Aug 11, 2017

35 Jam di Mutiara Maluku

20170807_083112

Minggu lalu, gue berkesempatan ke Ambon untuk pertama kalinya. Sayang, durasi perjalannya kurleb cuma 30 jam—jangan tanya kenapa—jadi gue benar-benar nggak keluar kota Ambon, apalagi untuk island hopping ke pulau-pulau sekitar. Hiks!

Ini adalah sepenggal ceritanya, yang menurut gue rada menantang untuk di-post berhubung foto-fotonya minim banget, secara kualitas dan kuantitas. Buat gue, nggak menyertakan foto untuk sebuah travel post bikin insekyur, lho. Apakah kata-kata gue cukup mewakili? Jreeeng.


Post ini juga disampaikan dengan gaya bahasa yang “bukan gue banget” (baca: rapi dan formal. Apalah seorang Laila tanpa tulisan nyablak keleleran?) karena tadinya akan masuk ke sebuah media… tapi trus nggak jadi. Sebel. Jadi mohon maklum ya, gaes, atas kekekeusan ini.

***

Saya bersyukur sekali, karena tiba di dan berangkat dari Ambon ketika langit gelap gulita. 

Matahari sudah tenggelam ketika saya menginjakkan kaki di ibukota Maluku ini, sementara matahari belum terbit ketika saya harus kembali ke Jakarta, 35 jam kemudian.

Pasalnya, pemandangan Ambon Manise saat gelap ternyata benar-benar manise!

Kalau kita buka peta kota Ambon, Bandara Pattimura dan pusat kota Ambon terlihat seakan-akan berada di dua pulau yang terpisah.

Sebenarnya bandara dan pusat kota berada di pulau yang sama, namun kedua tempat tersebut dipisahkan oleh Teluk Ambon yang sempit tapi panjang. Maka kita seolah-olah harus “menyeberang pindah pulau” untuk mencapai kota dari bandara, dan sebaliknya.

Dulu, untuk bolak-balik Bandara Pattimura-pusat kota, kita harus memutari Teluk Ambon dengan jarak tempuh 35 kilometer. Namun karena sekarang sudah ada Jembatan Merah Putih yang melintasi Teluk Ambon, jarak tempuh menjadi lebih pendek.

Nah, ketika berkendara dari bandara menuju kota (atau sebaliknya), kita bisa memandang kota Ambon di seberang teluk. Saat langit gelap, pemandangan seberang tersebut cantik sekali dengan taburan lampunya. Apalagi kontur kota Ambon sangat berbukit, sehingga ia tampak seperti gundukan raksasa yang berbinar.

Saya sama sekali tidak menyangka akan disambut oleh pemandangan kerlap-kerlip yang indah dan syahdu tersebut. Sebaliknya, saya kira saya akan disambut dengan kemeriahan “pesta”.

Pernah saya bertanya kepada seorang guru dance saya yang keturunan Ambon totok: kenapa orang Ambon terkenal pintar sekali menyanyi dan menari? Jawabannya, “Mungkin karena kita suka pesta.”

Katanya, adalah sebuah aib jika seorang Ambon tidak bisa memainkan satupun alat musik, dan tidak bisa menyanyi dengan rapi. Cengkok tidak harus menggelegar, namun minimal tidak fals saat bernyanyi di gereja.

Wajar, dong, kalau saya berkhayal akan disambut di Ambon oleh para njong dan nona yang bermain gitar di pinggir jalan, sambil menari dengan meriah? Hahaha. Kenyataannya, seperti stereotipe lainnya, ya tidak begitu. Ibaratnya, orang Italia tidak mungkin 24 jam makan pizza dan pasta, tho?

Bayangan saya tentang Ambon sebagai “kota pesta” juga semakin dilunturkan oleh seorang rekan perjalanan, yang terus-terusan mengingatkan saya tentang tragedi kerusuhan Ambon tahun 1999 sampai 2002, sejak kami mendarat di kota ini.

