May 24, 2017

Parenting Fails

DSCF3690
Wah, gede amat!

Jadi orangtua itu banyak manisnya, banyak juga asemnya. Bagi gue, salah satu “asem”-nya adalah parenting fails.

Setiap orangtua pasti pernah fail, alias nggak sengaja melakukan kesalahan yang rasanya kok… ya, fail banget. Dilakukannya nggak sengaja, sih, tapi tetep aja. Rasanya gatot segala ilmu parenting yang udah ditimba.

Sebagai hamba Allah yang penuh dengan ketidaksempurnaan, parenting fails gue tentunya ada segambreng, tapi berikut yang sejauh ini paling terngiang.

Parenting Fail #1

Ini cerita di tahun 2015, pas kami ke Eropa, dan Raya masih umur tiga tahun.

Suatu hari, Raya lagi asyik sendiri main-mainin jarinya. Tanpa sengaja, dia ngacungin jari tengahnya, trus dilambai-lambaikan. Gue panik, dong! Walaupun Raya nggak tahu maknanya, ‘kan gue takut ada bule tersinggung! Nanti kita dikira orang nggak bener (padahal emang iya).
   
Secara refleks, gue menghardik Raya. “Raya! Nggak boleh angkat jari tengah gitu!!!” Karena hardikannya cukup keras, Raya pun malah jadi… penasaran. Tau perasaan “makin dilarang makin geregetan” 'kan? Nah.

Harusnya gue melarang Raya dengan chill aja ya, nggak kaget-panik, gitu. Huft.

Alhasil sampai sekarang, gestur jari tengah jadi nempel banget di kepala Raya.

R: “Bu, emang kenapa, sih, jari tengah nggak boleh diangkat?”
L: “Karena itu gestur nggak baik. Kasar. Kayak ngeledek. Orang bisa marah kalo diledek.”
R: “Kenapa?”
L: “Ya, kasar aja.”
R: “Kenapa? Nih, Raya coba angkat jari tengah, ya… nih… emang kenapa? Orang pada marah nggak? Nggak, tuh!”

Zzzzz.

Trus, kalo Raya lagi iseng atau kesel sama gue, dia bakal melambaikan jari tengahnya sambil senyum-senyum jail, lho, karena dia terlanjur tau, it is one of my “off buttons” (FYI, he knows a lot of my “off buttons”. Kesel, ya).

Sekeras apapun gue berusaha membalik stigma tersebut, nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Selamat ya, La!

Parenting Fail #2

Kejadian ini baru aja terjadi di Seoul, pas transit dalam perjalanan ke Amerika Serikat. Dari Jakarta, kami ‘kan ke Seoul dulu untuk menginap satu malam, sebelum terbang ke Amerika keesokan harinya harinya.

Setelah mendarat di Incheon International Airport, kami cusss ke hotel, naik shuttle van hotel yang menjemput.

Sebelnya, sopir shuttle van yang ngejemput kami, tuh, nyetirnya ugal-ugalan banget. Ngebut terus, dan hobi ngerem mendadak. Bikin pusing banget, deh.

Sekonyong-konyong, tercetuslah omongan dari mulut gue yang santun ini, “Kenapa, sih, dia ngebut banget? Kebelet berak, ya?”

Langsung, dong, Raya ngakaaaak trus bersenandung, “Hahaha! Omnya kebelet berak! Om berak! Om berak!”

Asyemnya, T ikutan ngakak. Makin seneng, deh, bocahe!

Trus, ya, selama 24 jam ke depan, sebutan “Om Berak” ini dipakai Raya terus dalam percakapan kasual, lho, walaupun gue udah bolak-balik larang dan kasih pengertian.

“Bu, nanti kita ke bandara diantar sama Om Berak lagi?”

“Om Berak sekarang lagi apa?”

Ketika ngomong kalimat-kalimat tersebut, mukanya pun lempeng tak berdosa. Nurun dari mana ini?!

Parenting Fail #3

Ini adalah parenting fail yang paling membekas di hati gue, T, dan mungkin Raya, meski kejadiannya udah lama, ketika anaknya masih umur dua tahun.

