Feb 4, 2015

We're Lodoh But Very Happy - End of Year 2014 Bali Trip (part 3)

IMG_5487

31 Des 2014
Day 3: Monkey Business


Pagi: Tragedi Mencri

Maaf banget, ya, pembaca, postingan kali ini harus gue mulai dengan kisah tentang feses a.k.a. pup.

Musti dijabarin banget, nih, demi relevansi cerita, bahwa gue dari dulu emang susah BAB. Apalagi semakin tua, pergerakan pencernaan seseorang ‘kan semakin lambat, akibatnya sekarang-sekarang ini gue tambah susah pup, biarpun udah makan satu kebon papayaaaa… mangga, pisang, jambu! Dibawa dari Pasar Minggu!

But seriously, I’ve tried every ‘organic’ solution
, mulai dari makan papaya, peach, pir, sayur-sayuran berserat tinggi, minum wheatgrass setiap hari, olahraga, dan lain sebagainya. Nggak ada yang sukses untuk jangka waktu panjang. Maka dengan terpaksa… gue sesekali kudu minum pencahar. Nih! Kubuka aibku, nih!

Nah, malam sebelumnya, gue kebetulan minum pencahar. Akibatnya, pagi ini gue kembali dalam episode ‘kontraksi pembukaan delapan’ alias mules berat. Memang, problem utama dari pencahar adalah efeknya nggak ketebak. Kadang bikin mules biasa, kadang bikin mules parah. Sialnya, pagi ini gue melilitnya lumayan heboh.

Maka setelah nyuapin Raya sarapan, gue cusss nongkrong di toilet selama… dua jam. Yak, dua jam, dari jam 8 sampe 10. Bombastis! Mulesnya luar binasa. I thought I was going to die, udah sampe minta-minta maaf ke Teguh segala. Mungkin agak lebay, ya, tapi gue beneran minta maaf sih, soalnya gegara urusan mules ini, Teguh jadi harus ngejar-ngejar Raya yang lagi hyper selama dua jam, tanpa bantuan gue. Maaf ya, suamik!

Alhamdulillah, sekitar jam 10 pagi, urusan hajat beres. Kami langsung, mandi, beberes, dan siap-siap pergi. Eh, lho, kok gue malah jadi lemes?

Kayaknya karena efek abis mencri, ditambah dengan darah rendah gue. FYI, angka tensi gue memang selalu kecil, meski udah mengkonsumsi berbagai hal yang katanya bisa naikin tekanan darah. Huh. Jangan-jangan solusinya harus berantem sama orang terus, ya, supaya naik darah? #bukannyaudahgituLa? #eh #ah #uh

Tapi dengan sisa-sisa tenaga yang ada, gue maju terus pantang mundur menunaikan ahenda pagi ini: ke Monkey Forest!

Menuju Siang: Monkey Forest

Gue pernah bilang nggak, sih, bahwa gue suka banget sama Monkey Forest? Bagi gue, Monkey Forest adalah sepotong surga di tengah-tengah keramaian Ubud. Tempatnya adem, damai, tapi sekaligus punya banyak pojokan seru buat dijelajahi. And of course, there’s those cheeky monkeys! Jadi meski sambil kleyengan, kami tetap meng-explore Monkey Forest sampe ke berbagai pojokan yang belum pernah kami kunjungi sebelumnya.

IMG_5435   IMG_5441

 IMG_5452

IMG_5457

IMG_5459

IMG_5461

IMG_5464

IMG_5470

Alhamdulillah, Monkey Forest lagi agak sepi, lebih sepi daripada bulan Agustus kemaren, walaupun lagi high-season gini. Selain itu, hawa Monkey Forest lagi lebih adem dari biasanya, sehingga meskipun kami keliling-keliling sambil nggembol kamera, tas, dan Raya tanpa stroller, kami santai aja nggak pake keringetan. Laf! It was a peaceful walk around a peaceful place.

IMG_5472
Netekkin paling zen...

IMG_5475


IMG_5487

IMG_5485   IMG_5490

IMG_5496

IMG_5502

Tapi kedamaian dan kebahagiaan ini dirusak oleh seorang bocah dari neraka.

