Dec 5, 2017

Soal Rendahnya Rasa Percaya Diri


Tahukah Anda, bahwa gue nggak nyaman disebut sebagai seorang "blogger"?

Setiap kali ada orang yang menyebut gue sebagai "blogger" atau memperkenalkan diri gue sebagai "blogger", gue merasa malu. Gue bakal nyengir-nyengir nggak nyaman sembari nyari pot tanaman di pojokan untuk ngumpet.

Padahal nggak ada yang salah dengan istilah "blogger". Apakah gue nge-blog? Iya. Suka? Suka dong. Sudah lama nge-blog? Lama banget. Tapi apakah berarti gue seorang blogger? Gue nggak merasa demikian.

Gue selalu punya standar tinggi untuk setiap titel yang dipanggul seseorang. Misalnya, kalau seseorang menyebut dirinya sebagai fashion influencer, maka gue mengharapkan dia punya wawasan yang luas dan tajam tentang industri fashion, sehingga kemampuannya nggak cuma sebatas OOTD, nge-endorse, serta bisa kasih komen yang lebih substansial daripada, “Waah, parah nih, gemes bangeeet…” terhadap suatu koleksi (bukankah begitu, Social Symptoms?).

Gue sendiri merasa belum mencapai standar-standar tertentu sebagai seorang blogger, sehingga merasa belum layak menyandang titel tersebut. Gue baru merasa layak dipanggil blogger kalau gue a) bisa lebih rutin nge-post, b) mendapat penghasilan dari blogging, c) mendapat pengakuan melalui kolaborasi dengan venture lain, d) memicu / menciptakan suatu pergerakan / mahzab, a la Alain de Botton. Wow, ambi!

Intinya, gue merasa belum accomplished sebagai seorang blogger. Jauh. Sehingga kalau ada yang menyebut gue sebagai "blogger", gue bakal mesem-mesem grogi.

Tapi—kata seorang teman gue—ketidaknyamanan gue disebut sebagai "blogger" bukan cuma karena gue punya standar tinggi, tapi juga karena kepercayaan diri gue rendah banget. Poin kedua tersebut valid banget.

Here’s an ironic thing about low self-esteem: kepercayaan diri yang rendah seringkali menjangkiti orang yang sama sekali nggak kelihatan nggak pedean.

Contohnya, Leandra Medine. Leandra ‘kan orangnya gokil-gokil ngehe gitu, ya. Masa, sih, dia nggak pedean? Well, she is, lho. Seenggaknya, itu yang berulangkali dia nyatakan di wawancaranya dengan Sophia Amarusso, dan gue percaya. The funniest people are usually the most vulnerable, terutama orang-orang yang ngelucu lewat tulisan. Tulisan menjadi topeng mereka untuk bersembunyi.

Contoh lainnya, gue. Bagi orang-orang yang cuma kenal gue lewat media sosial atau medium tulisan, biasanya nggak percaya kalau gue bilang gue orangnya suka krisis pede. Apalagi aktivitas gue bertolak belakang dengan pernyataan tersebut. Hobinya goyang hobah dan nulis tentang hal-hal saru—seperti tokai—kok ngaku-ngaku nggak percaya diri? Tepu, ih.

Padahal sebenarnya "berani tampil" itu beda sekali dengan "percaya diri".

Mungkin di depan publik, gue berani nari, berdiskusi tentang hal-hal saru, atau ketawa ngakak tanpa kesantunan. Tapi apakah gue sudah secure dengan identitas, kekuatan dan kelemahan gue? Nggak, tuh, seus. As told previously, gue bahkan gamang beuneur dengan identitas gue sebagai so-called blogger, padahal gue udah blogging selama bertahun-tahun, nyaris tanpa jeda.

***

Pada suatu hari, sekitar sebulan lalu, gue terserang krisis pede yang cukup parah.

