Oct 31, 2017

Fashion Week: Nggak Seserem Itu, Kok

DSCF9730

Salam fashion, fashion, fashion!

Ceritanya, setelah dua kali skip, tahun ini gue berkesempatan datang lagi ke Jakarta Fashion Week 2018, hajatan tahunannya Femina Group yang berupa pagelaran fashion show terbesar di Indonesia. Gue datang untuk personal fun, lho, bukan untuk kerjaan.

“Emangnya lo paham haute couture, La?” Ya nggak lah, yaw. Nonton fashion week ‘kan bak masuk museum seni kontemporer. Bikin gue membatin, “Ini seni bukan, sih? Kenapa orang pada nepokin baju jelek gini? Ikutan tepok tangan juga aja, deh, biar dibilang kalcer…”

Pada tahun 2011, gue pertama kali ngeliput JFW, dan langsung untuk seminggu penuh, dari show pertama sampai terakhir. Saban hari lari-lari pakai high heels, skip makan melulu, kurang tidur, dan ternyata udah hamil Raya pula.

Tapi karena dicekokin begitu, akhirnya gue jadi menikmati nonton fashion show. Not necessarily for the fashion itself, but for the show—the lights, the music, the runway, the models, the crowd, endebray endebrey.

Banyak orang malas nonton fashion show, terutama saat fashion week, karena merasa, "Iiiih, gue nggak ngerti fashion… Iiiih, harus pake baju apa nih, pressure banget… Iiiih, ina inu…" Intinya: terintimidasi.

Wajar banget. Kalau dulu gue nggak musti liputan JFW, pasti gue juga nggak akan pernah tertarik nonton fashion week karena alasan-alasan sejenis.

DSCF9478

Namun sebenarnya, Jakarta Fashion Week jauh lebih sederhana dan lebih "membumi" dibandingkan fashion week Eropa/Amerika (baca wawancara Men Repeller dengan lima profesional di industri fashion tentang fashion week di sini. Menarik, deh). JFW juga nggak se-ribet ataupun se-drama fashion week sana. Maka nonton JFW, tuh, sebenarnya perkara simpel.

Kalau belum teryakinkan juga, berikut adalah panduan nonton fashion week ala-ala gue. Keabsahannya perlu dipertanyakan, sih, tapi lumayan daripada nggak ada, hihihi.

(kalau ada orang Femina Group atau fashion blogger pro mampir dimari, monggo koreksi kesotoyan saya, yaaa)

1. Mendapatkan tiket nonton show JFW, tuh, susah nggak, sih?


Sekarang, nggak terlalu.

Konon, setiap tahun, tiket JFW semakin nggak elusive, sehingga lebih gampang didapat. Entah kenapa. Apakah karena minat orang terhadap haute couture menurun? Karena industri retail fashion melesu? Semoga nggak, ya.

Tiket JFW bisa didapatkan jauh-jauh hari di situsnya, atau dengan mantengin kuis dan giveaways dari berbagai brand atau perusahaan yang terafiliasi dengan JFW. Males ikut kuis-kuisan seperti akyu? Cari koneksi! :D

Untuk JFW tahun ini, kuhaturkan nuhun yang sebesar-besarnya kepada: Mita Kartohadiprodjo (nama belakangmu sungguh sakti), Fariz Rachman (Harvest is the best! Yes!), dan Evie (*borong Wardah di Century*).

DSCF9472

2. Apakah kalau nonton fashion show, kita harus tampil super fashionable dan on-trend?


Dulu, rasanya iya. Sekarang, nggak juga.

Beberapa tahun lalu, orang-orang yang datang ke fashion week punya tekanan lumayan tinggi untuk tampil maksimal. Alhasil, gue merasa atmosfer JFW beberapa tahun lalu lebih seru daripada sekarang. Dulu, tuh, asik banget ngeliatin orang-orang yang berada di puncak tangga sosial Jakarta pada wara-wiri pake high heels berkilau dan cocktail dress siang-siang bolong di aula lobi tenda JFW. Biar gerah asal meriah, beb!

Tapi makin ke sini, gue melihat crowd JFW semakin kasual dan nggak punya pressure atau effort besar untuk tampil makbyar. Heels berganti sneakers, cocktail dress berganti loose shirt santai. Prinsipnya, dressing up is an option. People are now doing it for their own personal fun, bukan karena merasa wajib.

Bukan berarti tampil nggembel, tuh, nggak apa-apa ya. Gimanapun juga, kita perlu menghargai acaranya. Tapi bukan berarti kita harus tampil bak Ayla Dimitri atau Anasz Siantar juga. Buat gue pribadi, selain karena nggak ada duitnya, juga karena nggak ada nyalinya, hihihi.

