Dec 10, 2015

Melepas

Some time ago, when I went to Singapore, I bought a coveted eyeliner, endorsed by a well-known UK it-girl. But I guess I got a bad batch because it was so lousy! 

Just one day after I bought it, it leaked and left a permanent stain on my shirt, kayak bolpen bapak-bapak tahun 80an. I had to get rid of it only one day after purchase, though I almost tried to kept it longer. 

Thus, this fiction.

---


Pernah nggak, sih, kamu sangat cinta terhadap sesuatu, sampai kamu rela mempertahankannya meski fungsinya sudah rusak?

Seperti kaos kaki bolong (“Soalnya nyaman, sih!”) atau selimut usang (“Baunya enak, sih!”). Padahal, benda-benda ini lebih banyak nyusahinnya daripada bergunanya.

Aku pernah. Benda itu adalah sebuah eyeliner.

Kamu tahu eyeliner? Ia adalah sebuah produk kecantikan, biasanya berbentuk seperti pena, untuk menggarisi pinggir kelopak mata sehingga memberikan ilusi mata segar dan tajam. Metode “membingkai mata” ini rasanya pertama kali dipraktekkan oleh wanita Mesir kuno—aku kurang yakin juga, harus tanya Mas Tito dulu—dan masih populer sampai sekarang.

Berarti dari dulu, mata selalu dianggap bagian wajah yang paling menarik, ya. Jendela hati, katanya.

Aku pertama kali tertarik dengan eyeliner ini ketika seorang artis Hollywood idolaku menjadi bintang iklannya. Di iklan-iklan majalah, matanya jadi terlihat besar, tajam, dan indah. Walaupun sebenarnya, tanpa eyeliner pun matanya sudah indah, sih. Mungkin juga ada unsur rekayasa foto di situ. Ya sudah, lah. Kata Mas Tito, aku ‘kan perempuan. Suka dibohongi.

Sayangnya, eyeliner ini tidak dijual di kota tempat tinggalku. Bahkan negara tempat tinggalku. Aku harus diam-diam menitip ke seorang teman yang sedang liburan ke negara tetangga. Ketika ia menemukannya pun, produk yang tersedia di toko tinggal satu.

Ah, jodohku.

Produknya indah sekali, dengan kemasan elegan berwarna royal blue berhiaskan emboss garis emas. Ketika pertama kali mencobanya, aku serasa mengalami malam pertama. Akhirnya, setelah ditunggu sekian lama! Dan, aduh, formula eyeliner idaman ini pun sesuai impian—nyaman, lembut, sukses membingkai kedua mataku dengan sempurna. Mataku yang jelek dan tidak sinkron jadi terlihat agak mirip dengan mata artis idolaku, sang brand ambassador produk ini. Menurutku, lho. Ya sudah, lah. Kata Mas Tito, aku ‘kan perempuan. Suka berkhayal.

Namun…

Hanya dalam hitungan hari, eyeliner ini mendadak berubah. Formulanya mengeras, sehingga susah sekali diaplikasikan dengan baik. Jariku tersendat-sendat setiap berusaha menarik garis di kelopak mata dengannya, sehingga mataku terlihat seperti dicoret-coret anak balita.

Tak hanya itu, eyeliner ini belakangan menunjukkan “sifat” aslinya, yaitu gampang sekali luntur! Bahkan oleh setitik air atau sedikit minyak di kelopak mata, sehingga merusak penampilanku. Penampilanku dan suasana hatiku.

Tetapi sampai hari ini, aku masih bersabar. Aku nggak beli eyeliner lain. Aku masih terus memakai eyeliner ini setiap pagi, sebelum berangkat kerja. Aku masih berharap aku bisa mengubah formulanya, sampai aku pernah merendam kemasannya dengan air hangat, berharap "tinta" (cinta)nya akan melunak

(lalu aku ditertawai Mas Tito).

Masalahnya, aku terlanjur jatuh hati dengan eyeliner ini sejak pertama kali diiklankan. Sejak pertama kali menggenggamnya di tangan. Sejak pertama kali mengaplikasikannya di mata. Aku masih yakin, eyeliner ini sebagus yang diiklankan idolaku, sehingga bisa menutupi mata sembabku setiap pagi.

