Sep 29, 2018

Aruna & Lidahnya yang Tidak Membawanya Kemana-Mana


Halo!

Tumben banget nih, gue nulis sebuah ulasan film! Apalagi—karena gue nggak sanggup jadi lucu kayak Teppy—gue mau nulis ulasan ini dengan serius. Uuuu. Padahal sebenarnya gue nggak suka, lho, nulis ulasan film, buku, apalagi musik.

Film yang akan gue ulas adalah Aruna & Lidahnya.

Alasannya bukan karena film ini istimewa buat gue. Bagi gue, film ini standar aja, sih—berkesan banget nggak, jelek banget nggak, bagus banget nggak. Gue juga nggak terlibat dalam produksinya.

Alasannya adalah karena baru-baru ini, gue baca artikel ulasan Aruna & Lidahnya di sebuah media ternama di Indonesia, trus menurut gue … gue bisa bikin lebih bagus, dah. SOMBOOONG :D Padahal tulisan gue juga masih level tulisan tabloid gratisan yang ujung nasibnya jadi bungkus gorengan gini.

All joking aside, strangely, I do have a lot of things to say about Aruna & Lidahnya after watching the film, and so here goes:

***

Aruna adalah seorang ahli wabah yang doyan makan. Ia bersahabat dengan Bono, seorang chef yang terkesan sinis dan judes, tapi sebenarnya caring. Sahabat mereka yang lain adalah Nadezhda yang cantik, kaya, seksual, classy, dan seorang kritikus kuliner. Jadi kalau mereka bertiga digabungkan, sudah pasti lambungnya lebar banget.

Namun Aruna nggak cuma bisa makan. Ia juga bisa menjalankan misi investigasi kasus flu burung yang tiba-tiba muncul dengan misterius di beberapa kota di Indonesia. Ia juga bisa jatuh cinta kepada mantan rekan kerjanya, Farish, satu-satunya tokoh utama dalam cerita ini yang nggak hobi makan.


Kira-kira begitulah plot Aruna & Lidahnya, sebuah film produksi Palari Films yang diangkat dari novel berjudul sama, karya Laksmi Pamuntjak.

Rasanya gue akan lebih afdol membahas film Aruna & Lidahnya, kalau sudah baca novelnya. Sayangnya, gue belum baca. Tepatnya, belum SELESAI baca. Pasalnya, gue nggak kuat menyelesaikan novel tersebut. Apakah karena novelnya berat ? Nggak, kok. Novel Aruna & Lidahnya malah cukup ringan, dengan genre metropop dan tokoh-tokoh urban yang seharusnya dekat dengan gue.

Masalahnya, ada hawa pretensius dalam novel Aruna & Lidahnya.

Plot Aruna & Lidahnya sebenarnya tipis, tapi Laksmi Pamuntjak berusaha “menebal-nebalkannya” dengan konflik flu burung, korupsi, dan puluhan deskripsi tentang makanan yang berusaha terkesan sophisticated, padahal sebenarnya Google-able. Alhasil, plot tentang konflik flu burung dan korupsi terasa bak tempelan aja, karena kurang tergarap. Bahkan—monmap sebesar-besarnya—walaupun judul karya ini adalah Aruna dan LIDAHNYA, tema kuliner dalam kisah ini pun terasa sebagai aksesoris belaka. Nanti gue jelasin alasannya lebih lanjut.

Konon, gaya penulisan Laksmi Pamuntjak terpengaruh oleh gayanya Goenawan Muhammad—as we all know why—yang menjunjung tinggi gaya bahasa. Bagi beberapa orang, sebuah novel itu yang penting plot atau jalan ceritanya. Bagi sebagian orang lain, yang penting permainan katanya, diksinya, dan metaforanya. Sialnya, gue termasuk ke dalam golongan pertama, sementara Mbak Laksmi dan Mas Gun termasuk ke dalam golongan ke dua. Ya nggak mecing, dong.

Alhasil, bagi gue, pace cerita novel Aruna & Lidahnya terasa lambuaaat, karena Laksmi Pamuntjak sepertinya keasyikan bermain dengan kata-kata. Lebih dari setengah novel ini terdiri dari deskripsi makanan dan latar belakang tokoh, sementara ceritanya sendiri nggak jelas mau bergerak kemana.

Bukan berarti novel deskriptif yang penuh dengan permainan kata-kata itu jelek, lho. Bisa aja oke dan memikat. Tapi sayangnya, alih-alih memberi “tekstur” kepada cerita, permainan kata-kata Laksmi malah menambah kesan pretensius novel ini.

Alhasil, gue nggak kuat menyelesaikannya.

