Jun 8, 2018

JJS Singapura yang Nggak Biasa: Pura-Pura Jadi Mahasiswa


Tau film Never Been Kissed (1999) nggak? Rom-com itu bercerita tentang seorang jurnalis, Josie (Drew Barrymore), yang harus liputan undercover jadi anak SMA.

Salah satu khayalan gue sejak lama adalah jadi Josie. Gue pengen banget nyusup masuk ke almamater SMA atau kampus gue, trus pura-pura jadi pelajar untuk sementara waktu. Kenapa?

Alasan pertama,

Gue pengen balik ke SMA karena gue cinta banget sama masa SMA gue. Serunya minta ampun, dan kayaknya segala jenis kebandelan pertama kali gue jalani pas SMA itu. Gue selalu nyaris nggak naik kelas, nyaris di-skors, dan nyaris di-DO. Untung masih bisa jadi sarjana macem si Doel.

Gue nggak pernah menyesali segala kebandelan SMA gue, karena seiring dengan pengalaman bandel, banyak juga pelajaran dan life skills berharga yang gue dapatkan. Ihiiiy.

Gue pengen balik ke masa kuliah karena alasan sebaliknya. Pas kuliah, gue merasa cupu, tertutup, dan nggak mengeksplor potensi gue, padahal kampus sudah menyediakan segala sarananya. Makanya gue pengen banget balik lagi jadi mahasiswa, giat belajar, aktif berteman, daftar jadi ketua BEM, ketua Senat, ketua klub, pokoknya semua ketua kecuali ketua adat.

Alasan kedua,

I don’t believe I’m a good student. Sebagai siswi/mahasiswi, prestasi akademis maupun non-akademis gue biasa banget. Nggak ada istimewanya sama sekali. Maka sedikit orang tau bahwa sebenarnya I love learning a lot.

Sistem pendidikan membuat kita selalu dinilai lewat ujian dan PR. Nah, gue nggak istimewa dalam menghadapi hal-hal tersebut, maka gue nggak punya catatan yang menjustifikasi bahwa gue suka belajar, but I actually do. Gue selalu merasakan orgasme kecil tiap gue mempelajari hal baru, mengetahui fakta baru, ditantang pemikirannya, menganalisa sesuatu dengan kritis… man, it makes me feel alive!

Pembukaannya banyak cingcong, ya, Mbak? Eym. Maka mari kita langsung ke intinya.

***

Beberapa bulan lalu, gue dan T pergi ke Singapura sekejap saja, untuk medical check-up. Di hari terakhir, kami punya waktu lowong lumayan panjang, karena pesawat kami sore. Dengan sigap dan tanpa keraguan, T langsung menyorongkan agenda untuk mengisi kelowongan waktu tersebut (mungkin dia khawatir gue keburu menyorongkan agenda belanja di Orchard),

Agendanya yaituuu…

“Main ke NUS, yuk!”

NUS alias National University of Singapore adalah almamater T, dan kata T, masa-masa berkuliah di NUS adalah masa-masa terindah dalam hidupnya. Bukan karena dia mahasiswa beasiswa teladan, tapi karena hari-hari kuliahnya cuma diisi sama main basket/sepakbola/tenis/PlayStation, ketawa-ketawa, nongkrong, dan tentunya pacaran. Ringan dan hepi banget. Perlu dicatat, T menetap di asrama campur, yang tentu saja kagak ada satpam moralnya. Pacar mau nginep 3 hari 3 malam di kamarnya T pun nggak akan ada yang gedor. Pantesan hepi!

Trus, salah satu hal yang bikin T selalu terkenang-kenang dengan masa kuliahnya adalah karena dulu dia adalah bintang olahraga kampus. Ngakunya, sih, pernah jadi kapten berbagai tim kampus sekaligus atlet andalan perwakilan universitas.

Gue percaya aja, meski nggak pernah lihat buktinya, bahkan suka lupa dese kapten tim cabang olahraga apa. Jangan-jangan cabor lari dari kenyataan atau lempar lembing sembunyi tangan.

