Aug 27, 2017

Game of Thrones S7 - Episode 6: The Penultimate Show


Beberapa hari setelah episode 6 season 7 Game of Thrones nggak sengaja bocor, beberapa teman japri gue dan nanya, “Udah nonton leak-nya belum?”

Tentu saja, dengan harga diri segunung, gue jawab, “Excuse me? Excuuuuse me? I would never betray HBO like that! Never! What do we say to the Gods of Spoilers? Not today!

Yang kemudian direspon sama teman gue, “Biasa aja kalek, nggak usah lebaaay…”

Dasar, generasi nggak kenal kesetiaan…

… trus beberapa hari kemudian, gue nonton juga leak-nya. Eaaaak.

Ada dua alasan kenapa gue nonton bocorannya. Pertama, karena gue nggak sengaja baca komen seorang netijen asem di Youtube yang menjadi spoiler dari segala spoiler. Komennya kurang lebih berbunyi, “Daenarys and her three dragons? Hmph, think again.” Dalam sekejap, gue langsung nangkep maksudnya apa (i.e. one of the dragons is dead). Bngzt.

Jadi gue mikir, ya udahlah. Apa nonton aja sekalian?

Kedua, supaya gue bisa nulis review episode penultimate ini secepatnya, trus di-publish tepat setelah tayangannya diputar di world premiere HBO, Senin, 21 Agustus pagi. Eeeh, kenyataannya, di-post-nya malah baru hari gini. Hihihi. Monmap nih, rakyat. Tante sibuk. Sibuk ngeceng.

Oke, kembali ke episode 6.

Gue yakin, kita semua sepakat bahwa episode ini sangat epic. Namun kata “epic” nggak selalu berkonotasi positif, lho. Kalau gue perhatikan, episode 6 justru membelah penontonnya menjadi dua golongan—either you love it, or hate it.

Gue termasuk dalam golongan yang “love it”, karena emosi yang ditimbulkan oleh episode ini gede banget. Gue patah hati berat atas nasib Viserion si naga, tapi gue juga excited dengan potensi Daenarys Targaryen dan Jon Snow naik pelaminan ((naik pelaminan)).

Gue juga senang karena episode penultimate ini “menyeimbangkan” kekuatan semua pihak. Maksudnya gini. Di akhir season 6, Daenarys ‘kan kelihatan kuat banget, tuh. Koalisinya banyak kayak Jokowi (OMG, La, stop associating Dany with Jokowi), tentaranya segudang, dan punya weapons of mass destruction—alias naga—sampai tiga bijik. Terlalu jelas bahwa Daenarys akan menang dalam perang perebutan Westeros melawan Cersei Lannister, bahkan mungkin White Walkers.

Di season 7 ini, kekuatan Daenarys diproporsionalkan. Koalisi-koalisinya dipatahkan oleh Lannister, dan naganya dicokot satu sama The Night King. Dengan demikian, pihak Daenarys, Lannister, dan White Walkers jadi lebih sebanding. Otomatis, hasil pertempuran di season 8 bakal lebih nggak terduga.

Bagi golongan yang “hate it”, rata-rata mereka nggak suka dengan jalan cerita episode 6 yang terlalu cepat, serta detil-detilnya yang nggak logis dan patut dipertanyakan.

Pembahasan soal “love-hate” ini nanti aja, ya. Sekarang mari kita bahas para rakyat yang muncul dalam episode 6.

Sansa & Arya Stark


Ninja Arya—y so creepy?

Awalnya, gue lega karena Arya memutuskan untuk mengkonfrontasi Sansa soal suratnya yang tersirat. Daripada sebalnya dipendem, trus ntar dia bikin aksi-aksi yang nggak diinginkan?

Tapi lalu terjadilah pembicaraan yang creepy dan awkward antara mereka, pas Sansa menemukan topeng-topeng Arya. Tadinya gue nggak paham motif Arya menggertak Sansa kayak begitu. Trus gue mikir, mungkin dia sedang mempraktekkan The Game of Faces aja.