Penyebab krisis pede 'kan macam-macam ya. Bisa krisis pede gara-gara penampilan, gara-gara tekanan sosial, gara-gara lupa pakai Rexona (krik krik), dan sebagainya. Nah, krisis pede gue yang kemarin ini menyangkut soal pekerjaan dan achievement. Gue merasa, di usia yang sudah segini tuaknya, I achieved nothing I want. Nothing. Bahkan dalam bidang tulis-menulis pun—bidang andalan gue—gue nggak punya prestasi yang dibanggakan.

Di satu sisi, mungkin orang akan berkomentar bahwa gue nggak bersyukur. Mereka akan bilang, "Of course, you have achieved something lah, Laila!" Tapi di sisi lain, keambisiusan setengah-Virgo gue selalu menekan diri gue untuk jangan pernah puas. Never ever.

Btw, gue nggak "kena" ya dihibur-hibur dengan kalimat-kalimat seperti, "Elo ‘kan seorang ibu, La. Elo sudah berjasa membesarkan seorang insan manusia blablabla… Kalau mau mengubah dunia, elo ‘kan bisa mengubahnya dari rumah sendiri… Tulisan lo juga pernah menginspirasi anu ina inu…"

Monmap, nggak kena, shay. We all know I could do better than this. I am a mother, and that’s great, yes. But I’m a substandard mom, at best. And there are mothers who are also rocket scientists, lho.

Trus, okehlah, I might have inspired some people with my writings. Tapi sejujurnya, hati ini kurang kena dihibur dengan "pencapaian-pencapaian" yang nggak ada tolak ukurnya begitu.

Gue sering memperhatikan orang-orang seusia gue yang pencapaiannya sudah luar biasa, baik dari sisi profesional maupun personal. Semakin lama gue memperhatikan mereka, semakin gue frustrasi. Why am I still here? Gue bisa, lho, melakukan lebih banyak hal daripada sekedar jadi SAHM substandar yang kadang menulis lepas. Why have I always been so underachieving? Why did I always quit before I achieved anything substantial? Padahal dari dulu, gue punya segala akses yang dibutuhkan untuk mencapai apa yang dicapai oleh orang-orang tersebut, mulai dari edukasi, uang, kesempatan, sampai kemampuan otak.

Apakah gue sebegitu malasnya? (jawab: iya). Why didn’t my parents pushed me? Kenapa dulu nyokap hanya mengarahkan gue untuk menikah dan beranak pinak? (mulai, deh, nyalahin orang lain!)

***

Sampai sini, mungkin lo mengira bahwa inti tulisan ini adalah pity party untuk diri gue sendiri, ya. Not really. It’s actually about you guys, too!

Saat lagi krisis pede begitu, gue nge-post soal kegalauan gue tersebut di Instastory. Dengan latar belakang video yang sok artistik (padahal alay), gue menuliskan pertanyaan-pertanyaan seperti, "Have you every felt so very useless, underachieving, uninspiring, and untalented?"

Tanpa gue sangka, banyak orang merespon post tersebut lewat direct message, dan nada responnya rata-rata sama semua: menjawab "ya, pernah" atau "Sering" atau "Selalu".

Gue cukup kaget. Berdasarkan telaah gue atas respon-respon tersebut, ternyata problem krisis percaya diri mayan banyak menjangkiti orang-orang di sekitar gue. Krisis pedenya juga kayaknya cukup mengakar, bukan sekedar iri-iri kecil terhadap kehidupan orang lain.

Ada beberapa orang yang sudah tahu sumber krisis pede mereka ("Instagram, Mbak, dan segala kesempurnaan semu yang dihadirkan para selebgram.") sehingga langsung tahu cara mengatasinya ("Detox sosmed aja dulu, Mbak."), ada yang belum tahu.

Ada yang sudah tahu, tapi belum bisa bertindak apa-apa untuk mengatasinya. Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang memang belum punya pilihan untuk melakukan hal lain selain ngurus anak dan rumah. Wajar, dong, stres ngeliat pencapaian dahsyat ibu-ibu lain? Mau cari solusi, tapi solusi ‘kan nggak selalu gampang didapat. Misalnya, nggak semua orang bisa (atau pengen) bikin startup, lho.

