May 28, 2013

Changing Lives, Part 2: Terjun ke Kampung

IMG_9773

Nggak kerasa, waktu sudah berjalan lebih dari satu jam. Saya, Teguh, Bapak, dan Mama sungguh hanyut dalam obrolan bersama Leon di kantor KKI. Obrolan yang luar biasa.

Lucunya, selama sejam berbincang, nggak ada perubahan pada wajah Leon. Nggak ada ekspresi sombong, angkuh, atau bahkan mengiba disaat bercerita tentang naik-turunnya KKI. Leon hanya punya dua ekspresi: ceria dan optimis!

Kelar ngobrol, Leon bertanya, “Gimana Pak? Bu? Kita mau dateng kampung yang mana nih?” Tetiba kami baru ingat, bahwa salah satu tujuan kami datang ke Cilincing adalah untuk ketemu langsung dengan anggota KKI di perkampungan.

Menurut Leon, ada dua kampung yang bisa kami kunjungi. Kampung yang pertama jaraknya sedikit jauh dari kantor KKI, namun disana ada beberapa anggota KKI yang kisahnya paling ‘sukses’ dan inspiratif. Kampung kedua jaraknya lebih dekat, namun kondisinya mengenaskan. Bisa dibilang sangat jorok dan miskin. Mungkin Leon takut kami syok, ya…

Alhamdulillah, keluarga Pak Achmad ini nggak gentar (baca: gengsi). Kami memilih kampung kedua, yang bernama Kampung Bambu. Alasannya sebenarnya sih gegara Raya udah rewel banget, maka dipilih lokasi terdekat aja deh, biar cepet pulang, hihihihihihi.

***

Dalam waktu 10 menit, kami sampe di jalan raya depan Kampung Bambu. Saat turun dari mobil, matahari hampir berada tepat diatas kepala kami. Di tengah perjalanan kaki menuju jantung Kampung Bambu, kami melewati segerombolan anak kecil dan salah satu dari mereka teriak, “Ada Cina lewat, noh!”

We couldn't help laughing :) Ngakak, bok. Leon cerita ke saya, “Gue sering banget diteriakin anak kecil, ‘Ada Cina! Ada Cina!’ apalagi saat gue masih sering ke lapangan. Gue sih cuek aja, tapi kemudian orangtuanya pada minta maaf ke gue, hehehe.”

Leon bertukas, di awal berdirinya KKI, warga sempat berburuk sangka, mengira KKI adalah program ‘Kristenisasi’ di Cilincing. Pertama, jelas karena wajah Leon yang ‘Cina banget’, hehehe. Kedua, karena kata ‘Kasih’ pada Koperasi Kasih Indonesia sangat identik dengan gerakan gereja. Namun lambat laun, warga paham bahwa KKI murni haya ingin mensejahterakan rakyat, sama sekali nggak berkaitan dengan agama maupun ras.

Leon lanjut berkisah mengenai Kampung Bambu.

Kampung Bambu adalah perkampungan nelayan, dengan penghasilan utama kerang. Maka mayoritas warga kampung kerjanya mancing kerang, ngupas kerang, ‘mewarnai’ kerang (tau warna oranye daging kerang hijau yang biasa dijual di kedai / abang-abang? Yesss, itu pewarna), dan jualan kerang. Dengan demikian, tanah di Kampung Bambu hampir sepenuhnya tertutup oleh kulit kerang. Ada yang sampai menggunung, namun kebanyakan menutupi ‘tanah’ tempat kaki kami berpijak. Saking banyaknya.

***

Saat sampai di Kampung Bambu, ucapan Leon soal kulit kerang tadi terbukti. Kemanapun kami melangkah, ada bunyi “kres kres” di kaki. Kampung Bambu nggak berdiri diatas tanah. This is a land of clam shells.

Kami disambut oleh pemandangan tipikal perkampungan ibukota—anak-anak berlarian, ayam dan kambing berkeliaran, ibu-ibu dan remaja gadis sibuk ngupas kulit kerang di depan rumah, sampai jemari mereka menghitam. Seorang pemuda melewati kami, menggeret gerobak berisi kerang hijau mengepul, siap dijual untuk disantap. Tampak dagingnya yang keoranyean, penuh pewarna.