Dan setelah Arya malah menyerahkan belatinya ke Sansa, gue berkesimpulan bahwa Arya kepengen menunjukkan, “Lo jangan macem-macem, ya. Kasitau Littlefinger, dia juga jangan macem-macem. Tapi gue nggak akan nyakitin elo. Kita sepihak. Buktinya, nih, belati gue buat, lo.”

Dengan penyerahan belati tersebut, semakin kuat teori bahwa ujung-ujungnya Littlefinger akan mati di tangan Sansa. Mungkin dengan belati tersebut. Mudah-mudahan Sansa nggak sepolos yang kita sangka untuk masuk ke dalam perangkap Litelfinjer.

Jon Snow

Episode 6 ini semakin menunjukkan bahwa Jon Targaryen (cieee, udah pede aja gue) adalah tokoh paling konsisten di seantero jagad Game of Thrones. Konsisten banget lurusnya. Padahal tokoh-tokoh lain pada berevolusi, lho. Misalnya, Sansa dan Arya sekarang udah nggak sepolos dan secuwawakan dulu. Setelah banyak makan asam-garam kehidupan, mereka punya kelicikan dan keskeptisan masing-masing.

Meski hidupnya Jon Snow nggak kalah pait dan keras, hati Jon nggak berubah. Dia tetap penuh empati, baik, “lurus”, dan nggak ambisius jadi penguasa. Jon manggut-manggut penuh penghayatan ketika Beric Dondarrion bilang, “Selagi masih hidup, tugas kita hanya membela orang-orang lemah. Gitu aja,” dan dia dengan sangat sepenuh hati berduka cita ketika Viserion mati. Merhatiin ekspresi kebencian Jon terhadap The Night King nggak, sih, setelah Viserion ditombak? NAPE SIK JADI ORANG BAEK DAN BERSIMPATI AMAT?! *histeris*

Namun menurut beberapa pendapat, “lurus”nya Jon ini lah yang membuat Viserion ketombak. Seandainya Jon langsung capcus naik ke atas Drogon, tanpa merasa harus bertempur melawan Wights sedikiiiit lagi, Viserion mungkin bakal terselamatkan.

Tapi gue nggak percaya sama pendapat tersebut.

Ini dia alasannya!

The Night King


Gue percaya banget bahwa The Night King sebenarnya sudah tahu bahwa Daenarys Targaryen bakal datang ke beyond-the-wall beserta naga-naganya, dan si brengsek ini memang akan merebut naga-naga tersebut. The Night King sudah perhitungkan semuanya, because he is a psychic, remember?

Pas Jon dkk terperangkap di tengah danau es yang retak, The Night King bisa aja langsung membekukan danau tersebut, supaya tentaranya bisa jalan ke tengah. Nggak cuma tatap-tatapan dari seberang danau sampai sehari semalam gitu. Intinya, dengan kesaktian mandragunanya, para White Walkers bisa, kok, ngebunuh Jon dkk dengan cepat.

Tapi The Night King meneng wae. Kenapa? Karena dia memang nungguin Dany datang, untuk lalu merebut naganya. Perhatiin, deh, para White Walkers nyiapin tiga tombak, lho.

Kesimpulannya, dari awal, objektif The Night King bukanlah ngebunuh Jon, tetapi mencokot ketiga naga Daenarys.

Kalau Jon mati, mungkin The Night King akan mikir, yastralah bodo amat. Tapi dengan naga, The Night King jadi punya weapon of mass destruction untuk menaklukkan dunia.

(dan mungkin dia lelah keliling benua dengan gerak jalan atau naik kuda melulu. Sekali-kali, beb, terbang kayak pendekar Indo Eskrim). 

The Magnificent Seven


Walaupun kita semua tahu—minimal ada feeling—bahwa episode penultimate ini bakal nestapa dan menegangkan, tayangan dibuka dengan interaksi yang enak banget di antara Magnificent Seven. Segala dialog becandaan, celaan, saling sebel dan saling kasih respect-nya renyah bin gurih. Sehingga walaupun mereka baru saling kenal, bonding-nya believable.

Selain gurih-gurih gurilem, dialog-dialog di antara Magnificent Seven juga banyak mengacu ke masa lalu, supaya ingatan pemirsa kembali segar tentang histori hubungan mereka masing-masing.

