May 15, 2017

Hari Senin


Gue tuh ‘kan sebenarnya suka merasa kompetitif, termasuk dalam hal tulis-menulis. Kalau baca artikel, potongan tulisan, editorial, atau apalah, gue selalu merasa. “Gue juga bisa bikin yang bagus kayak gini, nih! Tapi males aja!” Hahaha, males kok ngaku, ya.

Kecuali fiksi. Duh, never in my life I feel I could make a decent piece of fiction. Gue pernah mempublikasikan tulisan-tulisan pendek gue—mungkin sejenis puisi, ya—bersama “100Kata”, tapi bahkan sampai sekarang, gue nggak merasa sreg dan benar-benar puas dengan karya fiksi gue. Cenderung malu, malah.

But from time to time, dorongan untuk membuat fiksi muncul dalam diri gue. 

Aslinya, gue selalu kepengen membuat cerpen horor/thriller yang “berkelas” dan “pintar”. Tentunya ini gara-gara junjunganku sepanjang masa, Stephen King. But I could never do it. Yang keluar cuma prosa pendek bernuansa melankolis, kayak ini dan ini.

This weekend, that urge came out again.

A friend of mine hates weekends, because her boyfriend works on weekends. Both days. Thus, this story.

***

Hari Senin

Minggu malam. Sebentar lagi, akhir pekan usai.

Kebanyakan orang gontai sekali di waktu-waktu ini, karena tak sampai belasan jam lagi, mereka harus meninggalkan leha-leha hari libur, dan kembali menyambut Senin. Senin yang padat. Senin yang macet. Senin yang sibuk. Senin yang capek. Senin yang tak dinanti.

Tidak terhitung ada berapa banyak promosi, acara atau program hiburan yang hadir khusus di hari Senin, agar ia tidak terlalu dibenci. Sukses? Entah.

Tapi Tria selalu menanti Senin.

Bahkan, sejak Jumat malam, Tria sudah menyiapkan dirinya untuk Senin.

Ia mengisi kepalanya dengan hal-hal berfaedah, seperti banyak membaca—mulai dari bacaan-bacaan yang menarik, seperti kebanyakan artikel di The New York Times Magazine, sampai yang membuatnya menguap setelah hanya dibaca dua paragraf, seperti buku politik milik ayahnya—dan menonton film-film yang mendapat penghargaan internasional.

Ia merawat sekujur tubuhnya agar wangi, mulus, indah. Dengan lulur, masker, ratus.

Ia mendengarkan banyak lagu, terutama yang melankolis dan mencucuk hati. Lagu tentang rasa rindu, lagu tentang patah hati, lagu tentang cinta tak berbalas, karena semua mewakili perasaannya sepanjang akhir pekan. Ketika Whitney Houston menjeritkan lirik lagu lawasnya, “Though I try to resist / being last on your list / But no other man's gonna do / So I'm saving all my love for you,” gadis malang ini selalu ingin ikut menjerit dengan mata berkaca-kaca.

Biasanya Tria mendengarkan lagu-lagu “masokis” tersebut sejak matahari Minggu mulai terbenam. Seringkali lagu-lagu itu mengantarnya tertidur, dengan airmata yang tidak kering di pipi.

Namun Tria tidak keberatan. Toh ketika ia bangun nanti, akhir pekan sudah usai, seiring dengan kesedihannya. Dan ia bisa kembali bersama Mas Adi.

Bagi Tria, akhir pekan adalah gelap, Senin adalah terang, dan Mas Adi adalah mataharinya. Mas Adi yang didamba dan tak tercela di mata Tria. Mulai dari senyumnya, kacamatanya, dan kedewasaannya. Ia tak sabar berbincang tentang bacaan-bacaan menarik yang ia lahap sejak Jumat. Ia tak sabar merasakan bibir Mas Adi di kulitnya. Ia tak sabar menertawakan lagu-lagu “masokis” yang sempat membuatnya tersiksa. Bersama Mas Adi, Tria bahagia, dan lagu-lagu cengeng tersebut jadi terdengar konyol.

Tria selalu menanti Senin, karena sepanjang akhir pekan, Mas Adi bukan miliknya.

Minggu malam. Sebentar lagi, akhir pekan usai. Whitney Houston bersenandung lirih,  “A few stolen moments / is all that we shared / You've got your family / and they need you there...”

11 comments:

Izna Amalia said...

Deep. Jadi valakor emg masokis sih ya (kayanya). Cakep Mba Lei, bikin yang panjangan lagi dooong siapa tau bisa ikutan di kumpulan cerpen Kompas :)

prin_theth said...

Terimakasiiih Izna :D Tapi duh boro-boro masuk Kompas. Bikin fiksi untuk blog sendiri aja aku krisis PD

gestigege said...

Toss sama..kalo nulis fiksi suka berasa kaku, ga ngalir. Temen yang jujur ampe bilang 'tulisan fiksi lo bapuuuk'. Kak Laila jelas jauh lebih jago lah nulis fiksi, konsepnya keren (aku cynta perumpamaan eye liner itu), cuman emang tulisan non-fiksi mu lebih luwes dan beridentitas. Masalah jam terbang aja kali yaah. Lanjutkaaaan!!

Anonymous said...

Karaoke karokowe yuuukkkkk

-bolissa-

Dian Komalajaya said...

pedih .T_T.

Dian Komalajaya said...

tapi ay layk the song so muchhhh <3

prin_theth said...

Bismillahhh! I looove short fiction, tapi bikinnya gilaaak susah banget. Beberapa kali pengen ikut kelas fiksi-nya Leila S. Chudori tapi keder melulu, sumpah. Kamu juga lanjutkan ya, Ge!

prin_theth said...

Hahahaha tuh 'kan, muncul deh jej. Yuk!

prin_theth said...

Hahaha... aku malah kursuk sama lagunya. Mendingan hendaaaaiyaaaa, will alwaysss lafyuuu... tapi khazanah lagu selingkuhku sedikit ((lagu selingkuh))

gestigege said...

Pernah bbrp tahun lalu akuh nulis cerpen judulnya Hari Sabtu, tentang selingkuhan juga, kuikutkan lomba menulis fiksi anti korupsi...ya boro boro menang lah yah, da teu nyambung....hahaa. Kutunggu yahh next short fiction nya, Laila King!

Jane Reggievia said...

So mellow so sedih /:

Nulis fiksi memang harus lebih peka sama segala sesuatu ya, baru bisa 'ngelahirin' tulisan keren. Eh tapi cerita tentang eyeliner masih jadi favoritku, Mba Lei.

Post a Comment