Satu hal di Kampung Bambu yang membuat saya pusing adalah... baunya. Bau amis dan tengik bercampur hawa pengap yang amat kuat membuat kepala saya mau meledak. I’ve never experienced a stench this intense before. Dan baunya menyergap seluruh pojokan Kampung Bambu, you can’t escape from it.

Otomatis, saya menahan napas dan bernapas lewat idung. Problem selesai? Enggak, seus...

Masalahnya, lalat di Kampung Bambu ini bisa dibilang seperti kabut. Banyak sekali, dan ‘tebal’, karena terbang dalam gerombolan. Kemanapun kita melangkah, lalat selaluuuu mengerubungi kepala kita, sehingga pada nabrak-nabrak muka dan—kalau lagi apes napas lewat mulut—masuk mulut.

Nggak ada satupun warga Kampung Bambu yang tampak keberatan dengan ‘kabut’ lalat yang mengerumuni kepala mereka. Mereka bahkan nggak menghalaunya sama sekali, jadi saya terpaksa nggak menghalaunya juga dooong... Telen laler, telen laler deh. Demi khengsi! *lalu diare*

IMG_9775

IMG_9766

Pemberhentian pertama kami di Kampung Bambu adalah warung Bu Fatimah. Bu Fatimah adalah seorang anggota yang berhasil mendirikan warung berkat modal dari KKI.

IMG_9764

Sayangnya, saat kami datang, Bu Fatimah sedang keluar. Di depan warungnya, ada tiga anak kecil—salah satunya anak Bu Fatimah—sedang menggunting-gunting karton kecil.

IMG_9767

Saya tanya, “Apaan tuh, dek?” Seorang gadis kecil berambut panjang yang tampak dominan menjawab lugas, “Ini kartu gitu, entar dibeli orang. Trus ntar digosok, ada nomernya… Ntar bisa menang, gitu…”

Dengan penjelasannya yang terpatah-patah, saya menyadari bahwa anak-anak kecil ini jualan lotre. Dan bukan sembarang lotre. “It’s lottery for kids,” bisik Leon.

IMG_9762

Sistem lotre ini—surprisingly—cukup rumit, tapi bisa banget menjerat anak-anak kecil menjadi ketagihan. Apalagi, kartu lotre ini kadang dijual dengan sisipan permen. Harga kartu lotrenya pun bervariasi, tergantung jenisnya.

IMG_9760

Karena Bu Fatimah nggak kunjung datang, kami lanjut jalan ke rumah anggota KKI yang lain. Lokasinya sedikit jauh dari warung Bu Fatimah, dan saya harus kembali berhadapan dengan bau tengik dan kabut lalat yang mengerumuni kepala. Kadang sendal jepit saya menginjak lautan kulit kerang bercampur lumpur yang mblesek ke bawah. Duuuh, nyesel senyeselnya, kenapa nggak pake boots besi sepatu kets aja…

***

Tak lama kemudian, kami sampai di rumah seorang ibu-ibu, salah satu anggota KKI yang cukup sukses di Kampung Bambu. Berjuta maaf ya pembaca, saya lupa nama ibunya siapa. Kita sebut aja Bu Ani, ya.

Rumah Bu Ani hanya terdiri dari kayu yang dibangun dengan tangan sendiri, namun untuk ukuran Kampung Bambu, rumah ini mewah. Luasnya lebih dari 90 meter. Ada TV, ada kipas angin, ada toilet.

Kalau tadi saya bilang udara di Kampung Bambu terasa menyesakkan, ternyata efeknya lebih parah kalau kita berada di ruangan tertutup. Di dalam rumah kayu Bu Ani ini, bau amis dan tengik terasa kuat mencengkram lubang hidung, ditambah dengan situasi lalat yang ternyata sama parahnya dengan di luar! Mangap salah, mingkem salah. Hati anak manja ini menjerit.