Tyrion Lannister

Se-awkward-awkward-nya percakapan antara Arya dan Sansa di episode 6, sungguh tiada percakapan yang lebih awkward daripada percakapan antara Tyrion dan Daenarys. Halooo, scriptwriters, what was that all about?

Mengingat ini Game of Thrones, bukan sinetron Keluarga Cemara, Daenarys dan Tyrion memang nggak bisa diarepin pasangan penguasa-penasehat yang seiya sekata selamanya, meski kita kepengennya begitu.

Memang, sih, walaupun Tyrion pintar ngomong dan sangat taktis, dia bukan orang militer. Walhasil, selama bareng Daenarys, taktik perangnya gagal maning, bahkan sejak masih di Meereen. Wajar kalau diyudesin Dany.

Tapi seperti kata Andied, kalimat-kalimat mutiara Tyrion memang bagus-bagus banget, ya? Cocok banget diketik, dipigura, atau dijadiin bahan pelatihan pegawai.

Daenarys Targaryen


Selain karena kalah perang melulu, kegusaran Daenarys di Dragonstone pada episode 6 ini mungkin juga karena dia khawatir terhadap Jon Snow yang sedang turun ke medan perang *insert suara gengges anak-anak SMA… “Ciyeeeee, wuuuuu!”*.

Jangan lupa, Daenarys pun sempat dinasehati sama almarhumah Olenna Tyrell untuk nggak selalu nurut sama lakik. Makin judes, lah, dia terhadap masukan-masukan Tyrion.

Plus, Tyrion ngangkat isu anak dan penerus, lho. Gue baru sadar bahwa betapa sensinya Daenarys tentang hal tersebut, berhubung dese pernah kehilangan bayi, trus mandul.

Bagi gue, dialog Daenarys dengan Tyrion membuatnya jadi agak nggak konsisten. Jadi dia sebenarnya seorang tiran yang halu haus kekuasaan, atau seseorang yang sebenarnya “lurus” kayak Jon, tapi lagi bitchy aja? (PMS, mungkin?)

Tapi pertanyaan yang paling penting adalah…

… sapose indang perancang adibusananya Khaleesi? Kok selama di Westeros ini, dese paripurna banget untuk segala kesempatan? Lihat, dong, baju perang beyond-the-wall-nya, dengan warna silver metalik, bulu-bulu, dan buntut yang membentuk sisik. Haute couture Fall/Winter 2018 banget.

But all joking aside, this is a majorly serious episode for the queen. Gue yang nggak terlalu suka sama Daenarys aja patah hati ketika Viserion mati dan bergabung dengan kaum mata biru. Selina, Selinaaa… Selina mata biruuu… Selina, Selina…. Sahabat penaku di negeri kangguruuu… Jadi penasaran, adakah Selina di tengah umat The Night King tersebut? Eh, tuh kan malah becanda lagi!

Gue sedih bukan hanya karena Daenarys—sebagai “pihak baik”—kehilangan salah satu “senjata kuat”-nya untuk menyelamatkan dunia, tetapi juga karena dia kehilangan anaknya.

***

Sejujurnya, gue suka dengan episode 6, tapi punya mixed feeling. Memang ada sejumlah kritik dan keluhan terhadap season 7, yang dipertajam di episode 6 ini. Tapi gue ‘kan kalau cinta sesuatu, Insya Allah setia. Gue cinta Game of Thrones, sehingga gue cenderung menutup mata terhadap kelemahan-kelemahannya.

Tapi trus gue menemukan argumen seorang netijen, yang menurut gue nel ugha.

Jadi si netijen ini cinta sama Game of Thrones, tapi dia agak ilfil terhadap season 7, karena terlalu berusaha memuaskan penonton. Istilahnya, fan-service banget. Walhasil, ciri-ciri khas penting Game of Thrones jadi dikorbankan.

Ciri pertama—tidak ada tokoh utama yang “aman”. Ingat, Valar Morghulis, all men must die. Sepenting-pentingnya seorang karakter di Game of Thrones, dia nggak pernah aman dari ancaman jiwa.

