Jul 27, 2016

Ready To Be Gen Z, Mommies?

Apakah kita semua sudah move-on dari Awkarin? Udah, ya? #akubosan #akulelah

Gue juga nggak kepengen media terus-terusan berusaha mendongkrak traffic mereka dengan membahas Awkarin lagiii, Awkarin lagi. Semacam males banget, deh, usaha nyari topik lain yang bisa viral.

Plus, udahan aja nggak, sih, ngasih “panggung” ke orang-orang yang nggak layak dapat panggung?

WHY?!

Tapi harus gue akui, isu Karin ini memberikan pencerahan yang bagus banget untuk gue, sebagai seorang orangtua.

Pencerahannya adalah: Karin bukan sosok istimewa. 

Sebenarnya anak muda setipe Karin sudah mulai menjadi standar normal—minimal kiblat—remaja perkotaan. Kita kaget bukan karena Karin parah banget. Kita kaget karena selama ini kita ignorant aja. Nggak tau apa-apa selama ini.

Tetapi sebelum ebes-ebes sekalian rame-rame menyemburkan air zam-zam ke dedek-dedek jaman sekarang, coba pada inget-inget lagi, deh. Masa mudanya dulu pada kayak apa, sih? Masih pada inget nggak?

I do. I had my first taste of clubbing and probably a bit of drugs (ARE MY PARENTS READING THIS?!) before high school. One or two friends of mine lost their virginity during high school, and a bunch of them during college years.

Intinya, nggak ada generasi yang “suci” pada masa mudanya. Kita semua pasti pasti pernah bandel dan alay pas remaja, pada taraf yang berbeda-beda.

Tapi apakah berarti gue bakal ongkang kaki santai kalau Raya jadi bandel dan alay juga nanti? Apalagi mengingat tingkat kebandelan, kealayan, dan kenorakan generasi Raya bakal berkali lipat lebih jauh dibandingkan generasi sekarang.

Masalah, dong. Sebagai orangtua, gue berkewajiban rem-rem dikit, dan memberitahu anak gue mana yang salah, mana yang benar.

Trus, kita bisa apa? Kita ‘kan nggak mungkin menghentikan jaman. Lagian sesuai dengan kodrat Tuhan, semakin lama jaman memang akan semakin mendekati kehancuran, kok *pasang jilbab Mamah Dedeh*

What we CAN do, though, is to jump into today’s teens’ world, sehingga kita bisa memahami, dunia mereka sekarang kayak apa. Nggak sepenuhnya buruk, kok, tapi jelas beda banget dengan jaman kita dulu.

Berikut adalah secuil action plan yang gue simpulkan sendiri, yang kayaknya bisa dilakukan untuk para ebes-ebes lain.

1. Jangan bangga gaptek dan ketinggalan jaman.


Teman-teman seangkatan gue (baca: generasi 90an) banyak yang tampak bangga dan bahkan berusaha mempertahankan ke-gaptek-an dan ke-ketinggalan-jaman-an mereka. Terutama teman-teman gue yang belum punya anak, ya.

Alasan utamanya adalah karena… males. Capek, mak, ngejar teknologi dan tren.

Alasan keduanya adalah karena angkatan gue terlalu terjebak nostalgia. Generasi 90an memang generasi transisi yang ngalamin revolusi digital. Ngerasain era analog, tapi juga ngerasain era digital sekarang ini. Jadinya agak-agak gamang, gituh.

Sebagian besar generasi 90an merasa bahwa generasinya adalah yang terkeren, sementara generasi anak muda jaman sekarang shallow banget. So why would they want to be in the same crowd with those young punks?

Seorang teman gue pernah bilang, “Gengsi, dong, punya sosmed yang sama dengan bocah-bocah generasi instan yang bahkan nggak tahu The Beatles itu siapa! Ya nggak?”

Nggak.

Saat kasus Awkarin heboh, kebanyakan orangtua cuma ngintip Instagram Karin, dan menonton SATU vlog Karin. Padahal akun Instagram dan vlog nangis-nangisnya Karin itu SAMA SEKALI nggak mewakili keseharian Karin.

Harusnya para orangtua tekun nontonin vlog-vlog-nya Karin yang lain, supaya mereka liat adegan Karin cium-ciuman sama Gaga, trus ereksi Gaga disorot, lalu ditepuk-tepuk. Yes, on goddamn Youtube, for the world to see.

Harusnya para orangtua juga tekun nontonin Snapchat-nya Karin, supaya mereka liat profanities dan kelakuan-kelakuan ndesonya yang sama sekali nggak ditampilkan di Instagramnya.