Dengan segala hura-huranya, adalah sebuah misteri kenapa dese bisa bertahan di NUS, nggak diputus beasiswanya, atau di-DO. Kita syukuri saja, ya.

Kembali ke intinya—T bahagia banget selama jadi mahasiswa di NUS, dan tentunya dia merasa NUS adalah kampus terbaique sejagad raya ini. Sudah lamaaaaa dia pengen ngajakin gue main ke NUS, dan kini tibalah saatnya.

Malam hari sebelum kami menyambangi NUS, T punya ide. Alih-alih sekedar halan-halan keliling kampus, T mengusulkan kami nyusup masuk kelas di sana. Eh, horeee! Tentunya gue senang, karena seperti yang gue bilang sebelumnya, gue sudah lama kepengen jadi seperti Josie di Never Been Kissed, yaitu kembali jadi pelajar, walaupun cuma secuplik.

Iya, NUS bukan almamater gue, sehingga gue nggak punya kenangan apapun dengan NUS. But I love learning, wherever it takes place. Gue senang duduk di kelas untuk menyerap ilmu baru, maka sit-in dalam perkuliahan adalah ide bajus, Papa T!

Persyaratan dari gue ke T adalah, jangan bawa w ke fakultas almamaternya—Engineering alias Teknik. Sebagai manusia yang gebleknya setengah mati dalam ilmu eksakta, gue bisa isded kalau harus ngikutin perkuliahan teknik. Maka kami memutuskan untuk menyusup ke zona nyaman gue: Faculty of Arts and Social Sciences, yang lokasinya kebetulan bersebrangan dengan Faculty of Engineering.

T bilang, kalau mau sit-in, kami harus cari kelas yang berlokasi di Lecture Theatre alias LT. Pasalnya, kelas LT berukuran besar—semacam kuliah umum gitu, deh—sehingga dosen nggak akan ngecek mahasiswanya satu-satu.

Pas gue cek ke situs NUS, ternyata ada lima puluh LT di Faculty of Arts and Social Sciences, dan kuliah yang akan berlangsung besok pagi pun lumayan banyak. Mungkin sekitar 20an. Jadi aman, lah. Banyak pilihan kalau mau ucluk-ucluk nyusup. Bismillah!

Pagi

Sekitar jam 10 pagi, kami tiba di NUS, di daerah Clementi/Kent Ridge. Tampilan gue udah dibuat selusuh dan semahasiswa mungkin: pake kaos, sneakers, muka berminyak dengan ekspresi ngantuk bin laper. Sayangnya, T nggak bisa lepas dari penampilan om-omnya: celana bahan, dan kaos berkerah yang agak ketat di bagian perut gara-gara buncit khas pria paruh bayanya. Yasudlah!

Kesan pertama gue terhadap NUS adalah: wah, gede banget ya, Ndro. Lanskap universitas ini memang rasanya nggak selapang almamater gue, Universitas Indonesia Depok, tapi kalau ditelusuri, areanya sebenarnya luas sekali. Gedung-gedungnya pun megaaah. Mereka punya bis internal, seperti bis kuningnya UI, maka bisa diasumsikan area universitasnya memang geda.


Sesuai rencana, kami turun di Faculty of Arts and Social Sciences, dan T langsung nanya ke sekelompok mahasiswa yang sedang nongkrong di aula utama, dimanakah lokasi LT terdekat. Karena pada dasarnya T doyan ngobrol ringan sama strangers, mereka malah jadi semi-ikrib, sampai T jujur cerita bahwa dia adalah alumni NUS era dinosaurus, dan sekarang lagi mau nyusup sit-in di salah satu kelas.

Gue nggak tau dedek-dedek mahasiswa tersebut terharu karena T segitu cintanya sama NUS walaupun setelah sekian abad, atau malah takut karena kampus mereka mau disusup om-om. Yang penting, mereka cukup informatif ngasitau lokasi-lokasi LT yang ternyata sangat menyebar. Ma’acih, adeek...

Setelah nemu LT terdekat, kami langsung cusss… menyusup. Hamdalah LTnya gede…. etapi kopong, shay! Mahasiswanya cuma sedikit yang masuk. Duh, akankah kami ditunjuk dan disuruh jawab pertanyaan dosen? Ditanya nama dan nomor mahasiswanya? Brb, ngompol.