Jadi, pagi ini di Monkey Forest, ada sebuah keluarga Melayu Islam yang keliatannya berasal dari Singapura. Keluarga ini terdiri dari bapak, ibu, dan tiga anak ABG-remaja. Dua cowok, satu cewek. Karena badan mereka geda-geda, gue nggak bisa nebak umur mereka berapa. Mungkin sekitar akhir SMP atau awal SMA? Awal kuliah?

Sejak awal, anak-anak ini udah keliatan biang kerok. Misalnya, pas lagi foto-foto, mereka rusuh dan nggak mau gantian photo spot sama turis lain. Tapi gongnya adalah, anak laki yang bungsu doyan banget nimpukin monyet pake batu!

Astagfirullohaladziiim. Monyetnya ngamuk, lah! Pernah liat monyet macaque marah nggak? Bulunya berdiri semua, badannya menekuk supaya posturnya terlihat lebih besar, taringnya dipamerin, dan tentunya ‘teriak-teriak’ bikin panik. Skeri abis!

Sialnya, si bocah paham hukum rimba, yaitu don’t show fear. Jadi setiap si bocah abis nimpuk seekor monyet pake batu, dia malah akan berdiri di depan si monyet, ‘nantangin’ dengan gagah, meskipun dia mulai dikerubungi monyet-monyet lain.

Sumpah, suasana jadi tegang. Soalnya, gara-gara kelakuan si bocah setan, monyet-monyet lain jadi pada siaga satu. Kita ‘kan takut bakal ikut dikeroyok monyet-monyet murka! Para turis yang bawa anak kecil jadi pada menyingkir, sampe ada satu bapak-bapak bule teriak, “That is not cool. Not cool!

Gue pun ngibrit, ngadu ke salah satu penjaga Monkey Forest. Sang penjaga datang dan ‘ngebubarin’ si bocah dengan baik-baik. Eh, pas sang penjaga balik badan, si bocah ngeluarin KATAPEL dan kembali nimpuk seekor monyet.

OMFG. Bawa katapel lho do’i! Berarti dari awal dia emang niat gangguin para monyet ‘kan? Ini adalah titik dimana Teguh—sang manusia apatis—sampe turut campur. Dia nyamperin si bocah dan ngomong singkat, “Hey, stop it. Why do you do that? You’re disturbing everyone here!” Si bocah cuma ketawa-ketawa, bilang bahwa ini cuma main-main, becanda aja, no harm done. Ndasmuuu.

Keluarganya? Cuek secuek-cueknya.

Setelah itu, sang keluarga lanjut jalan santai keluar Monkey Forest.

Oknumnya yang di tengah, pake baju item *insert emoji tonjok* 

I was so speechless. Orang geblek emang ada dimana-mana, ya, meskipun dari negara yang tampak maju seperti Singapura. Generasi muda macem si bocah itulah yang kayaknya bakal jadi bibit perang dunia. Kalo di film Planet of the Apes, dese pasti jadi tokoh antagonis yang matinya paling tragis. Dengan segenap hatiku, gue harap si bocah kena kutukan Hanoman sesegera mungkin. Wahai, ratusan monyet di Monkey Forest, bisa minta amin? Aamiiin.

Unfortunately, people’s stupidity doesn’t stop there. Waktu lagi leyeh-leyeh istirahat di bawah pohon, gue dan Teguh ngeliat seekor monyet kecil lagi mungut sebungkus… permen karet. Orang geblek mana, sih, yang buang permen karet utuh sembarangan di suaka satwa seperti Monkey Forest ini? Kalo kemakan ‘kan monyetnya bisa mati keselek. Ini logika dasar nggak, sih? Atau emang pada nggak peduli aja?

Gue dan Teguh spontan panik ngasitau penjaga terdekat. Untungnya, sang penjaga sukses ‘ngebarter’ permen karet tersebut dengan kacang. Ampun, deeeh.