Jadi kalo, misalnya, kita nggak punya (dan nggak paham) Snapchat, we are missing out on witnessing those daily behaviors, lho.


2. Ikuti perkembangan sosmed anak muda. 

Walaupun platform-nya sama, dunia sosmed-nya dedek-dedek tuh beda, lho dengan dunia sosmed kita.

Sebagai contoh, gue—dan kebanyakan teman gue—menggunakan Instagram sebagai semacam visual diary yang menampilkan keseharian kita, in chronological order.

Tapi bagi para selebgram SMA, Instagram adalah sebuah platform untuk memajang foto-foto cantik ala fashion editorial, dan endorsement melulu. Instagram dijadikan semacam “portfolio” dan lapak jualan mereka.

Alhasil, mereka bakal jaga image di Instagram. Foto-fotonya dibuat secantik mungkin. Maka seperti yang tadi gue bilang, keseharian Karin yang sebenarnya sama sekali nggak terefleksikan di Instagramnya.

Contoh lainnya adalah ask.fm.

Buat yang masih asing, Ask.fm adalah salah satu platform sosmed favorit anak-anak SMA, bahkan kayaknya jauh sebelum Instagram. Platform-nya seperti apa? Intinya platform tanya-jawab, sih. Meski yang pasti bukan tanya-jawab materi pelajaran, zzzz. Ulik sendiri, ya.

Gue beberapa kali menemukan akun Instagram dedek-dedek SMA yang followers-nya banyaaaak sekali, padahal postingan fotonya baru sedikit. Apakah mereka beli follower? Nggak juga. Biasanya, sih, mereka adalah “artis ask.fm” yang baru punya akun Instagram, sehingga fans-fans mereka di ask.fm juga ikut hijrah ke Instagram.

Selain itu, ibu-ibu, jangan cuma tau Whatsapp, ya. Make LINE one of your primary chatting platforms, dan jangan cuma buat chatting sama sis-sis online shop. Pahami juga Snapchat, Musically, Phhhoto, Tumblr, bahkan Tinder. Yes, (some) college kids are on Tinder.

Memang capek, sih, kalo harus mulai memakai dan memahami semua aplikasi tersebut. Mungkin nggak harus langsung diselami semua, ya, but choose your primary weapons, deh.

3. Pahami bahasa mereka.

Salah satu faktor yang bikin angkatan gue males follow sosmed dedek-dedek adalah karena bahasa mereka roaming banget. Pada ngomong 'paan sih?!

Generation gap ini diperparah karena generasi gue suka merasa jijay untuk paham bahasa anak muda. Paham istilah “baper” dan “gabut” aja pada suka merasa, “Iiih, kok gue paham, yaaa…? Bahasa anak jaman sekarang enggak banget, deh!”

Padahal dengan men-jijay-jijay-kan dedek-dedek begitu, kita jadi semakin ”jauh” dengan dunia mereka.

Coba pahami apa arti dari istilah sehari-hari mereka seperti baper, gabut, sebats, AF, lit, savage, on fleek, squad, #goals, queen, slay, yaaasss, jones, no chill, PAP, juga tren-tren sosial media seperti #runningmanchallenge, dabbing, ghosting, dan sebagainya.

Nggak mau nanggung? Pahami juga lagu-lagunya! Gue sendiri rutin mencekoki diri gue sendiri dengan playlist kekinian di Spotify. Awalnya tersiksa, eh lama-lama jadi hapal sama lagu-lagunya Desiigner sampe se-album barunya Drake. Baaaabyyyy… I like your styyyle… 

 Don't be uncool like this guy. Learn how to dab properly!

4. Follow akun dedek-dedek, on various platforms.


Mulai dari Instagram sampe Snapchat. Rutin juga cek-cek ask.fm mereka yang nggak di-private, dan tonton daily vlog-nya.

Bagi gue, mem-follow sosmed dedek-dedek ini adalah sebentuk siksaan, karena sebagian dari mereka—harus diakui—norak banget. Daily vlog-nya juga mundane berat, tanpa karya yang benar-benar berarti.

Nggak semuanya begitu, sih. Ada dedek-dedek yang otak bisnisnya jalan banget.

Contoh, ada seorang selebgram SMA yang punya geng yang tampak keren banget. Persahabatan keren mereka pun suka dipamerkan di Instagram dan vlog si selebgram. Kalah, deh, “squad”nya Taylor Swift.

