Pages

Jul 8, 2015

Decide Your Currency


Gue lagi baca buku memoir-nya Amy Poehler, berjudul Yes Please. Belum selesai, sih, tapi gue udah menemukan satu bagian yang akik suka.

Di bagian ini, Amy nulis tentang sebuah kisah cintanya di masa muda. Amy cerita bahwa seumur idup, dia merasa nggak cantik, biasa-biasa aja, dan mantan-mantan pacarnya juga biasa-biasa aja. Tapi sekali waktu, Amy pacaran sama cowok ganteng yang bahkan berprofesi sebagai model. Kepribadiannya nggak fantastis, tapi oke, lah. Standar.

Pada suatu hari, after a boring sex, Amy iseng ngoprek jurnal pacarnya ini, lalu menemukan tulisan yang bilang bahwa si cowok menganggap Amy kind of cool karena orangnya lucu meskipun nggak cantik, dan si cowok sebenernya nggak naksir-naksir amat sama Amy.

Amy sok santai, tapi akhirnya nangis sedih juga.

… but I was eventually okay. And you will be okay too. Here’s why. I had already made a decision early on that I would be a plain girl with tons of personality, and accepting it made everything a lot easier. If you are lucky, there is a moment in your life when you have some say as what your currency is going to be. I decided early on it was not going to be my looks…

Decide what your currency is early. Let go of what you will never have. People who do this are happier and sexier.

Trus gue yang, yes, I relate to this!

Contoh konkret yang gue alami sendiri adalah menulis vs menari.

***

Tahukah Anda, bahwa gue menekuni seni tulis dan seni tari dalam jangka waktu yang sama, dengan ketekunan serta passion yang juga sama?

But my dancing is not going anywhere. On the other hand, my writing does.

Gue bukan penulis hebat, tapi sejauh ini, nulis telah membuka jendela dunia gue. It has lead me to many new places, new opportunities, and meet new, interesting people. Writing is also an effortless craft for me. It comes naturally. Gue nggak berani bilang bahwa gue ‘berbakat menulis’, tapi seenggaknya, gue yakin menulis adalah ‘bawaan orok’ gue.

Sementara nari? Masya Allah.

You see, I like the art of dance a lot
. Gue suka nontoninnya, suka ngejalaninnya. Gue nari udah bertaun-taun, lho. Namun kebalikan dengan nulis yang effortless, nari adalah sesuatu yang gue jalani dengan penuh effort namun dengan hasil yang gini-gini aje.

Tau nggak sih, untuk sekedar bisa bersaing dengan temen-temen di kelas nari, gue seringkali harus latian keras sendiri di rumah? Mulai dari loncat-loncat kayak orang gila di garasi mobil, nangis-nangis belajar split (trus nggak bisa-bisa juga), sampe beberapa kali mengorbankan wiken karena gue memutuskan untuk mengunci diri di kamar dan latian seharian aja.

Tapi ya udah, hasilnya gini-gini aja. Skill gue nggak pernah berkembang secara signifikan. Kritik yang dilontarkan para guru nari ke gue pun nggak pernah berubah, masih seputar isu yang sama.

Apalagi penari muda berbakat jumlahnya selalu bertambah setiap hari, sementara guenya semakin tua dan renta. The competition, even only in class, is tough. 

Unlike writing, dancing isn’t going anywhere for me.

Alhasil, gue jadi sering mempertanyakan jargon-jargon motivasional klise yang sering disuguhi ke generasi gue, seperti “you can do it” atau “you can be anything you want to be” atau “nothing is impossible”. Manaaa? Mana nothing is impossible?! Gue udah passionate, udah usaha banget, dan punya target yang realistis: menjadi penari yang lebih baik. At least to be the best in class. Tapi udah bertaun-taun, kok susah amat mencapai target ini?

Jadi ketika baca tulisan Amy Poehler tadi, gue merasa tercerahkan.

Gue menyimpulkan bahwa we can NOT be anything we want to be. Some things ARE impossible, even after we’ve worked hard on it, but that’s okay. Dunia ‘kan nggak selebar daun kelor. Ada banyak minat dan kesempatan lain yang bisa digali.

Dulu, waktu masih muda dan galau, ketidakmajuan gue dalam bidang tari membuat gue merasa dicurangi, karena gue udah usaha banget, but why do I never feel good about my dancing? Sekarang Alhamdulillah gue santai. Gue nggak akan pernah ditakdirkan jadi penari hebat, and that’s fine. Gue akan terus nari sebagai hobi, sambil terus berusaha hebat di bidang-bidang lain. Misalnya, stalking musuh tanpa ketauan, bikin meme geblek, atau jadi bintang Dubsmash. Banyak, lah!

***

Gue sempet baca sebuah artikel yang mengkritik iklan-iklan produk kecantikan.

Jadi, iklan-iklan produk kecantikan ‘kan sering bikin kampanye atau slogan, “You are beautiful,” trus berusaha keras mem-puk-puk cewek-cewek dengan ‘meredefinisikan’ cantik. Bahwa gendut itu cantik, bahwa pendek itu cantik, bahwa berkulit gelap itu cantik, bahwa tua itu cantik, pokoknya kamu cantik, cantik, cantik!

Lalu si penulis artikel bilang, “Kenapa, sih, gue dipaksa merasa cantik? Gue udah terima bahwa gue nggak cantik, kok. Itu bukan fokus hidup guwah!”

Gue suka artikel tersebut, karena gue suka bagaimana sang penulis menyatakan bahwa dia nggak merasa cantik and is totally okay with it. Kayak Amy Poehler, she already knows her currency. 