Walaupun kaget dan sedih karena krisis pede ternyata lumayan banyak menjangkiti orang-orang di sekitar gue, gue juga trenyuh atas respon-respon mereka.

Salah satu respon favorit gue datang dari teman gue, Rizki. Dia bilang, "Iya, gue sering banget merasa useless dengan pencapaian gue sekarang. Apa yang gue lakukan? Gue mengurung diri di kamar seharian, makan-makan sampe gumoh, mewek dikit, pokoknya mengasihani diri gue total. Tapi keesokan harinya gue bangkit dan bekerja dengan lebih gila lagi."

Gue juga cinta sama respon dari Gita, yang bilang, "Kalau kata kepala sekolah anak-anakku, ‘Setiap bangun pagi, fokus menjadi orang yang lebih baik daripada kita kemarin, BUKAN lebih baik dari orang lain.'"

Respon lain yang banyak masuk ke kotak DM gue adalah masukan untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain.

Nasihat tersebut betul sekali. Masalahnya, sejak jaman dulu, membandingkan diri dengan orang lain adalah sesuatu yang nggak terhindarkan. Kita nggak bisa (hanya) menyalahkan sosmed. Bahkan Julius Caesar pernah nangis mewek di kaki patung Alexander the Great, lalu berseru, "Do you not think it is matter for sorrow that while Alexander, at my age, was already king of so many peoples, I have as yet achieved no brilliant success?"

Oh em ji, Caesar, betapa aku paham perasaanmu!!! Gue sendiri pengen teriak, bagaimana bisa, sih, seorang Nadiem Makarim—yang sebaya gue—bisa jadi begitu di usia segitu?! ((begitu di usia segitu)).

Gue juga jadi tersadar bahwa masyarakat punya pemujaan terhadap usia. Kalau ada dua orang punya pencapaian yang persis sama, masyarakat akan lebih mengapresiasi orang yang lebih muda.

Padahal apakah first is always better? Nggak juga. Kalau pencapaian mereka sama-sama menyelamatkan lingkungan, misalnya, yang penting ‘kan lingkungannya terselamatkan? Joey Alexander memang hebat, tapi kalau kita dengar permainan piano dia dengan permainan pianis jazz yang sudah kakek-kakek, apakah apa bedanya, selama kita bisa menikmati musik keduanya?

Tapi stigma pemujaan terhadap yang muda-muda itu emang kuat, sih. Makanya media-media "tua" kayak Kompas cenderung mengagungkan generasi milenial ke bawah dengan agak berlebihan.

***

Sebenarnya gue, elo, dan nenek-nenek kita pun tahu bahwa solusi dari krisis pede hanya satu: bekerjalah dengan (lebih) keras, dan ikhlas dengan segala pengorbanannya. Mau jadi rocket scientist? Belajar dan bekerja sampai jungkir balik, dong.

"Bekerja keras sebagai senjata melawan krisis pede" tersebut bahkan sudah gue jabarkan panjang lebar di post ini. Malu ah, kalau gue nggak practice what I preached.

Hal tersebut gue sadari, kok, dan sudah berusaha untuk gue lakukan. Enam bulan lalu, gue juga terserang krisis pede sejenis, dan sejak enam bulan tersebut, gue berusaha produktif, walau produktifnya random gilak. Gue mendirikan Cinestiast (yang dibuat tanpa niat serius, tapi kok tau-tau membanggakan amat!), memulai podcast bersama Dara, memberanikan diri jadi editor katalog pameran besar, lebih sering menulis ke media luar, lebih ambisius dalam mengolah tubuh, sebanyak-banyaknya menyerap wawasan baru, dan menjadi Yes Men atas nama cari pengalaman. Selama enam bulan terakhir, gue melawan introvertisme gue habis-habisan dan berusaha mengiyakan segala tawaran yang datang ke gue. Jadi moderator di forum besar? Oke. Main ke penjara Polda Metro Jaya? Ayo. Pergi ke Kazakhstan? Mari. Datang ke acara economic outlook? Anjir, ngantuk banget tapi ya udahlah.