Kemudian terbongkar bahwa persahabatan mereka tidaklah asli. Jadi, si selebgram semacam scouting alias berburu cewek-cewek keren di Instagram, trus si selebgram mengirimkan mereka message, mengajak masing-masing cewek-cewek keren itu untuk hang-out bareng, photoshoot bareng, travelling bareng, untuk ditampilkan di sosmednya.

Ujung-ujungnya, mereka semua akan untung, kok, karena jadi saling mendongkrak ketenaran satu sama lain.

OTAK BISNIS JALAN BANGET NGGAK, TUH?!

5. Don’t public shame them
.

Dalam perjalanan menyelami dunia dedek-dedek ini, kita pasti akan menemukan banyak tren dan kecenderungan yang nggak sesuai dengan prinsip dan pandangan kita, sebagai ibu-ibu basi.  But don’t always public shame them. Jangan dikomentari, jangan (sering-sering) meng-skrinkep dan menjelek-jelekin mereka di sosmed kita sendiri.

Tujuan gue pribadi menyelami dunia dedek-dedek ini bukan untuk nyela hal-hal kecil yang mereka lakukan, tetapi melihat dunia mereka secara keseluruhan. Utamanya untuk menyiapkan mental dan pola pikir gue sebagai orangtua.

Jadi gue merem aja, deh, ngeliat dedek-dedek umbar tetikadi, vaping melulu, ngomong “njing” dan “ntot” tiga menit sekali, dan hobi bikin tutorial makeup look untuk… ke sekolah (sekolah ya, bukan kampus).

Lagian, kalo kita sering public shaming dedek-dedek ini, lama-lama mereka paham bahwa mereka sedang “diawasi”. Nanti pada makin kabur, deh!

Have fun, mommies! (or not).

29 comments:

Unknown said...

gw pernah stalking mantan pacarnya adek gw yang abege sama pacar barunya dia, mulai dari twitter, ask.fm sampe instagram, kemudian pusing.
ini abg-abg pada punya duit darimana sih bisa clubbing seminggu 3 kali, yalan-yalan dan makan-makan ke kafe-kafe hits padahal kayaknya bukan anak orang kaya.
belom lagi maenannya kamera yg gw tau harganya puluhan jeti pula, ini bulu keteknya emas apa gimana sik?!?
gw jadi pengen install snapchat gara-gara postingan ini, demi anaakk apapun ku lakukan lah, jangankan jadi alay jual ginjal pun ku lakonin.

Anonymous said...

Iyah aku pun pertama tau Awkarin di AskFm.... Slama ini malah doyannya ngepoin jawaban remaja cerdas macam evita nuh (sambil berpikir gmn caranya punya anak dgn pemikiran keren kurleb macam begitu) plus sama buat ngepoin sepupu2 SMA (yg ga ngeuh difollow tantenya yg tantegirang). Kalau soal lagu masa kini,kibaskibas bendera putih dehh gw nya lemot nangkepp lirik2 western. T.T

Btw kalo boleh curhat lagi-tapi di luar topik(maap curhat mlulu), sejatinya aku sirik sirik excited gimanaaa gitu sama generasi Z/anak anak kita ini dengan segala fasilitas yg lebih canggih plus kompetisi yg lebih ketat karena dengan begitu sosok sosok Gen Z yang sukses melalui tantangan zaman akan bisa menyalip satu atau bahkan dua generasi di atasnya. *Karena sekarang aja CEO perusahaan umurnya 20something bangett kann :)

Anonymous said...

Bener sih, jaman gue SMP aja yang lokasinya di kota kecil, di akhir tahun 90an, udah ada yang melakukan seks bebas sampe narkoba padahal itu di sekolah favorit di kota itu.

Ngeliat fenomena ini gue jadi suka merinding membayangkan gimana anak gue ntar. Gue jadi mikir orang paling beruntung tuh sebenernya orang yang punya anak sholeh, yang bisa jadi amal jariyah pas kita meninggal nanti.

Sekarang gue cuma pengen berdoa sama Allah SWT supaya anak gue dijauhkan dari hal2 sedemikian, dan gue berusaha jadi 'tiger mom' sekuatnya kayak si Amy Chua dan menanamkan value of delayed gratification ke jiwa anak gue.



tia said...

ngeri-oh ngerii. ini ceritanya kita mesti jadi intel di arena sosmed anak muda gaol jaman sekarang ya. mesti kuat2in iman dan mulut nih biar bisa anteng mantengin polah tingkah mereka, demi bisa menjaring bekal utk ngasih tahu mana benar mana salah buat anak2.