Gue inget banget, di season 1, gue yakin Ned Stark akan selamat. Gue bilang ke T, “Mukanya dia dipajang di poster Game of Thrones, lho! Ned Stark, nih, jagoan utama! Mana mungkin mati!” Lalu jreng, jreng. Isdet. Welcome to the sadistic world of George R. R. Martin.

Namun, di season 7 ini, nggak ada satupun tokoh utama yang mati, atau terancam mati. Kita semua juga tahu mereka akan baik-baik aja. Mulai dari Jon Snow, Daenarys Targaryen, Tyrion Lannister, Jamie-Cersei Lannister, dan lainnya. Jorah Mormont aja bisa selamat dari grayscale dengan cukup mudah. Padahal kalau di dunia nyata, grayscale tuh bak kanker atau AIDS kali, ya.

(eeeh, taunya di episode 7, mereka semua mokat berjamaah. Naudzubillah.)

Ciri kedua—sikap, keputusan, dan aksi tokoh-tokoh di Game of Thrones selalu logis dan realis.

Game of Thrones memang film fantasi, tetapi sikap, keputusan, dan aksi tokoh-tokohnya selalu logis dan sangat sesuai dengan kehidupan nyata. Misalnya, hampir nggak ada tokoh Game of Thrones yang super heroic dan sepenuhnya unselfish (mungkin kecuali Jon dan Ned). At some degree, semua tokoh pasti bertindak atas kepentingan masing-masing, walaupun membuat dia harus “berbuat dosa”. Ini hal yang realis banget. Makanya, dunia Game of Thrones sangatlah abu-abu. Nggak ada tindakan yang hitam-putih, selayaknya di kehidupan nyata.

Tapi di season 7 ini, semua terasa hitam-putih. Yang baik, ya baik aja. Yang jahat, ya jahat aja. It becomes a cliché.

“Keabu-abuan” berbeda dengan “tidak konsisten”, lho. Di season 7 ini, ada pemirsa yang terganggu dengan beberapa karakter yang jadi nggak konsisten, alias “off-character”. Contohnya, Arya Stark. Arya, tuh, didikan Faceless Men, dan salah satu ilmu utama Faceless Men adalah pintar ngibul dan “ngebaca” orang. Jadi, seharusnya Arya langsung tahu apakah Sansa berbohong, saat Sansa bilang bahwa dia nggak bermaksud mengkhianati keluarganya.

Arya juga seharusnya langsung bisa baca situasi, bahwa musuh utama di Winterfell adalah Littlefinger, sehingga dia nggak perlu cekcok dengan Sansa. Well, mungkin aja Arya juga sedang bersandiwara, ya. Tapi kalau ternyata nggak bersandiwara, she’s being off character. Arya should be better, calmer, and smarter than that.

Ciri ketiga—George R. R. Martin biasanya meminimalisir deus ex machina. Lah, di season 7 ini, deus ex machina-nya banyak banget! Di episode 6 aja, deus ex machina terjadi tiga kali, dengan kehadiran Daenarys, Benjen Stark, dan retaknya es danau (btw, kalau nggak tahu apa itu deus ex machina, boleh di-Google dulu ya, qaq, biar pintel).

Dalam dunia penulisan naskah, deus ex machina adalah solusi malas dan agak-agak fan-servicing. Menurut sang netijen yang mengritik, ini sangat bukan George R. R. Martin.

Ciri keempat—nggak ketebak. Jalan cerita Game of Thrones seharusnya selalu sangat unpredictable. Namun di season 7 ini, katanya banyak adegan yang bisa kebaca duluan.

Gue setuju sama poin ini. Sejagat raya internet sudah lama bisa nebak banyak kejadian di season 7, lho, termasuk somehow The Night King akan punya naga es. Jadi walaupun gue sedih sewaktu Viserion jadi wight, sejujurnya hati ini kurang kejut-kejut gimanaaa gitu, eym.


Rakyat Game of Thrones memang pintar menganalisa. Idealnya, tugas utama para penulis naskah adalah mematahkan dugaan para fans tersebut, bukannya malah terus-terusan mewujudkannya.