Di penghujung hidup gue nanti, gue kepengen hidup gue terlihat seperti taplak meja ini. Taplak meja ini bekas digunakan untuk sebuah pesta, and check out how festively messy it looked - ada bekas wine, bekas makanan, sisa kue. It seeemed that the party was fabulous. I want my life to be like that: messy and random, but fulfilling.

Maka apakah Laila yang sekarang jadi lebih baik daripada Laila enam bulan lalu? Iya. Nggak drastis, tapi ada kemajuan. Jadi, kalau berpatokan kepada omongannya Gita, mungkin gue sudah tergolong “orang sukses”. Mudah-mudahan, ya.

***

Despite everything, gue sadar bahwa walaupun suatu hari gue nanti beneran punya prestasi yang hakiki—menempati posisi nomor satu di daftar Forbes, misalnya—gue nggak akan pernah bisa melepaskan rendahnya rasa percaya diri gue. It is my trait, it is my uniqueness, and it is also somewhat my strength. Rendahnya rasa percaya diri gue memaksa gue untuk selalu grounded, rendah hati, bekerja lebih giat, dan nggak teriak-teriak membanggakan diri sendiri di sosmed atas prestasi-prestasi yang nggak seberapa.

Jadi ujung-ujungnya tetep harus Alhamdu….?

***

Pernah krisis pede nggak? Yang akut? Yang nggak bisa dihalau hanya dengan zikir dan melototin beberapa kata-kata mutiara Pinterest? How did you cope?

(image: Carmen D'Apollonio, Laura Letinsky)

12 comments:

MiawGuk said...

ada satuuu fase yang ampe mikir.. Am I that dumb? (fase baru pindah kerjaan, dan ga tau harus ngapain, sedangkan bos saklek/gabisa bantuin/titisan Hitler+Jengkis Khan).
ya nanges di wc kantor.. nanges sebelum tidur..

Besoknya.. bangun lebih pagi, kerja lebih pagi. I will make it better today. Mungkin IQ gua ga se-sharp Jenius di luar sana. But gua bakal kasih good attitude + gua juga coba nambal apa yang kurang digua..

hmmm jadi pengen semedi sambil makan popcorn!

R said...

Ada dan pernah banget Mbak Lei!!! Yang gw lakuin beneran do nothing selama beberapa bulan. Setelah itu mulai meratakan goal-goal jangka panjang yang ga tercapai dan fokus sama langkah-langkah kecil. Ga banyak berharap plus bandingin hidup sama orang lain. Ini mah beneran ngelakuin diet sosmed (say goodbye for awhile to path, instagram, twitter, jam 9 malem udah airplane mode-in hp). udah gitu mulai kembali jalin relasi sama beberapa temen deket yang udah lama ga ketemuan dengan beneran ketemu orangnya. ga lewat whats app/ line.

kadek indira dk said...

Gak pede is so me :) Udah nyadar dari sejak SMP, padahal kalau disuruh ngerusuh di kelas juara banget. Belom lama ini aku switch kerjaan jadi pengajar dari sebelumnya praktisi (nggak switch juga sih karena masih ngedobel juga jadi praktisi). Jangan ditanya stresnya kaya apa kudu bikin materi akademik sampe mikir kudu ngomong apa di depan kelas paling gak 2 jam-an. Kurang tidur sambil mikirin materi sampe besokannya puyeng kerna stres itu uda biasa awal2. Dannn sampe hari ini, minimal sehari sebelom ngajar aku udah mingit diri aja di depan leptop sama buku, sama tanya2 ke temen2 yang udah duluan jadi pengajar. Belom lagi minjemin buku2 mereka sama tukeran (ga dink aku minta) materi (utk diedit):D But it workssss. Ditambah mantengin yutub utk kuliah2 umum di univ lain dan ... dress up yg bikin nyaman.