Unknown said...

saya share yaaa...PR bagi saya yang gaptek dan suka terjebak nostalgia (a.k.a malas. makasiiih

Santril said...

fenomena awkarin emang jadi tamparan buat para ortu kayanya sih..yang akhirnya nyadar kalo sosmed itu ga sekedar Instagram, fesbuk, ama path doang (gw banget)..gw ngerasa banget lagi diposisi point 2..karena mikirnya "duh buat apa sih ngeinstall snapchat, dkk itu" karena ngerasa cuma bakal menuhin memori hape doang..dah pas baca ini..kok ga kepikiran sampe situ sih gw...

anw thanks mbak lei pencerahannya :D
dan tentunya pencerahan kaya gini harus disebarkan ke khalayak ramai..izin share yaa :D

tia putri said...

mba lei, aku sudah buka2 beberapa akun2 dedek2 gemez itu, lanjut dong mba posting bagaimana cara ortu ngasih tahu yang elegan ke anak2 remajanya bahwa akun2 yang mereka follow tidak semuanya baik. ntar kalau ditanya balik "mama stalking ya?" ngekngek... gimana tuh mba?

Erliaann said...

kalo gue jawab gini 'Iyalah mama stalkingin semua itu akun akun yang ga bener biar mama bisa ngasih tau kamu, mana aja contoh contoh sampah masyarakat' emak emak jaman sekarang harus galak pokok e, ngga usah sok2 eleganlah padahal parno setengah mati hehe..

tia putri said...

aw-aw, gak mau ah klo mamanya mba erlian, galak si.. wkwkwk..

kalau langsung makdes gitu apa anaknya ntar malah jadi sebel/makin membangkang mba? anak2 jaman skrg kn kayak yg harus pelan2 gitu ngomonginnya (pengalaman pernah ngurusin anak magang dikantor-genZ-susah-dibilangin-dg halus, tapi kalau ditegesin malah mutung-pundung gak abis-abis).

meski ada juga sih anak yg kalau dibilangin tegas gitu langsung kapok, cuma ya mesti pake gondok dulu.

Marliyans.blogspot.com said...

Nah itu dia, gimana cara nasehatin keponakan yang akunnya isinya kegiatan hedon? Hiiiks, aku binguung???

prin_theth said...

Hai mamah-mamah cantik... Nimbrung sedikit, ya :)

Mamaku adalah orang yang super parno dan bertangan besi, dan beliau sangat streng saat aku remaja dan lagi bandel-bandelnya. Efek di tiap orang pasti beda ya, tapi sikap beliau tersebut malah backlash ke aku. Aku tetep bandel, super membangkang, dan hubungan kita jadi berjarak sampai sekarang. Pesan dan values yang beliau coba untuk tanamkan ke aku mental semua, karena caranya terlalu keras dan dogmatis, dan beliau kurang mau melihat dari sudut pandang aku. Padahal hidup remaja kan membingungkan dan penuh peer pressure yaaa...

Beberapa teman yang dekat dengan mamanya cerita, waktu mereka muda, mamanya nggak pernah "keras" banget melarang-larang. Mereka lebih nunjukkin empati. Misalnya, si anak clubbing diam-diam sampe jam 4 pagi. Mamanya sih pura-pura nggak tau aja, tapi pas subuh-subuh, si mama stembe ke kamar bawain tempe. Beliau bilang "Katanya tempe bagus buat hangover, mbak..." Duaarrr.

Sikap mama-mama itu juga lbh loose, tapi tetap menekankan motto "bandel boleh, bego jangan". Bukan (hanya) dalam artian bego akademis, tapi juga bego careless, gak jaga keamanan diri, gak jaga kesehatan, gak jaga reputasi, dll.

Aku samsek bukan ahli parenting, tapi menurutku, pendekatan kita sebagai ortu gak bisa dipukul rata. Harus tergantung karakter anaknya. Raya anak yang keras dan emosional (kayak emaknya...:D), jadi first and foremost, aku harus deket sama dia sedeket-deketnya. Dia harus percaya, nyaman, dan bergantung sama aku 100%.

Dan pas remaja nanti, aku nggak bisa nge-judge dia atau gampang larang sana-sini. Yang musti aku lakukan adalah tentukan batasan.