Siang: Kebun Bistro

Dari Monkey Forest, kami makan siang di sebuah restoran kecil bernama Kebun Bistro. Gue dikasitau tentang tempat ini oleh Andra, sebelum berangkat ke Bali. Waktu itu Andra belom pernah nyobain juga, sih, tapi diliat-liat dari Instagram orang, tempatnya luncang juga ye, bow. Maklum, kita ‘kan anaknya korban Instagram, hihihi.

Kebetulan banget, dalam perjalanan menuju Monkey Forest pagi tadi, kami ngelewatin Kebun Bistro ini. Langsung gue tepok-tepok pundak Teguh sembari bertitah, “Nanti siang makannya disitu, ya!”

Indeed, it was a very nice and cozy roadside bistro. Kecil, tapi nuansanya menyenangkan sekali. Gue suka banget sama berbagai detail di Kebun Bistro ini, mulai dari aromanya, kursinya, mejanya (yang merupakan hasil recycle meja jait Singer), wine cellar-nya, bebungaannya, pohon Natalnya (yang terbuat dari botol-botol champagne), sampai sabun di wastafelnya. Crabtree & Evelyn? L’Occitane? Yang pasti bukan Lifebuoy. 

IMG_5506   IMG_5511

IMG_5517

IMG_5520

Setengah dari dining area Kebun Bistro ini al fresco alias outdoor, setengahnya lagi indoor dan ber-AC. Karena hawa Ubud lagi enak, kami duduk di bagian outdoor.

Gue sempet debat sama Teguh—kira-kira Kebun Bistro ini ngangkat nuansa countryside Italia atau Prancis? Pernak-pernik interiornya, sih, berbau Italia, tapi lagu-lagu yang diputer full-on lagu Prancis. Menunya juga campuran Italia-Prancis. Mana yang bener? Tapi yang lebih penting, kenapa ginian doang didebatin?! Zzzz.

IMG_5524   IMG_5530

IMG_5526

Sayangnya, kami nggak terlalu suka sama makanan di Kebun Bistro. Kami pesen Escargot, Grilled Taragon Chicken Sausage, Wild Mushroom Ravioli, serta Margharita Pizza. Gue nggak suka raviolinya sama sekali, trus rasa hidangan yang lain juga biasa aja.

Pizza dan escargotnya lumayan, sih, dan mayones yang kami minta buat Raya juga enak. Tapi secara keseluruhan, pengalaman kuliner kami disini nggak terlalu berkesan. Mungkin salah pesen aja, ya? Soalnya kemudian gue dikasitau, Macaroni and Cheese dan Bolognese with Crispy Bacon di Kebun Bistro ini enaknya luar biasa. Maca ciiih…?

IMG_5535

IMG_5536

Kami selesai makan sekitar jam 1 siang. At this point, keluarga gue yang lain udah sampe di Bali dan sedang makan di Laka Leke Ubud.

Abis makan, bokap-nyokap nyuruh kami nyusul ke Laka-Leke dulu, trus tadinya kami mau berkunjung ke salah satu museum di Ubud, entah itu Museum Antonio Blanco, Arma Museum, atau Neka Museum. Sayangnya, badan gue masih berasa lemah, letih, lesu untuk beraktivitas lebih lanjut (terkutuklah engkau, darah rendah!), either itu nyusul ke Laka-Leke ataupun ke museum. Ujung-ujungnya, gue minta istirahat di villa aja. Daripada pingsan?

Maka pulanglah kami ke peraduan ((PERADUAN)).

Di villa, kami beberes dan tidur siang sebentar. Ya Gusti Robbi, nikmatnyaaa… Setelah dua hari full heboh kesana-kemari tanpa istirahat, tidur siang setitik tuh rasanya endeus banget, ya?

Malam: Hujan Locale dan Tari Kecak


Kami kebangun sekitar jam 17.00 WITA dan langsung bersiap-siap pergi lagi.

Agenda kami malam ini adalah dinner keluarga di Hujan Locale, trus gue, Teguh, Raya lanjut nonton tari Kecak di Pura Dalem Taman Kaja. Berhubung kami semua nginepnya misah-misah, kami janjian ketemu langsung di Hujan Locale aja.