Acipa said...

Baru sekali dateng kesini berkat snapgram teman blogger... dan aku tersedak. Me too Tante Laila (((tante))), belakangan ini ngalamin banget krisis percaya diri padahal ngakunya anak ekstrovert gitu. Tapi gatau kenapa, kayak susah move-on-nya (belum aja, masih berusaha). Kayak udah ngorek-ngorek dosa apa yang gue lakuin sampe begini amat..., and yeah, meski agak naif juga sih, ngerasa gak pede lagi karena kayaknya gue gak cukup kompeten dan lalalala. Tapi jauh dari lubuk hati terdalam mah, siapa sih yang mau stagnan jalan di tempat gitu aja, gamau atuh, semoga aku bisa terbebas dari zona syaitanirrozhim ini yah, dengan lebih berani (meski random gilak!) ngelakuin segala hal yang dulu aku percaya aku bisa ngelakuinnya tanpa ngerisauin segala keraguan yang ada.

Cerita ini ditulis pas udah bisa move on dari krisis pede, semoga pas balik kesini lagi aku udah ngasih cerita lain, hwehehe.

Makasih :*

Silvi said...

Mbak Lei, I lav artikel ini. Liat di instastory, langsung cus, kok kayaknya saya banget ya, and it is true.

Jawaban pertanyaan tentang krisis pede: pernah dan sedang mbak.

Kalo saya krisis pedenya terkait akdemik (I know, nerd banget yaks). Emang dari dulu kompetitif di akademik. Liat temen dapet beasiswa, sekolah di luar negeri, atau bisa paper diterima conference disana - sini, bisa bikin bete dan nangis bombay, kenapa bukan akyu....padahal akyu kan juga punya IPK gak malu2in lho.

Apalagi kerja di tempat dimana entah kenapa, kerjaan saya akhir-akahir ini jadinya salaah melulu, dikiritik bos melulu, dan dijadikan contoh buruk di depan staf lain melulu. Jadilah pede ini semakin jatuh di dasar Palung Mariana.

Seperti yang sudah ada di artikel, emang sumber ketidakpedean adalah social media. Instagram, FB, de el el, de es be. Plus kalo saya pribadi, group WA. Group WA SMA, atau Group WA Kuliah, yang kadang, sengaja nggak sengaja, jadi ajang jembrengin pencapaian. Ya memang nggak salah juga, tapi buat saya yang sedang krisis pede, hal tersebut bagaikan menaruh garam di atas luka.

To deal with this, saya saat ini unpaid leave dari kantor. Kayaknya perlu detoks dari situasi yang kurang kondusif untuk sementara waktu. Terkait pencapaian akademik, karena belom bisa sekolah keluar negeri, saya ambil online course di salah satu platform online learning dari kampus-kampus ivy league di US. Walaupun online course, tapi kan certificatenya tetep ada namanya kampus-kampus femes itu. I know, I am petty like that, but hey if it helps boost my confidence, why not.

Thank you for the article Mbak Lei.

Keeps inspiring!

tia putri said...

Mba LEI!!! (pengen tereak) ini sedang aq alami bangetttt....
ketidak pedean pada pekerjaan karena terkait achievement yang gak wow versiku, ditambah paska lahiran yang bikin diri ini kok jadi agak lemot, karena pikiran mulai bercabang-cabang, prioritas kerja jd diturunin dulu tapi kalau ngeliat kayak gak 'ngehasilin' apa2 eneg sendiri. Why oh why! Sedang cari cara terjitu membangkitkan semangat agar krisis pede segera gudbye..

laf this post.

Anonymous said...