Misalnya, mungkin pas jaman Raya nanti, semua remaja PASTI akan minum alkohol (mungkin lho yaaa... semoga nggak). Aku sih akan selalu larang Raya minum alkohol, dan selalu kasitau efeknya. Tapi seandainya dia (diem-diem) minum dan aku (diem-diem) tau, aku gak akan "gamparin" dia. Tapi kalo Raya mabok, baru akan aku "gamparin". Ini misalnya aja sih :D

Setiap ortu punya batasan values yang beda-beda yaa... jadi sekarang ini aku stalking dedek-dedek untuk tau, batasan yang pas tanpa membuat anak jadi rebellious ke aku tuh apa?

prin_theth said...

Sehubungan dengan stalking sosmed, kayaknya aku nggak akan kasitau kalo aku stalking, deh, hahaha. Aku juga kayaknya nggak akan larang anakku mau follow siapa.

Tapi misalnya aku liat selebgram yang dia follow posting mabok-mabokan, aku akan ajak anakku diskusi soal mabok, TANPA nyebut selebgram yang aku untit, hihihi.

Lagi-lagi, setiap ortu punya batasan yang berbeda.

doena said...

bener bgt nih tips nya La
Bos gue yang usianya 50 tahunan update banget sama semua sosmed. snapchat,line,wa,periscope,ask.fm, path, ig,vlog, googlemap yg bisa ngelacak itu,dll .Pas gue nanya kok bapak ngikutin semua sosmed sih? katany karena saya punya anak ABG makanya harus menyelami dunia mereka . Anaknya 2 org lagi kuliah diluar kota, satu orng masih smu , lagi alay alaynya lah ya. Dan hebatnya beliau berteman sama semua akun anak2 nya itu. Ga kebayang deh ask.fm dibacain bokap haha


tia putri said...

aaa... tengkyu, terima kasih, matursuwun mba laila untuk jawabannya. hampir semuanya aku setuju, itulah yg ada dalam bayanganku, dimana2 orang kalau ke gap terus langsung diomelin pasti sebal. ujung2nya nyari pelarian lagi, bisa2 malah pake anonim. kalau udah gitu makin susah nyari jejaknya ya. tapi apapun itu, pemberian teguran, peringatan, nasehat kuncinya mmg tergantung karakter anaknya ya :)

Unknown said...

Mba Lei, setuju pisan. Aku pun memberi batasan pada anak tanpa terlalu banyak intervensi dan mengganggu privacy dia. Ini hal penting yg suka dilupain ibu2 tiger mom jaman skrg, anak itu punya privacy. Masa sampe mau follow siapa mesti kt yg atur. Same goes to hubby actually, buatku ga perlu terlalu ngecek2 HP dll, it's their privacy.

erlian said...

Aku juga tadinya pengen jadi ortu yang asik,demokratis dan ga banyak larang larang tapi gara baca buku Amy Chua aku jadi berubah pikiran total.. hehe.

Aku lebih sreg cara orang tua Cina yang strict dibanding orang tua barat yang rapuh yang terlalu takut menuntut sesuatu dari anaknya dan tenang2 saja melihat anaknya menuju ke arah yang salah. Walopun sebenernya mungkin hanya masalah berbeda cara pandang aja kali ya antara orang barat dan orang Cina/timur.

Tapi herannya si Amy Chua ini kok tetep deket ya sama anak2nya walaupun mendidik anaknya kayak Hitler. Malah si anaknya berencana membesarkan anak2nya kelak dengan cara yang sama.

Tapi intinya bukan di larangan2nya itu sih, tapi gimana caranya meng-instill values yang kita anut ke anak2 sehingga anak kita tumbuh menjadi manusia2 yang capable dan bahagia.





prin_theth said...

Erlian: harus liat tipe anaknya sih, ya. Gaya "tiger mom" ala mamaku GAGAL TOTAL dan malah backlash buatku, tapi worked just fine sama adekku.

Sebelum hamil, aku juga baca Amy Chua dan tertarik dengan gaya Tiger Parenting. Tapi pas ngeliat karakter Raya yang luar biasa sensitif dan emosional, aku mikir, harus different approach, nih. Nggak bisa fight fire with fire.

Aku sendiri merasa "adem" banget ngeliat mamah-mamah temenku yang njawani (seperti yang aku ceritakan di atas), yang meng-handle kenakalan remaja anak-anaknya dengan selow tapi pede, so we'll see how it goes :)

kuramalu said...

Mba lei. Ini postingan yg nusuk ati bgt. Sy belum punya anak sih tapi udah kepikiran misalkan sy punya anak dan dia lagi puber sy bakal khawatir gila ngeliat anak muda sekarang. Gak ada di bayangan sy kalo anak anak sy bakal minum miras(mudah-mudahan jangan sampe) Hehehe. What a naive Mom from village to be ��
Untung nya saya baca blog mu.
Jd sy bisa prepare for fight The world for my kids nanti.