Untungnya, gue tipe orang yang masih hobi bawa-bawa notebook dan alat tulis. Maka gue dan T pun berakting jadi mahasiswa bermodalkan notes lecek, plus bolpen semi-kering. Kami sok-sok nyatet sambil nunduk, supaya mata nggak bersibobrok dengan mata dosen.

Tentunya hal ini sangat kontras dengan rekan-rekan mahasiswa lain yang pada bawa laptop. Zaman sekarang, keknya emang nggak ada mahasiswa yang masih mencatat di hape, motretin slideshow dosen pake hape, apalagi mencatat manual. Instead, semua pada bukan laptop. Para dosen pun sudah ngasih materi digital perkuliahan masing-masing beberapa hari sebelumnya. Maka mau nggak mau, mahasiswa kudu buka laptop. Trus, sambil mendengarkan perkuliahan, semua juga pada buka Facebook, WhatsApp web, email, atau lowongan kerjaan / volunteering. Sibuq nged nih, dedek-dedek!


Sebagai seorang tante-tante yang beda generasi, ternyata gue agak norak dan kagum dengan hal ini.

Trus, gimana dengan materi kuliahnya, La? Seperti yang diharapkan nggak? Nggak.

Jadi, setelah lima belas menit sok konsen, gue baru tersadar, kok materi kuliahnya basic banget?

Nah, gue sekarang mau reflecting momen-sok-tua gue.

Kalau nggak salah, kelas yang kami susupi ini adalah kelas tentang kemasyarakatan. Selama perkuliahan, sang dosen banyak bicara tentang unsur-unsur hidup bermasyarakat, seperti sistem ekonomi dan politik. Tapi teori dan contoh kasus yang diberikan, kok, ya biasak banget.

Misalnya: “Coba sekarang-sekarang ini kalian telpon customer service,” kata si dosen tentang outsourcing. “Zaman sekarang, kalau kalian telpon CS perusahaan Amerika di Eropa, yang angkat telpon bisa jadi tenaga kerja CS di Pune, lho.”

Semua orang juga udah tauk kalek, Pak Doseeen…. kok nggak seru, sih? Etapi trus gue tersadar sambil terhenyak (lebaaai…). Bagi gue, hal-hal yang dibicarakan Pak Dosen nggak istimewa bukan karena gue pintar nan berwawasan, tapi karena gue wis tuwak. Of course, naturally, I would know more stuff than most 19 year olds. Jangan lupa, yang sedang kususupi adalah kelas dasar perkuliahan S1. Yassalaaam…. Kalau kata TayTay, I don’t know about you, but I’m feeling 72.

But still, gue semangat bisa “kuliah” lagi. Sampe-sampe gue nyatet serius, lho. T heran, kenapa gue harus nyatet materi kuliah basic ini, yang sebenarnya bisa gue temukan dalam lima menit di Wikipedia. Ih, suka-suka, dong.

Tapi karena dese melihat gue hepi, akhirnya T punya ide agar hari itu kami menyusup ke sebanyak-banyaknya kelas. Eh, hore!

Maka dari kelas garing tersebut, kami menclok ke sebuah kelas lain. Dosennya engkoh-engkoh Cina, tampak galak, tapi ternyata suka ngelawak. Seperti di kelas sebelumnya, gue nggak tau mata kuliah apa yang beliau bawakan, tapi do’i bicara soal statistik keluarga, perceraian, dan soal homoseksulitas yang ditentang oleh pemerintah Singapura karena beberapa alasan. Nggak ketebak, ini mata kuliah apaan. Satu hal yang pasti… mahasiswanya sama aja kek kelas sebelumnya: konsennya pada pura-pura. Kelihatannya sibuk ketik-ketik di laptop masing-masing, padahal pada ngoprek sosmed dan email. Siapa bilang kuliah di NUS kaku kayak triplek? Hihihi.

Setelah kelas tersebut bubar, hawa laper mulai tak tertahankan, maka melipir lah gue dan T ke kantin.