Dulu, gue belum paham bahwa Raya adalah anak yang high-anxiety. Semua anak pasti punya rasa cemas, ya, tapi gue merasa tingkat kecemasan Raya di atas anak-anak lainnya. I understand this, because I also have high-anxiety, sehingga gue paham ciri-cirinya.

Dulu gue nggak paham hal ini. Gue kira Raya cuma pemalu, introvert, dan susah akrab sama orang baru aja.

Eniwei, ketika Raya berumur 2,5 tahun, kami liburan ke Bali, sekitar semingguan.

Menjelang akhir liburan, gue merasa lumayan lodoh ngangon Raya yang waktu itu lagi "sulit"—sulit makan, sulit dibawa-bawa, sulit semua—dan kepengen banget me-time. Akhirnya gue bilang ke T, bahwa gue pengen coba nitipin Raya di sebuah kids club beken di Bali.

Kids club ini sebenarnya seperti semacam daycare, karena anak-anak nggak boleh ditemani guardian-nya. Ortu atau pengasuh boleh nungguin, tapi di luar area bermain. Di internet, review kids club ini bagus banget—fasilitasnya lengkap, kids activities-nya seru-seru, dan ada sejumlah pengasuh yang akan terus mengawasi dan mengajak anak-anak main. Disediakan makan dan snacks pula.

Kami bawa, deh, Raya ke kids club tersebut. Walaupun awalnya ragu, Raya akhirnya mau masuk, menjelajah, dan main-main sendiri. Selama 15-20 menit pertama, Raya diobservasi dulu. Setelah kami rasa anaknya oke, kami berulang-ulang tanya, “Raya mau main di sini dulu sama Miss-nya? Ibu sama Papa pergi dulu, ya? Raya nggak apa-apa ya, Ibu pergi sebentar? Raya nggak apa-apa?”

Berkali-kali ditanya, berkali-kali Raya jawab, “Iya.” Lagaknya kurang yakin, sih, tapi gue dan T meyakinkan diri bahwa dia akan baik-baik aja.

Ya udah, deh. Setelah pamit-pamit, gue dan T pergi cari makan di restoran yang nggak terlalu jauh dari kids club tersebut.

Eeh, pas baruuu aja pesan makanan, gue dapat telpon dari si kids club. “Miss”-nya bilang, “Bu, langsung jemput Raya ya Bu…” dan di latar belakang, ada suara Raya nangis meraung-raung.

Hati gue langsung coplok ke lantai. Kenapaaaa? Ada apa?!

Rupanya dia baik-baik aja, dalam artian nggak cedera. Tapi lima menit setelah ditinggal, Raya panik sekali nyariin gue dan T.

Katanya, para Miss di kids club tersebut nggak langsung nelpon gue, karena mereka berusaha membujuk dan menenangkan Raya dulu. Tapi nggak mempan acan, bundaaa.

Gue dan T langsung loncat ke mobil. Sialnya, walaupun jarak restoran ke kids club tersebut dekat, jalanan macet banget. Mau putar balik aja setengah mati, sementara si kids club bolak-balik nelponin mulu.

Ketika kami sampai, Raya udah kayak anak korban perang yang patah hati habis-habisan gara-gara “kehilangan” orangtuanya. He was standing in the middle of the room, screaming broken-heartedly, dikelilingi para Miss yang berusaha membujuk Raya dengan percuma.

Langsung gue peluk Raya sambil ikutan nangis. Sumpah, kalau ini film, ini adegan klimaks tangis-tangisannya, deh.

Yang paling bikin gue sedih adalah, Raya jadi trauma.

Jadi gara-gara peristiwa ini, sepulang dari Bali, Raya mengalami separation anxiety yang warbiyasak. Dia jadi ketakutan sekali ditinggal lagi sama gue atau T. Sampe-sampe, selama sebulan, Raya nggak mau sekolah, karena takut ditinggal. Padahal sebelum ke Bali, Raya udah oke banget sekolah tanpa ditungguin.

Karena sekolah Raya punya aturan yang streng untuk masalah begini, Raya tetap “didisiplinkan” untuk berpisah sama gue tiap sekolah. Nggak pake ditungguin, karena nanti anaknya makin regresi. Jadilah, tiap pagi selama sebulan, terjadi drama kumbara di kelasnya Raya. Anak nangis, ibu juga nangis (dalam hati).