DSCF9556

4. Apakah kita akan didiskriminasi, kalau kita nggak tampil paripurna?


Nggak, kok. JFW bukanlah butik Hermes di Paris, ataupun Dragonfly *dendam pribadi nih, yee*

Karena capek, gue pernah datang ke JFW tanpa make-up setitik pun. Se-ti-tik-pun. Baju pun seadanya. Kalau gue semulus dan sekece Raisa, gitu, ya nggak masalah. Lah iki, struktur tulang wajah gue maskulin, kulit gue jerawatan, dan punya kumis tipis bak Iis Dahlia. Alhasil, penampilan gue bak waria—muka lakik, pakaian perempuan. Untung gue nggak dicegat di pintu masuk, juga nggak dijudesin usher.

Beberapa kali gue melihat rombongan bapak-bapak dan ibu-ibu yang berpenampilan sangat sederhana, duduk di kursi JFW. Bapaknya pakai peci, ibunya pakai gamis serta jilbab syari' sepolos-polosnya. Rapih, tapi jauh dari definisi fesyenebel. Gue rasa mereka adalah keluarga sang desainer, yang jauh-jauh datang dari luar Jakarta. Apakah mereka dijudesin? Nggak, dong.

DSCF9526

Intinya, sekarang crowd JFW sudah sangat beragam. Yang tampil ultra fashionable ada, yang tampil santai juga ada. Ditambah dengan menjamurnya fashion blogger dan influencer belakangan, dunia fashion semakin membumi. Para blogger dan influencer ‘kan - istilahnya - membawa runway to our way. Maka dunia high fashion sekarang sebenarnya nggak se-elit jaman dulu.

Sisi positifnya, kita jadi nggak perlu merasa terintimidasi untuk tampil se-fashionable mungkin di fashion week. Senyamannya aja.

Sisi negatifnya, gue merasa atmoster JFW jadi nggak se-exciting dulu lagi. Dulu, salah satu hal yang membuat atmosfer fashion week terasa seru adalah karena street style para pengunjungnya yang eksperimental dan beraneka ragam, dari show pertama sampai show terakhir. Dorce Show aja kalah kheboh.

Sekarang, hawa tersebut nggak terlalu terasa. Orang-orang yang fashionable dan eksperimental palingan hanya ngumpul di show-show tertentu, biasanya show-show malam.

DSCF9691

3. Tapi gue nggak ngerti fashion! Nanti bingung nggak, sih, nonton JFW?


Nggak, dong.

Show satu koleksi itu biasanya cuma berdurasi 30 menit, yang terdiri dari peragaan sekitar 40 potong baju. Itupun sudah termasuk pemutaran iklan-iklan sponsor yang bererotan panjaaaang sekali di layar panggung, sebelum show-nya dimulai. Jadi fashion show-nya sendiri sebentar, kok.

Trus, kalau nonton fashion show, idealnya kita memperhatikan koleksinya dong, ya. Tapi kalau lo betul-betul nggak tertarik sama fesyen, ada banyak elemen yang bisa diperhatikan dalam sebuah fashion show.

Misalnya, kita bisa perhatikan sepatu, aksesoris, makeup atau hairdo yang disajikan. Tahun ini, gue kurang reseup sama koleksinya Auguste Soesastro di show-nya YCFI. Tapi makeup-nya, ya oloooh, suka banget.

DSCF9654

DSCF9642

Kita juga bisa perhatikan musiknya. Musik fashion show, tuh, sangat beragam, tergantung konsep masing-masing. Mulai dari EDM standar yang beat-nya stabil, rap dan hiphop, lagu-lagu Top 40 yang di-remix, lagu-lagu eksperimental, lagu-lagu oldies, gending Jawa, sampai mars perjuangan.

Setiap lagu memberikan nuansa yang berbeda, bahkan membedakan gaya jalan modelnya.

Bicara soal gaya jalan model, dalam sebuah fashion week, modelnya biasanya itu-itu aja. Kalau kita beberapa kali nonton show dalam sebuah fashion week, pasti jadi lumayan hapal sama model-model yang menjadi langganan para desainer. Nah, kadang seru juga, tuh, mencirikan gaya jalan mereka masing-masing.

Misalnya, gaya jalan Kimmy Jayanti selalu centil, meriah, dan mencuri perhatian. Saking mencurinya, kadang kita jadi nggak bisa fokus sama bajunya. Sementara gaya jalan Kelly Tandiono lebih maskulin, dengan kepala yang cenderung maju ke depan. Ambisius gitu, ceu! Menarik, ya, mengingat Kelly adalah mantan balerina yang "seharusnya" feminin.

