individu untuk memastikan hidup mereka bermakna DAN sukses secara material terus meningkat gila-gilaan.

Dunia sekarang memang tanpa batas, tapi hidup tanpa batas ternyata bisa bikin gila.

18 comments:

Azelia Trifiana said...

whoa a deep thought! semoga kita eling dan terus berpijak pada bumi ya kak!

dela said...

Hahahaha.. kok aku jadi inget twit yang lagi rame malem kemaren sik... yg intinya gaji 30 juta per bln itu bisa diraih... kalo lo ga bisa, artinya lo pemalas! Giling, beban gak si... tingkat kemalasan atau keuletan lo didalam hidup dinilai dari berapa uwit yang lo dapatkan perbulannya. Gw masih susah payah aja sih membangun korelasinya.

Maya Rumi said...

ah seneng bacanya, jd motivasi lagi buat gw yang selalu ngerasa usia segini kok yang lain bisa punya ini itu tapi gw gak, tapi trs gw ((untungnya)) tetep positif thingking eh tapi dia gak punya yang gw punya juga, sambil terus menjaga kewarasan pikiran biar makin rajin berusaha juga

Jane Reggievia said...

JLEB! Bener banget dong, kalo kita gagal, kalo kita belom sukses, itu berarti kesalahan kita sendiri ya *mojok* what a nice perspective of success! Aku baru aja nulis tentang sukses di blog, tapi kok ini keren sekalii. Izin share ya, Mba Leii!

ryztn said...

Apalah daya ambo yang udah beres nonton 4 Season Narcos/Narcos:Mexico ajja sudah merasa Saksesss, Kak Lei? Huhu...

prin_theth said...

It's Alain de Botton's thought sih! Hahaha. He's a genious. Aamiin untuk doanya :D

prin_theth said...

Ih, exactlyyy.

prin_theth said...

Betuuul. Standar sukses, tuh, sangat-sangat-sangat relatif.

prin_theth said...

Hahaha, aduuh, aku jadi takut nge-klaim. This is all Alain de Botton's thought, yaaa, filsuf dan psikolog favoritkuu :D

Tapi - takutnya salah tangkep, ya - maksud dari Alain de Botton di sini adalah, prinsip "you determine your own success" sebenarnya bisa jadi toxic, membebani, dan jadi sumber anxiety. Perlu kita takar dengan baik, sesuai dengan kondisi masing-masing :D

prin_theth said...

Aku bisa nahan diri nggak julid di Detik Forum aja merasa sukses, kok :D SAY IT WITH ME: STANDAR SUKSES ITU RELATIIIIF! Takbiiiir...

Sandra Hamidah said...

Setuju kak, comparison is the thief of joy sih menurut saya. Saya kasian ama netizen iri dengki sama influencer karena mereka malas cuma jadi penonton kesuksesan orang lain

Shanti said...

maap nimbrung, tapi menahan kejulidan di ruang publik apalagi DF itu memang prestasi kak! Hahaha

Unknown said...

ih ini bener bener menyuarakan isi hati.. stress banget ya ngelihat banyak orang sukses sementara kita belum ada karya apa-apa. mungkin yang perlu ditelaah adalah standar sukses yang kita mau raih yaa..

kriww said...

jadi mbak Lei apakah kita harus membiarkan tommy suharto mengembalikan kegemilangan orde baru lengkap dengan degala tirani birokrasi agar kita bisa mengubah bunuh diri menjadi meratapi nasib dengan lagu dangdut gubug derita? hahaha...

prin_theth said...

Inti hidup ini 'kan memang selalu "pilih sendiri racunmu" :)

Fiola said...

Halo Mbak, Aaahh baru nemu blog ini lewat podcast Mbak. Suka banget deh denger Mbak Laila dan Mbak Dara! Akhirnya jadi pengen cari blognya, ternyata tulisan Mbak bagus2 banget kagum <3 Karena lagi mulai ngebangun blog sendiri, jadi seneng bacain blog orang2. And your blog definitely is my favorite!
Sekarang hidup di generasi galau yang serba instan jadi tantangan tersendiri... Via sosmed kita bisa instan lirik orang-orang lain, jadi sering ngerasa ampas, payah, dan gagal kalo sebelum umur 30 belum ngerasa berbuat sesuatu yang signifikan. Padahal banyak banget cerita kesuksesan orang-orang "late bloomer."
Thanks again for this refreshing article! Love how you re-write Botton's thoughts...

Pertiwi Utomo said...

huaaaaaa kok bener sih mba, emang ya kalo dipikir - pikir bisa stress sendiri, macam ngejar sesuatu yang gak akan ke kejar. capeeeeeee....

Nabila said...

Aaah suka sekali baca tulisan ini :")

Post a Comment