“Ini jembatan Merah Putih, yang dibangun setelah konflik Ambon selesai. Golongan Kristen ‘kan disebut "golongan merah", sementara golongan Muslim disebut "golongan putih". Dulu pas konflik, area ini ditutup. Orang susah keluar atau masuk Ambon…” begitu katanya kepada saya, ketika kami sedang menuju kota dengan mobil sewaan.

Nada suaranya pahit, sementara pada tahun 1999, saya baru masuk SMA, aman sejahtera di Jakarta, tidak woke sama sekali, dan tidak peduli dengan berbagai konflik di negara. Waktu itu, yang penting saya bisa makan, sekolah, dan pacaran.

Akibatnya, kerusuhan Ambon hanyalah bayangan samar di kepala, dan saya merasa bersalah.

Mengudap di Ambon

Ambon memang terasosiasi dengan banyak hal: nyanyian, tarian, dan sejarah konfliknya yang kelam. Namun bagi saya, ada satu hal yang tidak terasosiasikan dengan Ambon—kulinernya.

Katanya, sih, prasangka itu tidak boleh. Tetapi meski belum pernah mencoba langsung, saya sudah berkesimpulan makanan asli Ambon kurang menarik, berdasarkan testimoni teman-teman. Tepatnya, hambar.

Konon, makanan Ambon hambar karena dipengaruhi Belanda zaman dulu. Mereka meyakinkan warga Ambon bahwa makanan lebih baik hambar-hambar saja, tidak perlu banyak bumbu, agar bumbunya bisa mereka bawa ke Eropa. Sedih, ya?

Walaupun begitu, saya sempat merasakan seicip dua icip beberapa camilan khas Ambon, salah satunya adalah rujak Natsepa. Catat, Natsepa, bukan “nestapa” seperti yang seringkali orang salah baca, hahaha.

Natsepa adalah salah satu dari dua pantai yang mudah diakses dari pusat kota, selain Pantai Liang. Pada pagi pertama saya di Ambon, saya mampir ke pantai yang berlokasi di Desa Suli ini. Tidak main di laut, sih, karena tidak ada persiapan dan waktu.

Sebagai pelipur lara, saya ngerujak saja.

Rujak Natsepa adalah salah satu panganan terkenal di Ambon. Ia terbuat dari potongan-potongan buah seperti kedondong, pepaya matang, jambu, nanas, timun, mangga, ubi jalar, belimbing, serta bengkoang, dan dibalur oleh bumbu gula merah dan kacang.

20170807_083205

Di sepanjang pinggir pantai ini, ada puluhan warung yang mayoritas menjual rujak dan es kelapa, dua cemilan andalan Natsepa. Setiap warung tersebut bernama “Mama….”. Misalnya, warung Mama Yolanda, Mama Kristina, dan sebagainya, meski tidak ada Mama Mia atau Mama Yukero (you laugh, you’re old!)

Saya tiba di pinggir Pantai Natsepa pukul 10.30. Di Senin pagi ini, suasana sepi sekali. Baru dua Mama yang membuka warungnya. Kepala mereka dililit handuk, seperti orang krimbat di salon—barangkali sebagai sejenis topi chef—sementara tangan mereka sibuk meracik bumbu rujak.

Meski sekilas tampak tidak ada bedanya dengan rujak biasa, kekhasan rujak Natsepa ada di bumbu kacangnya yang tidak ditumbuk halus. Kacangnya cukup diulek enam kali saja, beserta kulitnya. Alhasil, serpihan kacang di bumbu rujak Natsepa terasa “kasar” dan krenyes-krenyes di mulut.

Bumbunya sendiri kental dan berlimpah, tapi rasanya tidak terlalu kuat sampai membuat saya tersengal-sengal kepedasan. Perpaduan manis, gurih, dan pedasnya pun pas. Setiap suapannya ternyata membuat saya ingin menyuap lagi sampai tandas, walau saya bukan penggemar rujak. Bisa jadi karena saya menyantapnya bersama angin sepoi dan deburan ombak laut biru.