Hujan Locale adalah salah satu restorannya Sarong Group, sebuah grup restoran asuhan chef Will Meyrick yang membawahi beberapa restoran ternama, seperti E&O di Jakarta, Sarong, dan Mama San di Bali. Tapi Sarong dan Mama San ‘kan di Seminyak tuh, jadi Hujan Locale adalah restoran Sarong Group pertama yang berlokasi di Yubad.

Setelah diulik di GoogleMap, yassalaaam… ternyata Hujan Locale deket banget dari villa kami. Truly walking distance, nggak pake keringetan. Trus, pas ditilik lebih lanjut, ternyata Pura Dalem Taman Kaja berlokasi persis di seberang Hujan Locale. Yang lebih ajaib lagi, salah seorang tukang kebun villa kami tuh penari Kecak di pura itu. Gardener by day, Kecak dancer by night banget, masbroh? Alhasil, kami beli tiket lewat dese. Kasbon pula, alias bayarnya belakangan pas check-out. Warbiyasak!

Bukan sulap, bukan sihir, dan nggak diatur, tapi memang begitu adanya. Berarti semesta emang ngedukung itenerary kami malam ini, ya.

Anyway, off we went to Hujan Locale!


Kami nyampe sekitar jam 18.45 WITA, setelah sepuluh menit jalan kaki santai, tanpa stroller, tanpa keringetan. As mentioned, Hujan Locale bersebrangan persis dengan Pura Dalem Taman Kaja, tapi gue baru tau bahwa restoran ini juga bersebelahan dengan Seniman Coffee, salah satu kafe di Bali dengan kopi ter-endeus. Katanya, siiiih. Soalnya akyu nggak nyoba.

IMG_5543

Kami yang pertama kali sampe, trus sekejap kemudian, keluarga gue yang lain tiba. Halooo, keluargaaa! Aku kangen! Apalagi sama susternya ponakanku yang ikut ke Bali. Kangen banget. Pinjem bentar buat ngangon Raya boleh?

Anyway, kesan pertama gue terhadap Hujan Locale… mmm, santai, yah? Suasana Sarong dan Mamasan ‘kan agak fensi, tuh, tapi Hujan Locale terasa lebih kasual dan rilek. Which is good. Aku ‘kan anaknya santai.

IMG_5540   IMG_5545

Lagi-lagi kalo dibandingkan dengan Sarong dan Mama San, restoran ini lebih simpel, minimalis, dan kecil. Sederhana dan nothing pretentious. Ke-sederhana-an ini semakin ditekankan dengan 100% penggunaan bahan lokal di setiap hidangan Hujan Locale, sampe ke cocktails-nya sekalipun.

Menu Hujan Locale bernuansa Asia Tenggara, dengan bahan-bahan segar, lokal, dan slow-cooked. Meski lebih sedikit dan lebih sederhana, tebakan gue hidangan Hujan Locale lebih idealis daripada di Sarong dan Mama San.

Gue pesen Slow Braised Soy Beef Cheek with Risotto alias pipi sapi, Teguh pesen Southern Indian Seafood Curry, Raya makan Mac and Cheese, dan yang lain gue lupa pada pesen apaan.

IMG_5547

Enak?

Untuk yang kesejuta kalinya, gue bukan foodie, jadi sebenernya gue nggak pernah pede ngasih review makanan, terutama makanan di restoran dengan ‘bendera’ besar.

Tapi kalo kalian maksa (idih, siapa yang maksa?), baiklah, maka gue nyatakan bahwa makanan Hujan Locale biasa aja. Pada hambar, atau keasinan sekalian. Mungkin karena ekspektasi gue udah tinggi sekali, ya. Dari semua yang gue icip-icip, yang beneran enak cuma Mac and Cheese-nya, dan pelayannya memang sempet bilang bahwa Mac and Cheese Hujan Locale tuh andalan. Ada apa dengan Ubud dan Mac and Cheese enak, ya?

IMG_5549

Sekitar jam 19.45 WITA, gue, Raya dan Teguh pamit-pamitan sama yang lain, karena kudu cao nonton Kecak di Pura Dalem Taman Kaja seberang jalan.