Nah, ketika Palari Films memutuskan untuk mengangkat novel Aruna & Lidahnya jadi film, gue penasaran banget—gimana cara sutradara Edwin dan penulis naskah Titin Wattimena menerjemahkan novel yang berplot tipis namun penuh deskripsi ini menjadi naskah film?

***

Sebelum Aruna & Lidahnya selesai diproduksi, gue sempat ngobrol sama produser film ini, Edy, yang kebetulan sepupu gue sendiri (listen to our talk here!).

Dia bilang, Palari Films menyadari, kok, bahwa kekuatan novel Aruna & Lidahnya bukan terletak pada plotnya, sehingga Edwin berniat untuk membuat Aruna & Lidahnya sebagai film yang dialogue-driven, alias menitikberatkan pada dialog. Mungkin seperti film Before Sunrise? Jadi memang, dari awal, plot film ini nggak diharapkan jadi kuat, meskipun Palari Films akan “membongkar” plot novelnya, alias nggak akan adaptasi penuh.

Setelah film Aruna & Lidahnya selesai diproduksi dan akhirnya gue tonton, gue menyimpulkan bahwa film ini nggak problematis per se, tapi memang punya sebuah masalah utama.


Seperti novelnya, film Aruna & Lidahnya memang punya kebingungan identitas. Film ini tentang apa? Tentang persahabatan? Percintaan? Skandal korupsi? Atau kuliner? Film ini punya semuanya, tapi nggak menonjolkan satupun dari tema-tema tersebut. Porsi semua tema tersebut seimbang, and I’m not saying it in a good way, karena kalau kata orang bijak, “If everything is important, then nothing is important.”

Let me elaborate.

Film ini memang menceritakan persahabatan antara tiga orang teman, namun walau tokoh Aruna, Bono dan Nad dibawakan dengan asyik, persahabatan mereka kurang menyentuh hati. Film ini juga bercerita tentang skandal wabah, tapi kisah skandalnya nggak terasa intriguing atau bikin penasaran. Kisah cinta Aruna dan Farish lumayan menggemaskan, meski nggak bikin baper atau geli-geli perut seperti film Dilan 1990.


Oke, oke. Tapi, La, masa’ sih tema kuliner juga nggak menonjol dalam film ini?

Jangan salah. Aruna & Lidahnya memang berkisah tentang semi-petualangan kuliner tiga sahabat yang doyan makan. Tetapi apakah ini adalah film tentang makanan, alias food film? Ternyata bukan.

Bagi gue, sebuah film baru bisa dibilang film kuliner kalau makanan berperan penting dalam jalan ceritanya. Misalnya, dalam film Chocolat, perubahan di sebuah desa Prancis yang konservatif itu terjadi bukan hanya karena kedatangan Vienne Rocher yang bohemian, tetapi juga karena coklat buatannya yang magis. Dalam film Woman on Top, naik-turunnya kehidupan Isabella terjadi karena kehandalannya memasak, juga karena makanannya yang menjadi sesajen untuk Dewi Yemanja. Dalam film-film tersebut, makanan berperan besar dalam menggerakkan cerita, minimal menetapkan nuansa film.

Seandainya adegan mukbang rawon, campor lorjuk, mie kepiting Singkawang, choi pan, nasi goreng dan sebagainya itu dihapus, inti film Aruna & Lidahnya nggak akan berubah. Nggak tahu dalam novelnya, ya, tetapi dalam filmnya, makanan-makanan tersebut terkesan jadi aksesoris semata, karena nggak memberikan makna yang lebih dalam untuk filmnya, seperti yang gue sebut di awal tulisan ini.

And that’s why, I cannot call Aruna & Lidahnya as a culinary film.

***

Namun Palari Films harus bersyukur bahwa cerita Aruna & Lidahnya mengangkat elemen makanan, karena dengan begitu, Palari jadi gampang mempromosikan film ini. Bikin gimmick kuliner, tuh, gampang banget! Tim promosi bisa bikin acara makan-makan bersama para aktor, bikin cooking demo, bikin kedai pop-up yang menjual makanan-makanan yang tampil dalam film ini, bikin lomba masak, dan banyak lainnya. Apalagi makanan-makanan dalam Aruna & Lidahnya adalah masakan khas Indonesia yang “eksotik” di mata internasional. Wah, kalau film ini dibawa ke festival luar negeri, gampang, nih, bikin gimmick seputar hidangan “eksotik” tersebut.

Palari Films sudah melakukan berbagai promosi sejenis itu, dan of kors sah-sah aja. Namun akibatnya, penonton (baca: gue) bisa jadi salah duga tentang peran makanan dalam film Aruna & Lidahnya. Kirain perannya besar, ternyata kecil.