Ketika duduk di lantai, saya menggigit lidah demi nggak beneran teriak. Pasalnya, seekor tikus berbentuk aneh (curut? Tikus mutan?) melintasi kaki saya, nyebrang dari kolong meja ke rak sepatu dekat pintu. Aaarggghh...

And nobody else seemed to care T___T

IMG_9770

Saat kami semua sudah duduk, Bu Ani mulai bercerita mengenai keluarganya. Saya pun berusaha melupakan situasi bau, lalat, dan tikus tadi.

Suami Bu Ani adalah seorang sekuriti. Anak mereka ada 4, yang tertua sudah kuliah di Medan, yang bontot masih berumur satu tahun. Sebelum kenal KKI, Bu Ani berprofesi sebagai tukang kredit, namun ketika berhasil mendapat modal dari KKI, ia mulai berjualan nasi kucing.

Kini, penghasilan kotor kedai nasi kucing Bu Ani sekitar 1 juta rupiah per hari, namun laba kotor ini terpecah untuk belasan pos. Misalnya, Bu Ani harus menggaji para tenaga kerja kedai. Beliau juga harus membayar pungli dalam jumlah cukup besar kepada berbagai danton dan anggota TNI yang berkeliaran di lokasi jualan Bu Ani. Sebagai ‘parasit’, para pemungut pungli nih memang cukup memberatkan dan ngeselin, ya.

Walau begitu, Bu Ani tetap bisa dibilang kasus sukses. Ia berhasil memajukan perekonomian keluarganya, dan menjadi pendukung penuh sistem KKI.

Lucunya, selama perbincangan, selalu ada gombal-gombalan yang terjadi diantara Leon dan Bu Ani. Di tengah perbincangan, Leon selalu nyeletuk, “Ibuuuu… Cerita apa adanya aja ya! KKI jangan dibagus-bagusin! Apa adanya aja ya, Buuu… Saya keluar nih kalo Ibu gombal!” Yang dijawab mesra oleh si Ibu, “Nggak, Pak Leyooon... Suwer Pak, ini saya jujur! Saya mah demen ama KKI!”

Ceileee... :D

Tapi rasa penasaran saya tergelitik. Kalau sistem KKI sudah bagus, kenapa masih banyak warga yang lebih milih meminjam dari rentenir lain? Padahal rentenir lain ‘kan sifatnya lebih merugikan, bak lintah darat?

Bu Ani cerita, rentenir lain memang kadang tampak menggiurkan. Sebagai contoh, sebuah rentenir menawarkan asuransi jiwa untuk peminjamnya. Jadi kalau seorang peminjam meninggal, seluruh hutangnya dihapuskan, dan keluarganya malah mendapat kompensasi.

“Kenapa KKI nggak pake asuransi?” tanya Bapak saya kepada Leon. Ternyata KKI memang sudah di-cover asuransi dari… dari mana ya, saya lupa… Prudential? Tetapi mereka belum bisa menawarkan asuransi jiwa, karena anggota KKI belum mencapai 10,000 orang. Edyaaan, harus nembus angka sepuluh rebuuu...

Selain itu, warga memilih rentenir lain karena mereka sangat mudah memberikan pinjaman, tanpa banyak syarat. Kalau seseorang mengajukan pinjaman, ia bisa megang 200 ribu perak di hari itu juga.

Padahal, berbagai syarat pinjaman KKI—yang dianggap ribet itu—demi kebaikan sang peminjam juga, lho. Leon menjelaskan, “KKI itu ibaratnya makanan organik, sehat, bergizi, dan murah. Sementara rentenir lain ibaratnya makanan enak menggoda, tapi penuh micin, nggak sehat, mahal pula. Ternyata orang-orang lebih milih si rentenir bermicin ini, lho.”

(saya dalam hati: di luar metafora tersebut, orang memang cenderung milih makan junkfood daripada sayur, kok. Nggak heran, aplikasi di kasus lainnya juga begitu. We gotta start making better choices in life nggak, sih?)

