May 25, 2014

#2014

Sekilas pemikiran aja nih bok, yeee…

Sejak 2004, masa kampanye pilpres selalu menjadi masa yang canggung buat gue – seolah-olah ada stempel bertuliskan “Pilih Jusuf Kalla!” di jidat gue, dan itu membuat lingkungan gue memberikan reaksi-reaksi khusus.

Beberapa temen merasa perlu ngomong, “La, gue pilih JK, kok!” ke gue, lalu mengutarakan seribu pujian dan alasan kenapa mereka pilih JK. Padahal gue nggak nanya, tuh, hihihi.

Sementara temen-temen gue yang golput atau milih capres lain kadang tampak sungkan untuk berinteraksi deket gue, dan menghindari topik pilpres.

Gue sendiri terlibat di tim kampanye JK sejak 2004. Pada taun 2004, gue keliling Indonesia non-stop karena menjadi salah satu tim dokumentasi kampanye. Pada taun 2009, gue menjadi bagian dari Sahabat Muda (anyone still remembers that?), tim sukses JK - Win yang menargetkan kampanyenya untuk young voters.

I didn’t remember sleeping during those periods, karena rempongnya.

Jadi wajar, sih, kalo temen-temen gue menganggap gue adalah pendukung JK garis keras. Udah ponakan kandung, jadi tim sukses inti mulu pula.

Tapi apa yang orang-orang nggak tau adalah, sebenernya prinsip gue adalah ini: blood is not thicker than water. Gue selalu—dan akan selalu—memilih presiden dengan akal dan hati nurani, bukan karena hubungan darah. Seandainya Bapak gue sendiri menjadi capres, tapi gue nggak sreg dengan beliau, I would not vote for him.

If I vote for someone, it would because of reasoning, bukan ‘cinta buta’. That is my stance.

Taun ini, gue tetep menjadi ‘simpatisan’ Jokowi – JK. Dalam artian, gue mendukung apapun kegiatan yang dilakukan oleh para tim sukses, khususnya tim sukses anak muda yang dikelola oleh sepupu-sepupu gue (Sahabat Muda) dan pihak Jokowi (Kawan Jokowi).

But here’s the twist: taun ini, gue berusaha untuk tidak terseret menjadi tim inti.

Alasannya ada dua. Pertama, nggak ada waktu. Men! 2009 was crazy, men! Gue jadi jarang tidur, kudu ngambil unpaid leave sebulan dari kantor, dan putus sama pacar demi kampanye. Ih, kzl. I can not repeat that again this year. Gue persilahkan ke sepupu-sepupu gue yang lebih muda dan belum beranak, hihihi. Monggo, lho.

Kedua, karena menjadi tim inti seringkali bikin sesak napas. Kalo jadi tim inti, gue akan dijejali oleh boanyak sekali informasi-informasi detail mengenai Jokowi – JK, yang tentu saja berbau fanatisme. Otomatis, ya. Namanya juga tim sukses. Harus “fanatik”, dong.

Nah, kalo kepala gue dipenuhi dengan info-info detail (“Taukah Anda berapa jumlah tai lalat Jokowi? 10! Luar biasa! Hebat, ya!”), gue nggak akan sanggup untuk see the bigger picture in this whole presidential election. Gue akan menjadi terlalu terfokus ke hal-hal kecil. This year, I want to step back, and see the bigger picture. Be more objective dalam melihat keseluruhan proses kampanye, dan dalam menilai para kandidat.

Jadi, ini kesimpulan ngemengan gue di Minggu pagi yang cerah ini:

1. For me, blood is not thicker than water. Keputusan gue untuk mendukung Jokowi – JK datang dari hati dan kepala, bukan silsilah.

2. Seperti toleransi beragama, gue juga menghargai perbedaan pilihan. Gaaaiiis, nggak apa-apa kalo nggak milih Jokowi – JK, gaaaiiis! Kita masih bisa heng aut bareng, gaaais! I don’t have a “Vote Jokowi – JK or else” stamp on my forehead, yu naw. If we’re on the same side, cool. If not, still cool. 
 

Good luck to everyone, may this year brings a better future to this country. Loving you is tough, negaraku, but you’re the only country I’ve got.

Hiduplah Indonesia Raya.

PS. This may be my first and last ‘political’ post on this blog. If it is, please ask no more. Kalau mau bahas-bahas lebih lanjut, nanti gue arahkan ke official website / fanpage-nya aja, yaaa.

2 comments:

Home and Family said...

hahahah.... banyak yg minta postingan soal ini ya Mbak?

Anonymous said...

Hidup Indonesia Raya Bu Leija..

Post a Comment