Semisal nanti anak anak udh pada minum miras secara wajar (duh amit amit, pemerintah tolong perketat batasan usia peminum pleaseee) you are wasting your money and body to a dangerous Investment.
Mudah mudahan nanti pas jaman anak saya nge tren nya olahraga ya. Bukan minum gitu. Apalagi drugs dan sex bebas. Kyknya kita juga harus nyiptain tren yg positif deh ya. Kalo dulu ada pramuka, pmi, dsb.

Sebenernya dari dulu sampe skrg masalahnya kalo anak muda ya gitu kebanyakan adrenalin. harus cari pelampiasan.

Mudah mudahan pas nanti saya stalking anak saya. Saya bisa berpikir jernih dan g keburu nyumpah nyerapah in generasinya dia. Well bener kata Mba Lei. Be fun mommies(or not) thanks Mba Lei atas pencerahannya

erlian said...

Iya, amy chua juga kan sama anak keduanya ga berhasil dan akhirnya ngalah karena si Lulu ini tipe anaknya keras. Sebeneernya mungkin gara2 aku ga pernah mengalami yg namanya kenakalan remaja (asli,lempeng abis deh) jadi ga punya sudut pandang lain he2. Ga tau juga sih sama anakku ntar kayak gimana. Duh gini ya rasanya jadi ortu tuh, banyak deg2an nya :D

Anonymous said...

Totally agree with you. But just for information,point no. 4 is exactly what karin's doing. Jauh sbelum dia fenomenal, adek gw smpet ditawarin utk masuk squad dia buat jd selebgram. So i thought she has been searching or kepo-ing (klo kta anak jmn skrg) some girls to joining the business.

Dan stelah kejadian karin kya skrg, sy jd mulai menyelam ke dunia sosmed utk tau pergaulan adik sy dan itung2 pemanasan kelak klo 2 anak sy tau2 udh abege.

prin_theth said...

I did meant Karin for point 4, hehe. Cuma males aja nyebut nama dia lagi :D Otak bisnisnya emang jalan banget ya!

nur susianti said...

Dan siapakah Richard Gibson itu? taunya cuma gaga muhammad..duh bener ya mba, harus sudah mulai mengikuti perkembangan sosmed anak muda, walau anak baru umur 4 tahun tetap saja ada rasa kekhawatiran pergaulannya nanti. Thanks for share ya mba :)

Dani said...

Ahahahaha. Ketabok deh. Emang kayaknya sayah termasuk salah satu yang bangga bener jadi generasi 90an dan memandang aih gimana gitu anak jaman sekarang. Udah install banyak sosmed itu ternyata kurang. Install dulu dna belajar dulu deh. Hahahaha. Makasih Mbak udah bukain mata. :D

pipit said...

nah itu gabut, sebats, AF, lit, savage, on fleek, squad, #goals, queen, slay, yaaasss, no chill, PAP artinya apa???

prin_theth said...

Pelajari sendiri dooong :)

-ndutyke said...

kudu minum obat anti mabok dulu kayaknya klo mau stalking akun sosmed remaja macam si awkarin ini. aku blm pernah sama sekali loh intip akun apapun dari awkarin. lah, baru baca postinganmu dan teman2 lain yg ngebahas ttg dia aja, rasanya udah mual :(

-ndutyke said...

mual sama kelakuan si awkarinnya , maksudku.... bukan sama yg ngebahas..... #dijelasin lol

Anonymous said...

Bener!!! otak bisnisnya emang jalan banget ya si Karin ini. 70 juta sebulan bok dari endorsement di IG. Ya sudahlah.. #akubosan #akulelah

https://cantik.tempo.co/read/news/2016/08/02/330792508/5-rahasia-awkarin-yang-tak-kentara-di-media-sosial/1

Bayik said...

Kemarin saya bahas Awkarin terus2an di Path (malas ngeblog karena gak mau kasih panggung buat dia). Ada satu teman yang komen: "Aku baru tahu Awkarin dari Path kamu, wah habis ini harus tanya anakku nih tahu gak soal Awkarin." Beberapa menit kemudian dia melapor, "Anakku (nb: yang masih SMA - eh istilahnya kelas berapa sih sekarang) bilang iya tahu Ma, Awkarin yang kebanyakan drama, psikopat itu." Lega.

Post a Comment