Siang

Ternyata, kantin fakultas Arts and Social Science NUS mirip banget sama kantin FIB UI, alias kantin almamater gue. Sama-sama berbentuk lingkaran, dengan hawa sumuk yang familiar. Layout-nya juga serupa tapi tak sama. Bedanya, kantin sastra atapnya terpal, sementara kantin NUS atapnya beton.

Stalls kantin NUS juga lebih rapih, dengan partisi-partisi permanen. Menu makanannya ala-ala hawker center, mulai dari makanan Asia sampai Barat, seperti Chicken Rice, laksa, ramen, makanan India, de es be. Harganya? Harga mahasiswa, dong. Makanan termurah yang gue temukan adalah makanan vegetarian yang seporsinya nggak nyampe sedolar. Apaaaa?! Di tanah Singaparna ini, gue nggak pernah, lho, menemukan makanan yang harganya sen-sen-an! Jangan-jangan isinya cuma kuah bekas rebusan sawi dengan tiga helai bawang goreng, ya.

Kenyang makan, gue dan T kembali menjelajah kelas-kelas LT. Lalu terdamparlah kami di sebuah kelas yang gue yakini banget sebagai kelas Ekonomi. At least, berdasarkan catatan jadwal LT gue, sih, ini kelas Ekonomi.

Tapi pas kami baru masuk, dosennya kok ngebahas soal gen-gen seksual dalam mamalia? Soal industri prostitusi? Soal kecenderungan orang Asia vs orang Barat dalam memilih pasangan hidup? SERU BANGET! Ditambah, dosennya adalah seorang bule Caucasian yang enerjik, berapi-api, dinamis, dan—walau sepanjang kelas nggak berhenti tarik urat—sukses meng-engage seluruh isi LT yang penuh tersebut. Kalau ini benar adalah kelas Ekonomi, mau banget gue daftar jadi mahasiswa Ekonomi.



Ternyata, setelah bisik-bisik tetangga—alias nanya ke mahasiswa sebelah gue—ini adalah kelas tentang LOVE. Vaww! Spontan mata gue berasa ada emoji gambar hati-nya.

Sewaktu gue masih jadi mahasiswa fakultas budaya, banyak orang memandang remeh kelas-kelas yang gue ambil. Kelas-kelas tersebut dianggap nggak mangfaat. Bedah sastra anak? Buat apa? Hah, ambil kelas Feminisme? Nanti jadi perawan tua, lho. Apalagi pas jaman gue kuliah dulu, lingkungan gue jauh, jauh, jauuuh lebih nggak kalcer daripada sekarang.

Kalau misalnya ada mata kuliah bertema “cinta dan hubungan” di kampus Indonesia, sudah pasti matkul tersebut dianggap sangat nirfaedah. Ngapain, sih, ngomongin the science of love and sex? Emangnya ilmu tentang cinta bisa jadi duit pas kita udah jadi sarjana?

Tapi berhubung gue selalu haus dengan ilmu kebudayaan dan kemanusiaan, gue nggak cemas apakah ilmu yang gue serap kemudian bisa jadi kemampuan praktis apa nggak, trus jadi sumber duit apa nggak. Entah ini ciri budayawan, apa ciri privileged little rich girl, yaaa...

Maka ketika gue menemukan kelas bertema “cinta” begini, sudah pasti mataku berbinar-binar. Terbukti, materi kuliahnya seru!


Misalnya, nih. Salah satu materi kuliahnya adalah teori Positive Externalities, dengan contoh kasus penyebaran penyakit seksual, alias Sexually Transmitted Disease (STD).

Kalau kata Google, Positive Externalities is a benefit that is enjoyed by a third-party as a result of an economic transaction. Third-parties include any individual, organisation, property owner, or resource that is indirectly affected.

Contoh kasus Positive Externalities yang diberikan oleh si dosen: untuk mengurangi penyebaran STD, orang-orang konservatif harus lebih banyak terlibat dalam pasar seks (the market for sex). Kenapa?