Kalo gw selalu ngrasa "bodoh" dan di ignore karena beberapa kali gagal dapet beasiswa. Sebenernya sih gw bisa biasa aja, tapi yaaa namanya social judgment yah, gw kudu ngadepin orang2 yang miskin nada berkata"ohh lo ga dapet beasiswa? pdhal si mamat aja bisa dapet lho" "Udahlah emang mentok aja kali, gih ambil master di univ grogol aja" sampe akhirnya gw nonton film Alias Grace yang bilang" the different between stupid and ignorant is, ignorant can learn" then gw nyadar, i might not be a bright-star, but i am learning. Sama aja kek Sansa Stark kan, i might be slow, but i learn.

Nyambung ngga sih mba?

Unknown said...

Halo Laila. Been following your blog for yeeeaaarsss. Kita pernah papasan juga di salah satu mall di Jakarta, waktu itu kamu lagi jalan sama nyokap. No makeup, talked in soft voice. Owkaay that sounded creepy but it's not kok. Cuma pas kebeneran aja denger suaranya pas papasan. Kuingin menyapa, tapi kayaknya kamu pernah nulis kalau disapa pembaca blog di jalan suka grogi dan awkward. Jadi ya wis kulewatin aja :D. You looked just fine. And you do good. Ya gw skip semua perbincangan GoT dan Disneyland di blog ini sih, monmaap banget ya sis. But this blog is good, honest, eye-opening (sometimes, not always, and you don't have to. Kita tidak seharusnya selalu membebankan beban inspirasi pada para blogger. Selama kita masih punya Dalai Lama dan Pope Francis, stok inspirasi mah aman. Semoga panjang umur ya pak *salim ).
Banyak hal yang kausampaikan menenangkan, apalagi soal kompleksitas menjadi mahmud dan perempuan. Uhmm..dan soal Andien bahahahaha. So keep up the good work ya!!!

Salam
Lutfi

prin_theth said...

Ini mengharukan amaaat :') Makasih banyak yaa. Banyak banget kok pembaca yang skip soal beberapa bagian dalam blog ini; ada yg skip topik art, ada yang skip topik Disney, GoT, dsb. Never a problem for me :)

Setuju, blogger bukan sumber inspirasi. In fact, selama kita masih punya kepercayaan sama diri sendiri, stok inspirasi aman. Thank you so much for being a reader!

Jane Reggievia said...

Terlalu nggak pedean juga nggak bagus sih ya. Menurutku, orang yang sotoy dan terlalu rendah diri sama sombongnya. Aku sendiri karena saat ini masih berstatus SAHM, ketemu teman atau kerabat ngerasa super nggak pede. Aku ngerasa status SAHM itu so underrated. Akhirnya aku suka banget bandingin diri sendiri dengan orang lain. Kalau udah gitu, "resep" supaya bangkit lagi sama dengan Mbak Gita, besoknya harus bisa jadi DIRI SENDIRI yang lebih baik lagi. Aku mulai set goals dan mencoba fokus untuk mencapainya.

Semua yang udah kamu capai itu keren sekali, Mba Leiiii. Terkadang kita emang nggak sepaham dari apa yang di-share melalui tulisan. Tapi aku selalu kagum dengan dirimu yang sangat sangat sangat open minded dan smart. You should be proud of yourself, anugrah dari Yang Maha Esa, lho. Stay pede ya!

sebut saja mawar said...

as long as the feeling doesn’t paralyse you, then I consider it as a positive... has it ever happened to me, yes many many times... and I expect this to happen many more times in the future... how to cope? for me I’ll try to see the wood for the trees... trus mikir jg kadang kalo minder duluan, ibaratnya kalah duluan sebelum perang... dan menurut gw its a good sign sih kalo masih rendah diri, like you said it makes you stay grounded, else we become arrogant no? ps: nih topik berat jg ye

Anonymous said...

Yes.. Selama ini aku masih waras karena ya ituu.. No sosmed.. Dan nggak usah muluk2 ngeliat si kucing seneng karena dikasih makan aja udah ngerasa aku ini berguna bagi makhluk hidup...hihihi

Post a Comment