Camilan lain yang saya cicipi di Ambon adalah sukun goreng, di Kafe Sibu-Sibu.

Sebelum berangkat, saya sempat Googling, apa tempat nongkrong yang seru di Ambon? Hasilnya, hampir setiap pelosok Internet menyebutkan Kafe Sibu-Sibu.

Apa, sih, serunya?

Kata "sibu-sibu" sendiri artinya "sepoi-sepoi". Nama yang pas, karena kedai kopi yang terletak di pinggir Jl Said Perintah ini bergaya open air alias terbuka, jadi angin sepoi-sepoi selalu terasa. Walaupun akibatnya, bau knalpot jalan raya dan asap rokok juga jadi hadir.

Di Kafe Sibu-Sibu, hal pertama yang menarik mata kita adalah lusinan foto-foto orbek ((orbek)) turunan Ambon yang terpampang di dinding. Foto-foto tersebut menutupi seluruh dinding kafe, dari atas sampai bawah.

Hal ini mengharukan, karena saya jadi tersadar bahwa tokoh hiburan dan olahraga asal Ambon yang legendaris memang sebanyak itu.

Yang kurang mengharukan adalah, ternyata saya lumayan tahu tokoh-tokoh Ambon angkatan tua. Inginnya, ‘kan, berlagak kenal sampai angkatan Andre Hehanusa saja, agar dikata muda. Tetapi nyatanya, saya kenal sampai Yopie Latul dan Daniel Sahuleka *nenggak krim anti-aging*

Walaupun tempatnya sederhana, ada sesuatu di Kafe Sibu-Sibu yang membuat atmosfernya sangat hidup. Mungkin karena layout-nya yang terbuka, mungkin karena pengunjungnya yang selalu ramai, mungkin karena hiburan organ tunggalnya yang kadang cheesy tapi selalu dinanti.

Namun yang pasti, karena makanannya.

Sejak awal tiba di Ambon, rekan perjalanan saya semangat sekali mempromosikan berbagai cemilan di Kafe Sibu-Sibu, terutama sukun gorengnya. Katanya, “Sukun terenak yang pernah saya coba!” Ia juga berulang kali memuji Kopi Sibu-Sibu, kopi robusta yang dihaluskan dengan cara tradisional, lalu disajikan dengan bubuk cengkeh dan taburan biji kenari.

Saya selalu skeptis terhadap klaim bombastis apapun, jadi saya iya-iya saja. Apalagi bapak saya penggemar berat sukun, sehingga di rumah sering tersedia aneka macam sukun. Sukun Sibu-Sibu pun jadi menanggung harapan besar. Kasihan. Awas ya, kalau biasa-biasa aja!

Untungnya, sukun goreng Kafe Sibu-Sibu memang enak. Gurihnya pas, tidak terlalu berserat, dan bertekstur renyah. Kelegitannya didukung dengan sambal yang sedap sekali. Saya juga menyantap pisang goreng serta mencicipi kopi kenari milik teman, dan tidak kecewa.

Kafe Sibu-Sibu adalah kedai kopi paling ternama di kota Ambon, sehingga tempat ini sering menjadi titik temu banyak orang dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak muda, politikus, turis mancanegara, sampai staf pejabat. Malah katanya, titik temu para aktivis dan wartawan yang dulu meliput konflik Ambon ya di sini-sini juga.

Maka kalau dinding Kafe Sibu-Sibu bisa bicara, pasti dia bakal bicara banyak hal seru.

City Tour yang Tidak Disengaja

Katanya, rugi kalau di Ambon tidak mampir di pantainya yang dahsyat. Maka—seperti yang sudah disinggung sebelumnya—saya menyempatkan diri mampir ke Pantai Natsepa.

Sayangnya, ketika saya di sana, air laut sedang sangat pasang, sampai ombaknya menabrak tembok pembatas pantai. Pupuslah khayalan saya berjalan-jalan di garis pantai sambil sesekali mencelupkan kaki di laut.