IMG_0051
Reti Ragil, salah satu model kesayangannya para desainer yang masih going on strong sampai sekarang

Oh, jangan lupa sama fun catwalk! Apakah itu? Fun catwalk adalah konsep catwalk yang ber-hepi-hepi-ria. Jadi para modelnya nggak cuma jalan lurus, tetapi juga joget-joget, lompat-lompat, jalan mundur, kadang nyeker… pokoknya asal nggak nyungsep dari panggung, bebasin aja, deh.

Desainer pun kadang lelah, ya, bikin show yang kaku-kaku bak Kanebo kering. Jadi teatrikalin aja, shay.

Obin, salah seorang desainer yang hobi bikin fun catwalk. Gue nonton show ini langsung pada tahun 2015, dan seru banget!

Selain itu, sebuah show seringkali menampilkan penari, penyanyi, dan berbagai hiburan lainnya. Jadi isinya nggak melulu model berlenggak-lenggok.

DSCF9563

DSCF9562
Hiburan bernuansa Chippendale di show kolaborasi dengan L'Oreal (but why??). Apakah mereka geng Apollo?

DSCF9356

Maka kembali ke pertanyaan: kalau nggak ngerti fashion, apakah gue bakal kebingungan nonton fashion week? Coba aja tetap datang. Most likely, you’d still enjoy the show, karena ada banyak elemen yang bisa kita perhatikan, selain bajunya.

4. Bener nggak, sih, pengisi kursi front row fashion show, tuh, sekeren, se-elit, dan sengeri itu?

Untuk beberapa show, iya.

Di JFW, hal ini biasanya terjadi di show-show malam, atau show-nya para desainer yang jadi socialite darling.

Di show-show tersebut, front row biasanya diisi oleh para artis, sosialita, fashion blogger/influencer, selebgram, pemred, atau fashion/beauty editors. Dari awal, kursi front row akan di-reserve untuk mereka. Tentunya, mereka akan hadir dengan penampilan seru dan kece maksimal.

Tetapi untuk show-show siang, front row bisa diisi oleh siapapun, termasuk yours truly yang kadang hadir dengan penampilan lecek bak kain pel bekas pake. Prinsipnya, siapa cepat, dia dapat aja. Kalau kita datang dan antri masuknya cepat, kita bisa banget dapet kursi di depan. Silahkan kiasu, deh.

Kalaupun kursi-kursi depan di-tek, tunggu aja sampai 10 menit sebelum show mulai. Nggak semua undangan front row akan hadir, kok. Nah, kalau pada nggak hadir, rakyat jelata ((rakyat jelata)) biasanya dipersilahkan mengisi kursi mereka. Lumayan, yaaa.

Sekali lagi, JFW jauh lebih simpel, kok, dibandingkan fashion week negara-negara maju. Di sana, fashion week adalah perkara yang lebih serius, sehingga urusan jatah front row aja bisa jadi bahan berantem. Again, check out Men Repeller's interview.

DSCF9525

FYI, walaupun nggak bisa motret serius, sebenarnya gue suka banget motretin fashion show. Maka spot paling ideal buat gue bukan kursi front row, tetapi photographers pit yang terletak persis di depan runway, meski gue jadi musti berdiri, berlutut, atau lesehan sambil berdesakan, karena area tersebut nggak ada kursinya.

IMG_0479
Photographer's pit di fashion show "Love is in the Air"-nya Edbe, Oktober 2011

Dulu, aturan JFW masih kendor. Jadi meski tanpa identitas pers, gue masih bisa nyelinap ke photographers pit dan nangkring di situ. Sekarang aturannya ketat, shay! Nggak bisa!

In fact, tahun ini, keseluruhan aturan JFW di-reinforce dengan ketat. Kalau penonton nyalain flash kamera sedikit, berdiri-berdiri sedikit, wefie terlalu heboh sedikit saat show berlangsung, panitia akan segera nyenter muka yang bersangkutan, melambai-lambaikan tangan dengan heboh bak Sobat Dahsyat sambil mouthing "NGGAK BOLEH! NGGAK BOLEH!".

Ntapsol.

***

Kemarin gue mulai nonton film dokumenter The September Issue. Belum selesai, sih, tapi baru nonton dua menit, batin gue langsung tertohok oleh ucapan Anna Wintour:

I think what I often see is that people are frightened of fashion and that because it scares them or it makes them feel insecure, they put it down.