Unpredictability is what makes Game of Thrones thrives and successful. Sebagai contoh, kalau Game of Thrones mau lebih berani, yang dibuat mati dalam episode 6 seharusnya Beric Dondarrion, setelah dia melakukan sesuatu yang epic. Kenapa? Karena Beric sudah dibangun menjadi karakter yang keren dan dicintai penonton. Typical G. R. R. M. is killing off characters that the audience has sympathize with.

Jangan-jangan penulis naskah Game of Thrones sebenarnya cuma nyontek dari teori dan fanfic para fans yang bertebaran di dunia maya, ya?

Ada yang bilang—maklumin aja, deh, kalau jalan cerita season 7 Game of Thrones melenceng dari ciri khasnya. Penulis naskahnya bukan G. R. R M., toh? Season 7 nggak berdasarkan novelnya, toh?

Tapi, hei, season 6 juga nggak ditulis oleh G. R. R. M. ataupun berdasarkan novelnya, lho! Seperti season ini, season 6 juga ditulis oleh D.B. Weiss dan David Benioff, tapi season 6 bisa kece gilaaaakkk. Waktu itu, Weiss dan Benioff masih oke dalam mempertahankan ciri-ciri penulisan G. R. R. M.

Konon katanya, G. R. R. M. adalah penulis yang lamban. Jadi ketika HBO memulai proyek seri TV Game of Thrones, mereka seharusnya mengantisipasi bahwa seri TV ini akan jalan lebih cepat daripada novelnya, sehingga pada suatu titik, seri TV harus jalan terus sementara novelnya belum ada kelanjutannya. Jadi, para showrunners kudu sebisa mungkin mengadaptasi logika pikiran G. R. R. M., sehingga saat harus bikin tayangan tanpa berpatok pada buku, wis isa.

Episode 6 memang epic berat. Gue pun terbuai dengan ke-epic-an dan action-nya, and I still love episode 6 for those reasons. Tapi kalau dipikir-pikir, formula ceritanya memang udah nggak khas Game of Thrones.

Meskipun episode ini kurang memberikan efek kejut yang warbiyasak—seperti Red Wedding atau kematian Ned Stark—episode ini lumayan memenuhi syarat episode penultimate Game of Thrones: ada epic battle-nya, ada situasi mengancamnya, ada kejadian yang devastating (walau ketebak), dan ada kejadian yang satisfying.

Kalau kamu, #TeamLove atau #TeamHate? Yang pasti pada #TeamMenolakKenyataan dong ya, karena LUSA UDAH EPISODE TERAKHIR SISEN INI, HOOOOY! *tebalikin meja*

Bagi yang ikutan nobar, sampai jumpa besok malam!

(top image: Robert Ball)

5 comments:

dela said...

I had mixed feelings about this mbak Lei.

Gw ngerasa nonton Game of Thrones episode kemarin kaya nonton a Michael Bay's movie instead GOT.. it's still cool though, tapi gak greget kaya biasanya. Dan tambah lagi I am so against Jonerys ahahaha.. jadi makin males sama scene mereka terakhir.

Highlight dari episode kemarin itu emang The Magnificent 7 si. How I loved chit chat between Tormund and The Hound. Aku sebagai shipper Jaime dan Brienne semacam jadi ga tega sama Tormund yang ngebet banget sama Brienne. Hahaha.. Trus conversation between Jorah dan Jon! Duh, apa perasaan Jorah yaaaa kalau tau Jon bakalan jadian sama Daenerys? Friendzoned one more time.

wawagunk said...

Kalo aku masih menunggu siapa yang mokat di final episodnya.

Masa ga ada yang mokat sih yang bikin gremet gremet hati.


Duh sampe ga sabar nunggu tulisan nobarnya

marisa said...

nahhhh postingan ini yang membuat gue pengen banget lo bikin podcast deeeh biar rumpi pake audio ahahahha

runiindrani said...

tim kurang puas. btw episode 7 udah main, ayo dong langsung reviewnya!

Anonymous said...

kak bahas ttg raisa dan hamish dong..jadi peer prssure bgt buat anak2 muda hiks

Post a Comment