Terlepas dari hal tersebut, laut di pantai Natsepa sendiri indah luar biasa. Saya tidak ingat, kapan terakhir kali saya memandang laut yang warnanya betul-betul biru seperti di sini, dengan gradasi antara biru safir dan biru turquoise, mulai dari bibir pantai sampai sejauh mata memandang. Alamak!

IMG-20170807-WA0009

Ditambah, kontur pantai Natsepa landai, pasirnya halus, dan airnya tenang karena terhalang teluk. Alhasil, lautan terasa bagai kolam renang biru raksasa yang sedikit bergoyang-goyang ((sedikit bergoyang-goyang)), dan sangat menggoda untuk dicemplungi.

Selain ke Natsepa, saya menyempatkan diri menengok Monumen Pattimura di Pattimura Park, serta patung Christina Martha Tiahahu di Karang Panjang.

20170807_125711

Monumen Pattimura terletak di tengah lapangan publik, sehingga bebas didekati. Sebaliknya, patung Christina Martha Tiahahu berada di area yang agak tertutup, yaitu di sebuah taman dalam kompleks kantor DRPD Maluku. Ketika saya ke sana, pagar taman tersebut dikunci, dan saya hanya bisa memandangi sang patung dari jauh.

20170807_132628

Meski demikian, lokasi patung ini bagus sekali, yaitu di puncak sebuah bukit, menghadap kota Ambon. Hal ini saya temukan dengan tidak sengaja, ketika saya sedang memanjat pagar besi taman tersebut, demi memotret Nona Christina tanpa terhalang besi pagar.

Jadi ketika saya menengok ke kanan saat menclok di pagar, lho, kok pemandangannya keren banget?

20170807_133059

Pengalaman yang tidak kalah seru adalah tersasar setengah jam bersama abang becak.

Jalanan di pusat kota Ambon cukup sempit, sehingga walaupun Ambon tidak sepadat Jakarta, pada jam-jam ramai, pusat kota akan macet sekali.

Maka setelah mengunjungi patung Christina Martha Tiahahu, saya memutuskan untuk pulang ke hotel naik becak. Lebih baik bermacet-macetan naik becak, deh, daripada naik mobil yang membosankan. Saya pun menyuruh Pak Supir mobil sewaan saya untuk kembali ke hotel duluan, sementara saya pulang sendirian dengan becak.

Ujung-ujungnya... malah nyasar selama setengah jam lebih.

Seharusnya, dari awal saya sudah curiga bahwa saya akan nyasar jauh, meski jarak antara pangkalan becak dengan hotel dekat.

Pasalnya, pertama, saya tidak paham jalan. Kata adik saya, saya adalah manusia dengan sense of direction terburuk di dunia. Hal ini dia lontarkan ketika kami sedang di Singapura, beberapa tahun lalu, saat saya bolak-balik bingung mencari jalan ke hotel, dari sebuah mall di Singapura. Padahal hotel dan mall-nya sama-sama di Orchard Road. Kasihan, ya?

Kedua, mobile Internet saya mati. Seperti yang kita semua tahu, hanya ada satu provider mobile yang bisa menjangkau seluruh penjuru Indonesia. Provider mobile saya bukan provider tersebut, jadi sudah pasti keok di Indonesia Timur. Di luar wi-fi hotel, saya hanya bisa menelpon dan SMS, boro-boro membuka aplikasi GPS seperti Google Maps.

Ketiga, dengan lalainya, saya berpraduga abang becak saya sepintar abang-abang ojek online di Jakarta. Jadi saya seenaknya saja bertitah, “Bang! Ke hotel xxx, ya!”, meletakkan pantat di jok kursi becak, lalu ongkang-ongkang kaki karena menganggap si abang sudah paham.

Praduga memang berbahaya, pemirsa. Meskipun dia berkali-kali mengangguk bak perkutut, ternyata si abang tidak tahu hotel saya ada dimana. Tragisnya lagi, dia sepertinya tidak mengerti bahasa Indonesia. Dia hanya memahami bahasa Ambon, atau bahasa Indonesia dengan dialek Ambon yang kental.