On the whole, people that say demeaning things about our world. I think that's usually because they feel in some ways excluded or, you know, not part of the 'cool group' so as a result they just mock it.

Just because you like to put on a beautiful Carolina Herrera dress or, I don't know, a pair of J Brand blue jeans instead of something basic from K-Mart, it doesn't mean that you're a dumb person.

There is something about fashion that can make people very nervous.


Disadari atau nggak, kita cenderung mengolok hal-hal yang nggak kita pahami, atau hal-hal yang (diam-diam) membuat kita merasa terintimidasi, sebagaimana wartawan politik kadang memandang rendah wartawan lifestyle, atau sebagaimana gue kadang memandang profesi influencer/buzzer sebagai profesi yang kurang berintegritas (kejaaam! *jorokin ke GOMI*).

Padahal kita nggak tahu, seperti apa kerja (keras) mereka sesungguhnya, dan seperti apa impact yang bisa mereka timbulkan.

IMG_0588

Di lingkungan gue, fashion sering dipandang sebagai suatu hal yang remeh. Bahkan industri high-fashion sekalipun, yang padahal bernilai miliaran dolar serta membutuhkan para ahli dengan wawasan, skill, dan intelektualitas yang nggak main-main.

Sebelum pertama kali menginjakkan kaki di JFW, sejujurnya gue juga rada nyinyir terhadap dunia fashion dan segala perhelatannya. Dengan judes, gue menganggap fashion week adalah ajang ngeceng belaka, bukan ajang transaksi serius antara desainer dan buyer, dan nggak betul-betul dimanfaatkan sebagai salah satu roda ekonomi negara. Sotoy!

Maka gue bersyukur sempat “kejebur” di JFW, karena pandangan gue jadi lebih terbuka terhadap industri fashion, sebuah industri yang penuh kreativitas, passion, dan perhatian pada detil.

Sikap macem gini seharusnya bisa dipraktekkan kepada berbagai hal, ya? ‘Kan katanya, don’t hate what you don’t understand. Instead, ceburin diri aja ke bidang yang nggak lo pahami tersebut. Niscaya, hate hilang, wawasan berkembang (bisa dijadiin stiker slogan angkot, nih).

Udah mau 2018 gini, pengetahuan kudu makin eklektik kali, ya. Makanya, dukung niat gue ngelamar kerja jadi timnya Awkarin, dong :D

Akhir kata, sekali lagi, salam fesen, fesen, fesen!

DSCF9493

7 comments:

Maya Rumi said...

aq suka fashion, tp blm pernah ada kesempatan untuk lihat secara langsung fashion show, apalagi jfw. tapi suka memperhatikan dari tahun ke tahun. dan tahun ini bener kata mbak lebih membumi aq lihat yg posting di ig dan dtg ke jfw lebih santai gak banyak yg dandang aneh2.. thanks for sharing mbak, jadi tau tanpa lihat langsung...

Leony said...

Ketohok soal Dragonfly. Gue juga dulu pernah ditolak masuk hahahahahaha... Ya mentemen gue sih suka clubbing jd pas dinner mereka udah paripurna sementara gue cuma pake celana pendek dan sepatu mary jane ceplek. Ditolak mentah2 (dan berakhir dengan karaoke di Sency sampe hangover).

Gue juga bukan orang yang trendy sama sekali. Cuma karena bbrp kali bikin baju sama desainer, suka diundang ke show mereka (dan banyakan kaga datengnya hahaha). Bener, gue suka banget nonton runway karena menurut gue para desainer itu mencurahkan jiwa mereka buat bikin peragaannya jadi keren lewat audio visual yang memanjakan mata dan telinga. Even saat gue ngerasa bajunya gak bakalan kepake, nonton runway show itu kayak nonton art form. Untuk bikin satu koleksi yang kohesif aja gak gampang loh. Thanks for sharing, La, gue yg ga pernah ke JFW jadi bs ngebayangin.

Yusiesisy.com said...

Kudukung deh jd tim awkarin 😆

prin_theth said...

Hai, sama-sama yaa :)

prin_theth said...

Betuuul banget, fashion show is a performance art in a way yaa. Kapan-kapan cobain nonton JFW, Leee... (or any fashion week, I guess).

prin_theth said...

Deg-degan! :D

runiindrani said...

"Just because you like to put on a beautiful Carolina Herrera dress or, I don't know, a pair of J Brand blue jeans instead of something basic from K-Mart, it doesn't mean that you're a dumb person."

love anet deh <3 (walau gak pake carolina herrera jugakkk)

Post a Comment