Kayaknya, skill membaca diri tuh penting juga, ya? Membaca diri tuh maksudnya memetakan apa aja kekuatan lo, dan apa aja kelemahan lo. It seems obvious, but believe it or not, not everyone can do this.

Mengulang tulisan Amy Poehler,

“Decide what your currency is early. Let go of what you will never have. People who do this are happier and sexier.”

My currency is definitely not my looks and my dancing skills, and I have accepted this, amen.


Sekian dan terima makanan saur. Bloggingnya pas saur banget...

16 comments:

Gadis said...

LOVE THIS!

Izna said...

Mbak Lei.....

*memandang dengan mata berbinar*

Ini jadi pemikiranku beberapa saat lalu saat berasa minder banget dikelilingin orang-orang superior di depan muka. Ini kenapa orang-orang pada flawless amat. Dan pada beruntung sekali bisa nemu bakat yang memang gifted dan mereka bisa kembangin. Kadang aku ngerasa kurang banyak kesempatan buat bisa "nyobain" hal-hal baru yang siapa tau sebenernya itu bakatku. Gak pernah coba lempar lembing, padahal siapa tau aku seorang atlet berbakat. Gak pernah coba jadi model, karena emang potongan gak cocok banget jadi model jadi ga bakal ada yang nawarin muehehe. Kerja di perusahaan audit, tapi nilai accounting di kampus dulu gak pernah lebih dari C.

Tapi aku tetep percaya pendapat klise bahwa Tuhan maha adil. Diijinkannya aku masuk ke sebuah kampus negeri tanpa tes, hanya karena prestasi futsal jaman SMA yang emang banyak. Ada debit ada kredit, ada hitam ada putih, ada plus dan ada minus. Lagian kalo semua cewe kaya Mesty Ariotedjo, kasian laki-laki di dunia. Sulit ngejarnya.

Cynthia Prayudi said...

ah suka sekali tulisannyaa :) apalagi soal iklan kecantikannyaa

btw padahal nge-dance nya mbak keren bangeet deh (ketauan bgt rajin stalking IG) mihihihi! Ditunggu tulisan-tulisan inspiratifff selanjutnyaa mbak

Anonymous said...

you always makes a genius article, i love your point of your story. thumbs up!

prin_theth said...

Gadis, Cynthia, Anon: Telimakaci! Ih, bisa aja bikin ge-ernya *kembang kempis*

Izna: Hehe, iya bener, Tuhan itu adil, dan kitanya juga jangan terlalu banyak ngedabandingin diri ya. Menurutku rasa minder itu sehat, karena memelihara humility / rasa rendah hati sekaligus bisa memicu diri juga, tapi kalo bablas sih nggak oke yaaa... Kamu jagoan banget sih dapet beasiswa PTN dari futsal!

Jane Reggievia said...

Aku sering bgt diingetin seorang teman buat untuk mengenali kapasitas diri sendiri. To know what we can do and what we can really do. Sebenarnya kita bisa aja kan melakukan semua hal, cmn ya itu kayak yg mbak Laila bilang, not everyone can be the best in specific field.

Aku main piano dr umur 6 thn, aku latian terus tiap hari and I used to dream being a pianist, but mau sampai aku latian sekeras apapun I can't be that good. Sebenarnya yg mbak Laila blg, sama kayak yg pernah mamaku blg. Ada org yg born naturally as a "somebody", ada jg yg earn it dgn effort yg total bgt. Jadi kita gak bs 'nuntut' atau bandingin diri sendiri dgn org lain, kita semua punya kapasitas masing2.

Well said, Mbak! Sukakk bgt when you put your thoughts into writing, that's really your talent hihi
Good day!

Xoxo,
Jane

Sarah Puspita said...

Mbak Lei, tulisannya bagus dan mencerahkan sekali :)

Terima kasih ya! :D

prin_theth said...

Setujes. Selama kita udah menyadari dan menerima kelebihan kelemahan masing-masing, I belive it's all good. Thanks Jane! :)

prin_theth said...

Makasiiih :)

Home and Family said...

Aaaa, thank youu for writing this piece

Decide your currency.... dan tidak perlu memusingkan orang yang tidak menghargai currency kita.

Btw... nemu tulisan mbak Lei di wall fb temen, judulnya "Tunggu Dulu"- manfaat menahan diri, itu bukan ditulis di blog sini ya mbak, perasaan blum pernah baca

prin_theth said...

Makasih yaa :) Kayaknya yang kamu maksud adalah artikel dari MommiesDaily

http://mommiesdaily.com/2013/05/16/%E2%80%9Ctunggu-dulu%E2%80%9D%E2%80%94manfaat-menahan-diri/

Taradise said...

Hidup Amy Poehler!

Lagi baca bukunya juga tapi belum selesai, so far kayak lagi ngobrol sama temen sendiri ya bacanya.

Leony said...

Thank you for sharing ya La. Gue dr dulu smp skrg masih terus mencari gue excel di bidang apa. Tapi makin ke belakang, gue ga merasa harus jd orang yg excellent di salah satu bidang sih. Gue cm butuh ngerasa happy dan enjoy aja dengan yang gue lakukan walau gak excellent2 amat.

Pssstt.. kalo based on yang suami blg sih.. karya gue yg kata dia excellent itu tempe orek. Hwhahaha..

Nadushi said...

Aduuuhhh Leiii... Tulisan kamu emg SUPERB. Luar biasa! MasyaAllah...

*amazed.

Winkthink said...

Komen paling kusuka! Salam kenal dari sesama yang tercerahkan oleh posting ini :)

noninadia.com said...

You got me at : Lagian kalo semua cewe kaya Mesty Ariotedjo, kasian laki-laki di dunia. Sulit ngejarnya. *tepuk tangan keras-keras*

Post a Comment