Setelah 15-20 menit berputar-putar, tentunya saya mulai panik. Gagal berkomunikasi dengan si abang becak dengan bahasa Tarzan, saya pun menyerah. Saya turun di pinggir jalan lalu menelpon Pak Supir, minta dijemput di jalan antah berantah, hahaha.

Saya merasa gagal jadi traveller, tapi hei, lumayan bisa city tour kota Ambon naik becak seharga 15 ribu. Saya sempat melihat Lapangan Merdeka, Gong Perdamaian, dan mendapat bonus uji keberanian saat diteriaki, “Nona mau ke mana?!” oleh segerombolan njong Ambon yang nongkrong di sebuah bengkel, karena becak saya sudah melewati tempat nongkrong mereka dua kali.

Suit suiiiit! 

***

Ada perdebatan: liburan itu lebih baik berdurasi pendek tetapi sering dilakukan, atau lama tetapi jarang? Hasil riset ilmiahnya menyatakan—surprise, surprise—pendek tetapi sering. Karena semakin sering kita bepergian, semakin sering juga kita merasakan antisipasi dan excitement pra-liburan. Tentunya yang paling membahagiakan adalah sering bepergian, dalam durasi yang lama. Sayangnya, kita tidak punya pohon duit, hihihi.

Terpengaruh dengan riset tersebut, saya jadi lebih menghargai plesir-plesir pendek, seperti saat ke Bandung dulu, dan ke Ambon ini. Terbukti, walaupun saya di Ambon kurang lebih hanya 35 jam, sama sekali tidak menginjakkan kaki di Pulau Ora, Pulau Kei, dan pulau-pulau “wajib” lainnya, dan gagal mewujudkan khayalan berpesta bersama para njong Ambon (khayalan macam apa ini?), saya tetap senang.

Mungkin senang karena tandanya, saya harus kembali.

7 comments:

gestigege said...

Ah Ambon, bbrp tahun lalu aku pun 24 jam di sana karena bos maksa penerbangan Sorong-Jakarta harus transit di Ambon bukan Makassar. Standarnya yaaa nongkrong di pantai, makan rujak, dan rela sejam di perjalanan demi lihat batu layar, niat beli mutiara tahunya mahal-jadinya beli kayu putih, dan mesen ikan asap untuk di bawa pulang.
Surealis. Terasanya tak real. Sampai skrg pikiran sering menganggap itu mungkin mimpi daripada pengalaman perjalanan.
Bagi gw dan rekan perjalanan saat itu tak ada aktivitas nongkrong di pantai yang bikin sesendu dan segelisah memandang ombak pantai di Ambon; campuran keindahan dan kesedihan karna jauh dari rumah.

Khairunnisa Siregar said...

Indonesia Timur memang deh pantainya juara banget. Mesti balik lagi berarti itu Kak Lei buat ke Ora sama Kei haha.

Unknown said...

Kurang swag bahasanya..berasa bukan mbkley😅😅😅😅

Yusiesisy.com said...

Hampir saja aku gak baca sampai selesai, karena agak gak enakeun nih kak Lei.. kusuka tulisanmu selain yg ini, muehehe.. tapi aku seneng ada postingan baru di blog ini 😘

Windi said...

Buatku mah tulisan mba Lei dalam gaya apapun tetep asyiiikk...serasa terhanyut didalamnya, walaupun isinya cuma makan rujak, makan sukun, dan liat patung :D :D

ryztn said...

Mama yukero,mama yukero mamayukero mamaaaa...((you sing,you lose!)).
Ngitung banget mbakLeii bumbu kacangnya diulek sampai 6 kali :)
Aku mah mau mbakLei nulis gaya kupu-kupu atau gaya punggung juga tetap sukaaa. Apalagi kalo postingannya tentang gemoptronzzz *teteupp GoT*

Bunda Bibi said...

walaupun formal tapi tetap membuat saya serasa ikut didalam cerita, sukaaak :D

Post a Comment