Obrolan berlanjut ke topik biaya hidup warga Kampung Bambu. Yang paling mengejutkan adalah soal air bersih.

Kawasan Kampung Bambu dikelilingi oleh air asin, dan menembus air bersih tuh cukup sulit. Akses air PAM dikuasai oleh para “Bos Air” yang menentukan jumlah dan harga air untuk warga perkampungan.

Keran PAM ini terletak di ujung Kampung Bambu, rada jauh. Dan setiap kali keran dibuka, warga rame-rame “nyelang”—istilah untuk mengalirkan air dari keran PAM ke rumah masing-masing dengan selang. Sayangnya, letak rumah Bu Ani cukup jauh dari keran PAM tersebut. Dari ujung ke ujung, lah. Alhasil, ketika air PAMnya sampai di rumah Bu Ani, kucurannya sudah lemah.

Karena kucurannya lemah, dibutuhkan waktu 1 jam untuk bisa mengisi bak toilet rumah Bu Ani. Bak toilet doang ya, belum jirigen air minum, ember cuci pakaian, dll. Padahal, biaya “nyelang” selama sejam adalah 20 ribu rupiah. Coba dikalikan setiap hari. Bagi warga Kampung Bambu, biaya ini mahal sekali.

Dengan demikian, Bu Ani hanya sanggup nyelang 2-3 hari sekali, dan diutamakan untuk toilet dulu, deh. Perkara mandi, nyuci baju, dipikirin nanti.

"Makanya, Pak. Kalo ujan, wah, kesempatan banget tuh nampung aer..." kata Bu Ani.

Yang menjadi masalah adalah kalau ada anggota keluarga yang sakit. Anak bontot Bu Ani baru-baru ini demam sampai kejang. Oleh dokter, si bocah diperintahkan untuk minum air putih yang ‘sehat’. Bu Ani terpaksa beli segalon Aqua yang dibuat bertahan sampai seminggu.

Perihal sakit memang pil pahit bagi warga miskin. Kadang, ada anggota KKI yang rajin dan berdedikasi menabung, tapi kemudian anggota keluarganya ada yang sakit. Alhasil, simpanannya di KKI ludes untuk pengobatan, padahal ia berniat menyekolahkan anak dengan tabungan tersebut.

Anggota KKI yang mengalami musibah seperti itu seringkali menjadi down. Ia bisa keluar dari KKI dan tak mau menabung lagi. Semangatnya luntur semua.

Disini, ‘Kesehatan adalah harta paling berharga’ bukan sekedar motto, ya...

***

Setengah jam berlalu. Kelihatan dari ekspresi para ibu-ibu, bahwa sebenarnya mereka masih betah ngobrol. Tapi Raya udah jejeritan, dan saya sendiri—kalau boleh jujur—udah mau pengsan diterkam oleh hawa pengap dan teror si tikus yang nggak berhenti bolak-balik.

Maka kami bersalaman, berpamitan dan berjalan balik ke mobil, masih diiringi oleh ratusan lalat di kepala.

***

Dihadang malu, saya nggak sempat mengekspresikan jutaan rasa dalam dada kepada Leon, tetapi sebelum keluarga saya masuk mobil—dan sebelum Leon kembali naik motornya—Bapak menepuk pundak sang pria berkacamata dan berkata, “Luar biasa usaha kamu. Hebat sekali.”

Percayalah, Leon, pujian itu mewakili kami sekeluarga. And a whole lot more.

How We Can Help KKI

Di website KKI, ada link “Getting Involved” di menu bar atas. Disitu, ada detail materi atau jasa apa saja yang bisa kita sumbangkan untuk membantu KKI.