Sampe sana, kami udah telat. Pertunjukkan udah dimulai, dan penonton udah penuh syesyak. Akibatnya, kami nggak dapet kursi dan ‘nyaris’ duduk lesehan. Gue bilang ‘nyaris’, karena tersedia sebilah papan untuk diduduki. Lumayan lah, pantat jadi nggak kecetak motif konblok amat.

Tapi yang menyebalkan, posisi kami jadi mepet sekali dengan bapak-bapak, kakek-kakek, dan mz-mz penari Kecak yang melantunkan “cak, cak, cak,”. Alhasil, view kami jadi nggak sedep, BAU KETEKNYA apalagi. I kid you not, semerbak keringet mereka tepat di depan hidung gue. Ambipur mana Ambipur?!

IMG_5562
MEPET BANGET, BROH

IMG_5558

Meskipun begitu, gue tetap menikmati pertunjukkannya, kok. Menurut gue, ada sesuatu yang magis dari tari Kecak, terutama lantunan akustiknya. Akika sukiii sekali. Setiap kali ke Yubad, gue selalu ngusahain nonton Kecak di berbagai pura.

Kadang gue pura-pura lupa, lho, bahwa pertunjukkan Kecak Ramayana ini nggak orisinil dari Bali, tetapi ciptaan seniman Jerman, Walter Spies. Soalnya kalo inget fakta itu, gue jadi drop, sih. Ya udahlah, lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia… Dia si Walter Spies…

Oya, banyak yang bilang bahwa pertunjukkan Kecak terbaik adalah yang di Uluwatu. Dengan backdrop tebing dan lautan di saat matahari terbenam, pertunjukan Kecak di Uluwatu emang tampak dramatis, ya. NAMUN! Pada sekitar tahun 2008, gue nonton Kecak di Uluwatu, dan nggak suka banget sama troop yang perform disitu. Narinya jelek, selipan humornya kasar, dan secara keseluruhan kayak nggak niat.

Sejak itu, gue ogah jauh-jauh ke Uluwatu untuk nonton Kecak. Walaupun troop-nya pasti digilir dan kualitasnya pasti udah membaik, gue udah kadung ilfil. Jadi kalo ada kesempatan, gue selalu milih nonton Kecak di Ubud aja.

Pertunjukkan Kecak di Pura Dalam Taman Kaja malam ini cukup enjoyable dan rasanya lebih baik daripada yang terakhir kali gue tonton. Good dancing troop overallperformers-nya niat dan khusyuk, kostumnya keren, chanting “cak, cak, cak”-nya bagus, dan penarinya tampak udah senior semua. Saking seniornya, kagak ada muka-muka remaja barang satupun. Yang nari om-tante semua, nih. Perut semi-buncit dan tangan gelambir tak dapat ditutupi, hihihi.

But it’s all fine, really! Gue tetep hepi nonton pertunjukkannya, sekaligus nonton muka bule-bule yang terpesona. Jadi (satu-satunya) turis domestik di negara sendiri emang suka bikin bangga hati, ya :'}

IMG_5573

IMG_5574

IMG_5568

Raya apa kabar?

Kabar buruk, pemirsa. Dari awal kami menginjakkan kaki di pura ini, do’i ketakutan berat! Syok kali, ya, liat puluhan orang telanjang dada mengelilingi api sambil teriak-teriak cak-cak-cak, gitu. Akhirnya, sepanjang pertunjukkan, Raya meluk gue erat-erat sambil merem. Cengkramannya maut, tangannya basah, dan dia bertahan di posisi itu selama satu jam pertunjukkan penuh. Gileee, anak kecil kalo takut emang nggak main-main, ya.

Tentu saja Raya gue peluk balik, dan nggak pernah gue suruh buka mata barang sedetikpun. I already felt bad for bringing him here. Untungnya, Raya nggak pake nangis, berontak, atau jejeritan. Mengeluh pun enggak, cuma membeku aja di pelukan gue.