Hal lain yang menyelamatkan film Aruna & Lidahnya adalah para aktornya. Selain menjual gimmick seputar makan-makan, menjual nama besar Dian Sastrowardoyo, Nicolas Saputra, Hannah Al-Rashid, dan Oka Antara tentunya juga gampang banget.

Tetapi mereka nggak cuma jualan nama dan tampang kece, karena ekting empat aktor tersebut memang solid, terutama Dian Sastro. Harus diakui, Dian sudah bisa dikategorikan sebagai aktor kawakan dalam perfilman Indonesia, karena keahlian seni perannya. Baby girl can show her emotions with the slightest change of her facial lines! Magis! Seperti yang gue sering bilang, cuma ada dua aktris yang bisa ekting pakai gerakan alisnya: Natalie Portman dan Dian Sastro.

Mungkin peran Aruna nggak sulit untuk Dian, karena profil Aruna rasanya nggak jauh dari profil asli Dian—perempuan urban, usia 30an. Tetapi Dian sukses menampilkan Aruna sebagai sosok yang adorkable—adorable, but dorky. Manis, tapi nggak menonjol. Di novel, gue menangkap sosok Aruna seperti itu, dan Dian berhasil menerjemahkannya ke layar.

Tokoh Nad dan Farish juga oke-oke saja dibawakan oleh Hannah dan Oka, walau nggak setelak Dian. Namun yang mengejutkan adalah tokoh Bono.

Here’s a controversial opinion: bagi gue, vibe gay Bono terasa cukup kuat. Mungkin gue overanalysing atau mungkin gue punya bias terhadap Nicolas Saputra, tapi agak sulit menyangkal ke-gay-an Bono, ketika a) gaya fashion-nya cenderung meriah dan kontras dengan gayanya Farish, b) ekspresi naksirnya kepada Nad nggak kelihatan believable, hahaha.

I mean, Bono dan Nad pergi ke disko dangdut berduaan, mabok bareng, dan pulang ke kamar hotel bareng, lho. Mereka juga sering colongan rangkul dan pelukan, tapi nggak ada aura naksir, atau gestur anu-anu sama sekali. Padahal, Nad digambarkan sebagai perempuan yang sangat seksual. Kalau Bono dan Nad memproklamirkan diri sebagai sepasang sahabat, gue percaya banget. Tapi sebagai sepasang kekasih? Bhai.

Seandainya dalam naskah, tokoh Bono memang gay, maka sosok Bono dalam film ini brilian, karena ia menggambarkan gay kota besar pada umumnya dengan tepat—berprestasi, ambisius, judes, dan sangat subtil tentang orientasi seksualnya. Sayangnya, Bono digambarkan sebagai sosok straight, sehingga membuat gue nyeletuk, “Say what?”

***

Selesai nonton film ini, gue dan seorang teman sepakat bahwa Edwin bukanlah seorang penutur yang kuat. Analoginya, Edwin adalah seorang poet, tapi bukan storyteller. Edwin bisa membangun nuansa, tapi bukan cerita.

Jujur aja, gue belum pernah nonton film-film pendek Edwin, tetapi berdasarkan pengalaman nonton Posesif, terasa bahwa penuturan film-film Edwin, tuh… ngambang. After you left the theatre, you don’t feel one solid emotion. Selesai nonton Posesif, gue nggak tahu harus merasa apa. Sedih? Marah? Patah hati? Lega? Lebih-lebih selesai nonton Aruna. Gremet-gremet jatuh cinta? Hati hangat karena persahabatan? Terinspirasi pengen masak? Nggak tahu, ya. Kelihatannya Edwin memang nggak suka membuat kesimpulan, setipis apapun. Bahkan untuk adegan-adegan mimpi Aruna yang sangat simbolis, gue nggak bisa bikin kesimpulan.

Tetapi mungkin itu sebabnya Edwin merasa sreg dan keukeuh mem-film-kan novel Aruna & Lidahnya—ia merasa cocok dengan “ke-ngambang-an” ceritanya. It’s not everyone’s cup of tea, but of course, it’s nice to have such variety in our film industry. 

---

Listen to Kejar Paket Pintar's podcast about Aruna & Lidahnya the novel here, and Kejar Paket Pintar's talk with Palari Film's producer here, pre-Aruna-production. Atau cari aja di Spotify dah, yaak!

18 comments:

Sandra Hamidah said...

Hmmm belum baca dan nonton kak, tapi jadi penasaran sama akting mereka👏 tfs yaaa

Me said...

Baru baca beberapa lembar pertama aja udah males nerusin. Pas tau dibikin film lsg shock berat. Apa bagusnya tu novel ampe dipilemin??? Sampe kepikiran ni pasti emang guenya yg salah menilai. Hmmm....

Unknown said...

Ka, this is exactly what I felt after I watch the movie. Ngambang. Hangat engga, inspired engga, bingung harus ngerasa gimana. Thank you for writing this hehe.

prin_theth said...