Trus, selama sebulan itu, setiap kali Raya denger nama kids club yang bersangkutan, dia mewek, lho.

Jangan ditanya, deh, bagaimana pecahnya hatiku. Ambyar banget. It was one of my hardest moments as a parent, because I felt I created Raya’s trauma.

Pada akhirnya, Raya baik-baik aja. Separation anxiety-nya membaik, dan dia mau sekolah dengan inisiatif sendiri lagi. Walaupun untuk sementara waktu, Raya “alergi” sama nama kids club tersebut (sekarang udah nggak, kok. Diajak ke sana lagi juga mau).

Meski kejadian ini sudah jadi kenangan masa lalu, mata gue masih berkaca-kaca kalo ingat kejadian itu lagi. Kids club-nya sama sekali nggak salah, lho. I blamed myself, apalagi kalo gue ingat bahwa Raya dan T sendiri sempat ragu dengan ide kids club tersebut. Guenya aja yang rewel pengen me-time.

I am strong believer of the “oxygen mask theory”, jadi gue tau, gue nggak boleh menyesali keinginan dan keputusan gue untuk me-time. But if you are a parent yourselves, I’m sure you can imagine my guilt.

Akhir kata, post ini akan kututup dengan sebait puisi:

Oh, jadi orangtua,
Sungguh tak seindah Instagram Ibu Kawa.

MBEEEER!

16 comments:

Unknown said...

BUAHAHAHAHA, puisinya juaraaaaakkk! MBEEEER! Makasih loh, bikin saya ngakak pagi-pagi di kantor. Love you full, lah Mbak Lei! X))

daisy sunshine said...

Hahahaha PUISINYA cetaaar bgt mbak lei! Mewakili perasaan ibuk-ibuk seindonesia raya :D

Jane Reggievia said...

HAHAHA EMBYERRR banget puisinya! ((((:

Baru aja kemarin ini nulis salah satu parenting fails di blog, apalagi kalo bukan soal makan, hufft. Namun pada akhirnya semua akan terlewati ya *amiennn*

besinikel said...

PUISINYAAAA HAHAHAHAHAHAAAHAHAHAHAHHA

*duh, maap. tapi isi hatiku banget itu puisinya hahaha :D

Annisa Rismitanti said...

Maaakkk puisinya hahaha :)))))))))))

Awas disamperin paksuaminya~

MiawGuk said...

Ibu Kawa Zen banget kalo di liat dari timeline IG nya.. MUAHHAHA
beda jauh sama parenting life gw.... haiz

Szasadiandra said...

Anaknya anak ajaib!! Bikin baper ibu baru seendonesia rayaaa.

Btw mba lei, sama deh jadi ibu2 gampang ikut nangis kalo anaknya nangis. Masih peer banget jadi strong depan anak

Azelia Trifiana said...

Untung aku jadi parent di saat ada tulisan2 semacam ini. Dan puisi itu tentu saja hahhaahak!

Unknown said...

yawla puisinyaaa...
jadi penasaran ART nya berapa 😂😂

pepi said...

Ha3 PUISINYA!!!!!

Yang udah duluan jadi ibu2 mah tau banget pencitraan warbiyasak seperti apa yang ada di IG itu ��
Btw Lei, jadi ortu emang pekerjaan paling susah sih menurut gw. Lelah hayati bokkk ha3
Eiya ditunggu dong lanjutan cerita amerika nya ��

wina said...

aku masih memikirkan, yang gede bgt di fotonya raya apa ya? embernya?

prin_theth said...

Apa hayoooo... besar dan panjhang :D

Shanti said...

ya ampun kaak.. aku bacanya dari ngakak, sedih, ampe NGAKAK lagi di akhir hahahahah..

Unknown said...

Allohuakbar... aku salfok sama foto di atas.. hahaha...

Sissy said...

suka sama tulisannya as always dan dan dan puisinya epic sekaliiii...

imelda said...

parenting fails nomor 2...bwahahahahaa......jadi ikut ngebayangin di tengah2 umum Raya ngomong pake wajah lempeng. Duh Gusti, kalo kejadian di saya, rasanya pengen nyemplung sumur aja, dan gak mau ngakuin jadi ortunya tu anak hahahaha.

Post a Comment