Trus, kalo ada yang inget, di setiap akhir pertunjukkan Kecak ‘kan ada semacam debus, tuh. Ada atraksi orang ‘kesurupan’ dan nginjek-nginjek bara api. Formatnya mirip kuda lumping, karena si yang kesurupan naik kuda-kudaan juga. Teguh parno banget sama bagian ini, jadi sebelum debusnya dimulai, Raya udah dibawa keluar pura sama Teguh.

IMG_5588

Walaupuuuun menurut gue sih, debusnya pura-pura, ah. Kayaknya emang ada skill tertentu supaya kita bisa nginjek bara api tanpa harus kesurupan, deh. Ya nggak, sih? So I was sure there was no kesurupan involved in this part, tapi Teguh ngotot cabut seribu langkah sambil bawa Raya, sementara gue tetep nongkrong nonton.

IMG_5593

IMG_5604

IMG_5609

Kelar pertunjukkan, kami kembali jalan kaki balik ke villa. Sepanjang jalan, tampak beberapa banjar lagi siap-siap barbekyu-an dan pasang petasan demi menyambut taun baru. 

Pulang-pulang, kami langsung beberes dan tidur, diiringi dengan bunyi kembang api mbleduk sepanjang malam. Selamat taun baru, semua!

***

Besok paginya, pas Raya baru bangun tidur, sambil masih merem setengah sadar, dia ngomong, “Ibuu… Maafin Raya, ya, Bu…”

“Lho, kenapa?”

“Kemaren Raya takut nonton Kecak…”

Oh, my sweet, sweet, son! Never loose your sweetness in this cruel world, ya. Selamat taun baru, anakku sayang :-*

16 comments:

Gadis said...

"netekkin paling zen...."
boljug nih ditiru gaya si mongki!
ihihihihi...
BTW udah speechless sih ngomentarin si anak setan mau komentar soal kebun bistro ajuaah...
minggu lalu aku kesana mbak lei... ya amvuuuun.... sumveeeee.... cantik banget ya! setiap sudutnya, detailnya, semuanyaaaaaaaaaa.... aku pesen escargot enak2 aja mba.. gak tau sih rasa escargot yang decent gimana but i enjoyed mine from Kebun hehehe... pelayannya pun ramaaah dan baik hatiiii.... aahh suki sekaliiii

farah said...

awww maniss bangett sihh kamuu Raya :))))))

i always thought yang di Uluwatu paling joss lho Mbak, thanks for the review *catet*.. Kebun Bistro juga okeehh bgt kyaknyaa (buat posting di instagram) *catet lagi*

"sampai sabun di wastafelnya. Crabtree & Evelyn? L’Occitane? Yang pasti bukan Lifebuoy...." *ngakak sampe Tabanan*

Anw, mbak kalo tgl 22 di Bidakara nanti ada yg sok kenal minta foto bareng jangan dijudesin yahh :)))

Lia Harahap said...

dulu punya pengalaman buruk di monkey forest pas masih kecil. para monyet kayaknya tau aja di kantongku ada kacang. daku yang masih dalam masa adaptasi biar gak takut ama mereka makin syok pas tau ada satu monyet besar lagi ngubek-ngubek kantongkuuu T.T

tapi pas baca cerita soal anak tengil yang ganggu monyet-monyet itu, jadi kesel banget tau kelakuannyaaaa... masih untung gak ditabok monyet.

atchoo said...

Hai Laila! Udah lama gak maen ke blog lo. Always fun to read your writing :)

Ayu

Clara said...

aa..terharu baca endingnya. Raya sweet amat sih kamuuu... :*

Fi said...

Ya ampun.. what is wrong with that kid di Monkey Forest? Gw bacanya aja sampe ikutan kesel. Emang gak semua orang (di) Singapur itu tertib2, tapi gw gak nyangka sampe segitu, to put it mildly, gak tau aturannya. Dan yang paling bikin kesel, orangtuanya ngapain sih?
*maap, jadi marah2 di sini*

Btw, lucu amat sih, menu andalannya kok pada Mac and Cheese :)

Anonymous said...

Mba lei, cobain teh daun jati cina deh. Ampuh utk shoo shoo pup away dgn efek yg ga semulezz obat pencahar..

Unknown said...