Kalau orang-orang konservatif (yang nggak sexually active) nggak terlibat dalam pasar seks, maka pasar seks akan didominasi oleh orang-orang promiscuous (yang sexually active). Karena orang-orang promiscuous lebih aktif secara seksual, maka STD akan lebih luas menyebar kalau pasar seks isinya hanya mereka.

Jika orang-orang konservatif memasuki pasar seks, maka kompetisi dalam pasar pasar seks akan meningkat. Jatah pasangan seks orang-orang promiscuous jadi menipis, karena harus “dibagi” dengan orang-orang konservatif yang memasuki pasar seks tersebut.

Kalau orang-orang konservatif akhirnya kena STD, mereka nggak akan menyebarkan STD dengan lebih luas, karena mereka nggak ada kebiasaan ngesek kanan-kiri. Therefore, STD would be contained. Hal sebaliknya akan terjadi, kalau orang promiscuous kena STD. Mereka cenderung akan menyebarkan STD tersebut, karena mereka sexually active.

Kesimpulannya, dengan memasuki pasar seks, orang-orang konservatif akan mencegah STD menyebar secara lebih luas, ketimbang kalau pasar seks didominasi oleh orang-orang promiscuous. Kalau orang-orang konservatif memasuki pasar seks, masyarakat akan merasakan dampak positifnya. Itulah Positive Externalities.

Menarik bukaaaan?

Menjelang Sore

Selesai dari kelas tersebut, hari sudah makin siang, dan kami harus siap-siap pulang. Maka, it’s shopping time!

T bilang, koperasi NUS menjual berbagai merchandise NUS yang oke. Bisa bikin bangga bak pake kaos Harvard atau UCLA, lah. Dan memang, merchandise NUS cukup mumpuni. Sportswear-nya banyak yang hasil kolaborasi dengan Adidas (sebenarnya baju Adidas kelas FO ditempelin label NUS aja, sih...), dengan bahan yang nyaman dan model yang variatif. Koleksi stationary-nya juga oke. Bisa, lah, beli notebook dengan grafir NUS di sampulnya, trus dibawa-bawa untuk dioret-oret di kafe supaya dikira alumnus NUS. Padahal isinya, sih, curhatan cinta.

Gue sendiri beli dua helai baju buat olahraga, yang ketika gue pakai, bikin T komen “Suit suiwww… kayak cewek-cewek track team NUS, deh.” Ciyeee. Biar kata udah turun mesin karena beranak, hamdalah Tante masih lolos dikira mahasiswa, meski ini menurut suami sendiri, zzzz.

Selesai bebelian, T menyeret gue ke sebuah tempat di NUS yang kenangannya paling kuat bagi do’i, yaitu bekas asramanya. Katanya, sih, asrama tersebut merupakan saksi sejarah bab hidupnya yang paling menyenangkan (pesan tidak langsungnya: bab hidup T yang paling menyenangkan bukanlah gue. Makasih, lho.)

Untuk mencapai komplek asrama tersebut, kami harus melintasi Fakultas Teknik yang bersebrangan dengan Arts & Social Science Faculty. Selama di fakultas teknik ini, T semangat banget nunjuk-nunjukkin gue ini itu, mulai dari kantin sampai lab praktikum. Tentunya dia bias, merasa bahwa Fakultas Teknik adalah fakultas terbaik di NUS. Tapi berhubung gue antipati sama segala hal yang berbau eksakta, maka bias gue sebaliknya.

T: “Nah, yang itu lab praktikum… kalau aku biasanya bikin tugas di bangku-bangku ini. Asik, ya?”

L: “It smells like tears, death, and broken dreams here.”

T: …….

Di NUS, asrama mahasiswa ada banyak, dan masing-masing disebut sebagai “hall”. Sistem hall mirip dengan sistem house di dormitory kampus Inggris. Ala-ala Harry Potter gitu, dimana ada house Gryffindor, Slytherin, Hufflepuff dan Ravenclaw yang punya semboyan, aturan, ciri khas, ketua, dan common facilities masing-masing.