***

Pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan kepala Mas Tito, suamiku, melongok ke dalam. Ia melakukan apa yang selalu ia lakukan sebelum “menegurku”—menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapannya khas sekali, seperti melihat sayur yang mulai membusuk di ujung lemari es.

“Mana makan malem? Bengong melulu lo sambil pegang-pegang mek ap gitu. Kalo udah jelek dari lahir, dandan kayak apa juga nggak ketolong.”

Sayur yang mulai membusuk di ujung lemari es.

Selesai bicara begitu, ia menutup pintu kamar lagi. Tidak dibanting, tapi tidak dengan halus juga. 

***

Pernah nggak, sih, kamu sangat cinta terhadap sesuatu, sampai kamu rela mempertahankannya meski fungsinya sudah rusak?

Mungkin harus kubuang saja eyeliner-ku.

15 comments:

nurul rahma said...

Naaaah, ini PR banget buat aku nih.
Semakin "gombal" sebuah daster, semakin susah buat let it gooo... let it goooo

--bukanbocahbiasa(dot)com--

diandra said...

sebenernya si eyeliner itu adalah perumpamaan dari tokoh "aku", yg pernikahanya didn't work sebagaimana mestinya meski sudah diusahakan dengan berbagai cara


iya gaaak mbak lei ? :)))

Fradita Wanda Sari said...

Suka banget ini cerpennya kak. Subtle :))

kriww said...

Lei... gw terdistraksi nih dg kalimat mas tito. Jadinya gw akan komenin soal kalimat itu n bkn eyelinernya yaa... eaaaa.

Truth to be told, my husband and I always do that kind of conversation. Something like....
"Jelek deh lo pake baju itu, kayak nenek2...."
"Berisik banget sih cina satu ini..."
"I hate you"
Etc.

Lalu gw sadar kenapa kalimat yg sama efeknya bisa beda kalsu diucapkan dengan tone yg beda. Apalah artinya i hate you yg diucapkan sambil pelukan? #apadeh Sama seperti ke anak juga, menasehati dengan pesan yg 'keras' tetep terasa mesra jika dilakukan sambil mencium pipinya.

Ini gw sumpah melenceng banget ya dari tema acara. Its just that your writings twisted something in my mind, then I started contemplating 😊

prin_theth said...

bisaaaa :) interpretasi cerita fiksi kan ada di tangan pembaca ya :D atau eyeliner = suami.

prin_theth said...

makasiiih!

prin_theth said...

Hehehe iyaa, banyak kok kalimat sayang-sayangan antar pasangan yang bentuknya "kasar". Kayak "gendut banget sih looo..." tapi sebenernya kan becanda sayang-sayangan, ya.

Tapi di tulisan gue ini, gue mau memberikan kesan bahwa kalimat suaminya memang psychologically abusive. Banyak pernikahan yang bermasalah bukan karena hal-hal yang obvious dan klise (misalnya, perselingkuhan), tapi karena hal-hal kecil yang rancu tp bikin gak enak hati.

MaGe said...
This comment has been removed by the author.
prin_theth said...

Makasih Maryam! :) EYEKO BANGEEET! Hahaha. Harusnya sih dia oke ya, tapi kayaknya gue truly got a bad batch, siaul.

Nita said...

Bagus banget Lailaa!

anakelima said...

dan saya malah membayangkan tito sumarsono -_-

Emiralda said...

whoa, endingnya! ❤️

risti said...

Abis mbaca terus sedih. IH kasar amat siiik, hati klepon ku mleyot deh. Dan eyeko itu gue rasa works well di negri 4 musim deh. Tidak termasuk musim rambutan atau mangga. Good one lei

Anonymous said...

Damn it, woman!

-bolissa-

semuasayanganna said...

Tahun lalu miscarriage, dan beraaaat banget untuk bisa ikhlas.. Melepas adalah pelajaran tersulit. Terlebih jika sedari kecil, kita lebih diajarkan untuk selalu meraih.

Post a Comment