Waaaa... sweet banget mbak Rayaaa nyaaa. Ditunggu post selanjutnyaa ya mbak lei..

adis said...

Horeee akhirnya ada sesi lanjutaan. Raya adorable sekali sihh..Gemesss. Btw kalo yg tentang susah pupu itu, nyokap gw jg mengalami masalah yg sama. Kata dokter sih emang ususnya panjang banget aja, jadi emang gak ada obat khusus.

Btw lagi, aslik itu bocah dari neraka ngeselin banget. Rasanya pengen ngatapel dia balik pake bara api.

prin_theth said...

Gadis: Kebun Bistro cantek yaaa! Escargotnya emang lumayan, kok, tapi aku paling sakit ati sama raviolinya, bleehh... More reason to kombek berarti yaaa, buat icip-icip yang lain hihi.

Farah: HAAAAH, KAMU SIAPANYA FEBYYY?! Sampe jumpa di Bidakara yaaa hihihi.

Aulia: Hihihi, para tenyom emang paling pinter nyolong makanan dari kita. Kalo kesana, jangankan makanan, pake aksesoris aja aku nggak berani, takut ada yang iseng ngejambret. Lensa kamera aja aku copot haha, parno abisss...

Ayu: Ayuuu, apa kabar? Lagi sibuk yaaa...

Fi: Bukan cuma nggak tau aturan, tapi membahayakan pengunjung lain nggak sih? Karena si bocah bikin para monyet marah, mereka juga jadi ancang-ancang nyerang kitaaa... HOROR GILAK!

Nessissa: Ah, iyaaa... teh daun jati pernah denger. Sip, dicoba yaaa.

Luluk: Siappp :)

Adis: ((PAKE BARA API)) hahahaha

doena said...

gue blm pernah ke monkey forest tapi gara gara lihat instagram neng parish yang suka banget ama tempat ini gue jadi penasaran. apalagi lihat instagram doi yang demen banget pegang pengang monyeet:D

btw cerita trip bali nya dibuat jadi berapa seri nih?

Anastasia said...

hai, la.. ini comment kedua di blog ini stelah sok kenal nanyain si produk TBS :D

sama nih masalahnya susah pupu dan aku pun kadang minum obat pencahar. kalo aku akhir-akhir ini minum laxing, sakit perut melilit ngga sampe mau mati sih. masih oke lah sakit perutnya, masih bearable. tapi begitu minum dulcolax beneran rasanya mau matiiii... sampe nyumpah-nyumpah musuhan sama dulcolax seumur hidup hahaha

Anonymous said...

wah wah wah klo gue ada disana kayaknya ibu nya yg gue bentak sik.. #darahtinggi

Puput Utami said...

Raya pinter bangettt! sepengalaman sepupu-sepupu yang masih bocah dan anak-anaknya temen (maklum, belum punya anak :D) kalo takut pasti berontak, nangis meraung-raung binti meronta-ronta minta pergi ke tempat lain, bikin sutris orang tuanya kyknya.

Selain itu, kalimat terakhirnya Raya sweet banget sih.. Ahh Jadi pengeeeen....... ke Bali.

prin_theth said...

Doena: Kenapa siiih nanyain cerita Balinya mau berapa seri? UDAH BOSEN YAAA T__T

Gue nggak follow IG Paris, jadi ngintip, iya sih si neneng kok luwes banget ya sama monyet :D

Anastasia: Aduh mak, asliii Dulcolax gila lah, pil neraka jahanan banget itu maaah. Kalo Laxing masih manusiawi ya? Belom nyoba deh...

Mrsnts: Bok, aslik.

Puput: Aduh, ini Puput blogger hijabers yang manis itu yah? Aku baca blog Puput udah lamaaa, walaupun belakangan udah lama absen juga. Yah jadi grogi deh dimampirin hihihi.

Iya, aduh Alhamdulillah banget Raya nggak nyusahin, walau sebenernya lagi takut sekalipuuun...

Bunda Bibi said...

itu sih bukan bocah lagi kali lei, kelakuannya tengil banget sih.
Raya..Raya.. sini tante peluk *siapa elo :P

Post a Comment