Asrama T adalah Raffles Hall, yang lagi-lagi dia klaim sebagai hall paling seru di NUS (ni orang banyak bener bangganya, dah). Raffles Hall adalah asrama tua, dan penampakannya nggak jauh beda dengan asrama mahasiswa di UI Depok. Nggak ada fasilitas mewah atau high-tech. Semua biasa aja. Gedungnya dua tingkat, berdinding bata merah, dan lorong-lorongnya dipenuhi dengan jemuran setengah basah beraroma deterjen murah. Di setiap jendela dan pintu kamar, ditempel berbagai macam hal mulai dari foto-foto, hiasan nama si pemilik kamar, pesan-pesan dari tetangga, serta berbagai pengingat jadwal kuliah dan ekskul, khas mahasiswa. 


Rafles Hall berbentuk segi empat, dan di tengah segi empat ini ada lapangan semen yang cukup mumpuni untuk berbagai field sports—futsal, basket, dan voli. Kata T, 60% waktu kuliahnya habis di lapangan tersebut. 20%-nya habis di lapangan kampus, dan 20%-nya buat pacaran di kamar. Bhaique.



Raffles Hall punya common room yang cukup besar untuk makan, kongkow, serta melakukan common activity dan hal-hal administratif. Di common room ini, ada sebuah plakat besar bergrafir nama-nama para ketua Raffles Hall dari tahun ke tahun. W agak trenyuh ugha sewaktu T bengong agak lama di depan plakat tersebut, memandangi nama-nama yang tergrafir disitu dan membaca semboyan Raffles Hall, seakan-akan sedang kesedot mesin waktu balik ke tahun ______ (kata T tahunnya harus disensor karena malu. Hint: it was the Spice Girls era).



It WAS the best time of your life ya, T? Hey, maybe one day, Raya’s name would be on that placket.  Aamiin.


Selesai lihat-lihat Raffles Hall, waktu sudah menunjukkan pukul harus-buru-buru-ke-bandara-ngejar-pesawat. So off we went!

***

Secara keseluruhan, gue senang banget bisa nyicipin sebuah sisi dari Singapura yang belum pernah gue jelajahi sebelumnya, yaitu sisi kehidupan pelajar salah satu universitas terbaik di Asia. Gue juga senang bisa pura-pura jadi mahasiswa selama beberapa jam, serta menyerap seciplik-dua ciplik ilmu humaniora yang dulu nggak gue dapatkan. Apalagi tempat ini punya backstory yang kuat dan personal dari T, serta bukan tempat komersil. Oh, Singapore, why do you always have to suck out my money so badly?

Berikutnya: nostalgia kuliah versi gue? UI Depok, here I come?

(image: Laila A., Campus Eye NUS)

6 comments:

Yusiesisy.com said...

Akhirnyaa ada post terbaruuu.. dan aku sukaaa bgtttt.. brasa ikutan..

Jane Reggievia said...

Eh kok seru sih pengalaman kayak gini!

To be honest, kalo dikasih kesempatan buat balik lagi ke masa kuliah dulu, aku mau banget lho. Ikut kelas kayak gini seru juga sih, tapi lebih kepengen aktif di organisasi atau acara kampus atau lebih bersosialisasi daripada maraton K-drama di kamar asrama, karena dulu kedua hal itu yang jarang aku lakukan. Padahal kuliahnya di LN, sayang banget rasanya nggak dinikmati secara maksimal. Apakah ini artinya aku ambil S2 aja? *terus anak di rumah piyeeee*

Ditunggu bangetttt edisi balik kampus berikutnya!

Sandra Hamidah said...

Emang kak aku juga kepikiran pengen pake baju SMA atau ambil kuliah seni dan design🤗

Azelia Trifiana said...

aku juga dulu jaman kuliah di Surabaya, tiap Januari ikutan kelas HI di UI Depok. Seru ceuuuu hepi meski cuma gitu doang dan bersambung ke makan siang di kantin!

Izna Amalia said...

Aku pengen deh ikutan nyusup di kelas-kelas teknik advance di ITB, nyari dedek-dedek.

doena said...

wow , NUS itu uni terbaik se Asia, peringakat 22 sedunia.

Post a Comment