Nggak segitu buruknya kali, Buuuu :) Saya masih bisa lihat pesona Aruna kok di versi film ataupun novel, meski memang it is not my cup of tea. Dan kalau kita lihat kecenderungan dan estetika Edwin, dipahami juga kenapa dia tertarik memfilmkan Aruna.

prin_theth said...

Oya, saya juga tetep merekomendasikan semua orang untuk nonton film Aruna & Lidahnya, to judge it for yourself, untuk bikin perbandingan sendiri, dan untuk menikmati visualnya. Juga untuk nambah referensi ttg film yang bukan story-driven. Selamat nonton!

Efi Fitriyyah said...

Review ini mewakili opiniku. Aku bingung sama arah film ini mau di bawa ke mana. Dan Yes, secara elemen fiom ga jelek, terutama akting mereka berempat. Aku lebih suka chemistry Dian-Nicholas Saputra di AADC dan okan Antara di serial Barata atau psychonya Hannah di fiom Buffalo Boys.

Jane Reggievia said...

Jujur aku lumayan suka sih dengan novelnya. Jarang banget aku bisa menyelesaikan novel seperti karyanya Laksmi Pamuntjak ini. Begitu lihat trailer filmnya, eh suka juga. Cuma setelah baca ulasan ini, jadi sedih karena tema kulinernya nggak begitu nonjol. Padahal aku kira bisa ala-ala film "Julie & Julia" gitu (kalo ini sih aku suka filmnya, novelnya malah big no no banget untukku pribadi). But still, bakal curi waktu di minggu ini untuk menilai langsung. Thank you, Mba Lei!

Anonymous said...

Untung blm kadung nekad bawa anak bayik 9 bulan nonton film ini, LOL. Udahlah nunggu di tipi ajuah.

-ndutyke

Nurul Dwi Larasati said...

Wahh kudu nonton nih. Apa Dian dan Nicho keluar dari zona nyaman AADC?

Heni Prasetyorini said...

jadi penasaran sama filmnya

wina said...

jadi penasaran sama bono, jadi dia bukan gay? tp masa sih ekting niko jelek? *aku belum nonton

prin_theth said...

Ekting Nicolas bagus! Natural banget. Tapi arahan naskahnya bikin gue bingung. Kalau arahan karakternya begini, IMHO tokoh ini cocoknya jadi gay. Jadi bukan karena ektingnya Nico. Semoga paham yaa :D

prin_theth said...

Nonton doong :)

prin_theth said...

Sama-sama Janee :D

Dheyanne Sanjaya said...

Aku udah baca bukunya 3 tahun lalu (udah lupa juga ceritanya) dan nonton filmnya barusan. Sebagian besar aku setuju sama Kak Lei, nih. Mulai dari ngabisin bukunya (eike berbulan-bulan baru kelar), sampe ke plot di film. Aku bingung sih kalo ditanya itu film kuliner apa bukan, karena ada selipan persahabatan, romance, dan korupsi yang kurang dikulitin dikit lagi gitu. Jadi kayak toserba gitu, ada semua tapi nggak banyak jumlah & pilihannya. Eiya, trus Nad nya ternyata ngga se-bitchy yang aku bayangin kalo pas baca bukunya hahaa.

But overall, filmnya menarik dan ngga se-"berat" novelnya. Karena buat aku pribadi, novelnya cukup beraaat diksi & metaforanya hahaha

t.w. said...

Setelah bertahun-tahun baca blog ini, baru kali ini gatel mau komen, Lei. Kenalan dulu yaa, gw Tiwi.
Apa yang gw rasain pas abis nonton (gak sampe abis juga sih... keluar tengah-tengah karena lumayan bosen dan nonton sendiri), kesimpulannya satu. Dian Sastro dan gestures-nya yang berhasil nyelametin film ini sih... terutama gerakan alis dan bola matanya. Haduh... kalo nggak ada gerakan-gerakan itu, mungkin tambah datar lagi ini film. Tapi beberapa scene kulinernya berhasil juga bikin muji-muji karena cara pengambilan gambarnya sukses bikin ngiler parah... (apa karena nontonnya sebelum maksi ?)...

Kapan-kapan komen lagi lah yaa...

Anonymous said...

I agree with the 'pretentious' part.
Aku baca tahun 2014, nggak kuat ngabisinnya. Filmnya, ya well, I may say, lebih baik dari bufunfa sih, hahahha
menghibur karena terbantu aktor2nya, meskipun penyutradaraanya berarakan...

duniamasak said...

aku udah pernah nonton dan pengen nonton lagi, udah bisa secara legal menyaksikan di GoPlay nih :D asiiiiik

Post a Comment