Untuk saya pribadi, berikut hal-hal yang baru kepikiran:
  • Memberikan donasi berupa uang. Berapun pasti akan diterima oleh KKI dengan bahagia. Ini langkah paling gampang ya, walaupun nggak sustainable.
  • PRT saya punya anak, bernama Putri. Umur 18 tahun, baru lulus SMA, selalu juara kelas dari SMP, dan sedang menunggu ujian masuk PTN. Kami cukup dekat, karena Putri tinggal bareng saya sejak ia kecil. Saya menawarkan Putri kerja di KKI, toh sembari nunggu ujian dan pengumuman PTN juga. Syaratnya, Leon nggak boleh menggaji Putri. Saya yang akan tanggung expense-nya.
         Bagi yang berminat, KKI selalu butuh tenaga kerja.
  • Di halaman “Getting Involved”, KKI menyebutkan bahwa mereka sedang butuh seorang fotografer untuk membuat picture book KKI. I can do that, Insya Allah.
  • Untuk membantu keuangan pribadi Leon, saya minta kantor Teguh merekrut Leon, untuk memberikan pelatihan kepada karyawan-karyawan Teguh. Kebetulan memang sedang butuh. Lumayan ‘kan nambah-nambahin proyek pribadi? ;)
  • Last but not least, saya membantu KKI dengan ‘senjata’ saya yang utama: menulis dan blogging. Semoga tulisan yang panjang lebar disini bisa menjadi toa suara KKI, sekaligus menggugah hati masyarakat luas. Aamiin :)

10 comments:

Nina said...

Thank you so much for sharing this to your reader! *lgsg menuju website KKI*

dira said...

good sharing mba :)
website-nya langsung aku forward k suami yg orang IT,krn mmbutuhkan support Information System siapa tau bisa bantuin...

btw papa mba Lei terlihat sangat bersahaja :')

prin_theth said...

Andina: Sama-sama yah! Oya, kalau ada yang mau disampein ke Leon, lewat aku aja. Nanti aku BBM langsung :)

Dira: Ohya ampun, makasih banyak yaa. Semoga suaminya bisa turut membantu. Hahahah bapakku itu tepatnya kucelll... Dia pake singlet doang tuh... Polo shirtnya dicopot soalnya gerah T__T Bapak emang demen blusukan, berhubung proyek kerjaannya di hutan-hutan daerah huhuhu.

astrid said...

I love reading your last posts lei..sering2 yaaa nulis tentang isu2 kayak gini :) everybody fights their own wars ya... dan Leon bener2 seorang pejuang sejati..very inspiring!

Pawestri said...

very inspiring mba Lei, semoga KKI makin maju..
Merinding euy bacanya

Rere said...

Leon dan KKI emang keren banget, pernah nonton liputan kesehariannya pas di S*TV.

Papamu sangat menikmati banget kegiatannya Lei, salam ya buat beliau :)

Shintata said...

Minta tolong jokowi-ahok kira2 dibantuin ga yaa?

catfish, who loves tigerfish said...

Salut ya sm Leon, padahal di umur segitu normalnya orang kan sangat 'material'.. Hebat!
Insya Allah gue bantu, makasih udh sharing websitenya.
Temen2 SMA dan kampus gue dulu ada Lei yang bikin foundation juga, tapi khusus buat anak putus sekolah. 1 dulu markasnya di IKJ (Sekolah Anak Jalanan) yang gue udh ilang info, 1 lagi Civismo Found yang masih aktif.

Semakin banyak anak muda yang peduli, semakin cepet Indo berkembang. Masa puluhan tahun masih aja developing country ya..

prin_theth said...

Amy: Hai Amyyy... Iyaaa, salut banget sama Leon. Perasaan gue bercampur antara salut dan nggak tega, tapi Insya Allah gue akan terus dukung Leon. Thanks ya! Kalo lo mau spread the words ttg KKI, itu pun udah membantu banget :)

Oh temen-temen sempet bikin foundation juga? Masih aktif foundationnya? Hebat lho, karena mempertahankan foundation sosial gitu kan sama sekali nggak gampang ya...

Bunda Bibi said...

waaaaw, luar biasa, hebat banget perjuangannya leon, mudah2an KKI semakin maju dan akan muncul KKI2 lainnya di indonesia.
izin share postingannya yaa lei..
btw pas kamu cerita soal panas dan pengapnya suasana di kampung bambu, kok aku jadi inget pas kamu lagi ikutan bikram yoga lei :P

Post a Comment