The So-Called Babymoon - Pre-Departure

Alhamdulillah, kami udah balik dari Bali dengan selamat sentosa (eng… udah lama sih baliknya). Dan selayaknya seorang blogger heits (mampus gue), saya siap mendongengkan kisah liburan kemaren sampe berpost-post panjangnya, muahahaha! *ketawa diatas bukit*

Is This A Babymoon?

Kalo mau jujur, dulu saya nggak suka lho, sama istilah ‘babymoon’.

Saya ‘kan orangnya skeptik dan nggak asik, jadi banyak hal-hal di dunia ini yang menurut saya nggak penting. Contohnya, foto pre-wed, susu hamil, dan babymoon (maaf banget bagi yang nggak setuju *sujud ampun*).

Sebelum hamil dulu, saya pikir babymoon adalah alesannya bumil metropolitan aja untuk minta liburan ke suaminya. Padahal mah, kalo emang niat liburan, kapan aja bisa.

Tapi biasalah… kalo saya nggak suka sama sesuatu, biasanya kualat. Pada akhirnya saya hamil dan merasakan sendiri derita trimester pertama yang terkutuk, sampe saya nggak bisa gerak dari kasur selama 19 minggu. 

 Kondisi pilu di trimester pertama. Ini lagi nangis, lho.

Saking mirisnya keadaan saya dulu, T sempat membisikkan sebait janji surga, “Kalau nanti kamu baikan, kita ke Bali dua minggu deh,”

Bener lho ya!

Finally, the happy days arrived. Trimester kedua datang, muntah-muntah plus migren pun berangsur hilang. Janji liburan dua minggu ke Bali harus ditagih, dong.

Nyatanya, liburan dua minggu hanyalah gombalan belaka (ketebak nggak sih…), dan T mengajukan proposal untuk pergi lima hari saja. Baiklah, proposal diterima!

Liburan ke Bali berdua suami saat saya hamil trimester kedua… hmm, sounds like a babymoon. But is it?

Well… who cares? Pokokne aku liburan, qaqaaa… horeee!

How We Got There

Standar, dong: penerbangan pertama AirAsia. Hahaha. Tipikal turis Jakarta medit ya. Naiknya budget airline, dan kudu penerbangan pertama biar nggak rugi waktu di Bali. Tapi kali ini nambah extra fee untuk pesen kursi Hot Seat dan pre-book makanan buat saya, pas pergi dan pulang. Maklum yaaa, 'kan hamiiil…

How We Got Around

Awalnya saya ngotot sewa mobil pleus sopir, tapi T menolak mentah-mentah, katanya MAHAL! Dese mau nyupir sendiri aja. Deg! Copot jantungku. Selain karena T juarang ke Bali, dia juga nggak pernah nyetir disana, apalagi gue! Nggak rela dong, kalo disana nyasar-nyasar.

T bilang, “’Kan ntar bawa GPS kita!” Dengan gebleknya saya nanya, “Emang GPS-nya bisa nyala di Bali?” Dan suamiku—yang konon jenius sampe dibeasiswain pemerintah Singapura dari SMP sampe kuliah—malah nanya balik, “Iya ya… Bisa nggak, ya?”

PINTER NGGAK TUH? Dapet salam dari Ruben Onsu.

(jawabannya: selama ada satelit di luar angkasa, kemanapun ya bisa dong kakaaa…)

Dari Kara, kami dapet penyewaan mobil yang menyediakan Suzuki Splash dengan rate lumayan. We love this kind of car. Nggak Jimny-Jimny amat, nggak Karimun-Karimun amat, tapi cocok untuk kami berdua yang imut-imut ini.

Keunggulannya: irit bensin karena cc-nya kecil, dan masih mampu nyelip di gang-gang kecil. Kalo naik Kijang, pasti udah nyerah duluan.

Where Did We Stay

Ubud dan Sanur. Tadinya mau di Ubud aja, full on, tapi diem-diem kangen pantai juga sih! Kami milih Sanur karena nggak akan ke pantai Kuta / Legian / Seminyak (bau sampah!), melainkan ke Uluwatu sana. Pleus, Sanur deket airport, jadi akan menguntungkan di hari kepulangan kami.

Persiapan Seorang Bumil Rempong

Karena ini pertama kalinya saya keluar kota selama hamil, jadi agak parno bin kamseu. Apalagi mengingat awal kehamilan saya yang agak sadomasokis. Kalo ‘kumat’ pas di Bali gimana?!

Akhirnya sang bumil pun persiapan: riset-riset, minta restu para obgyn, nyiapin baju super adem meski modelnya ala Rama Aiphama Haute Couture, dan sebagainya (selengkapnya nanti bisa dibaca di Mommies Daily ya ;)). Tapi yang menjadi fokus utama adalah: alas kaki.

Di bulan ke-5 ini, baby bump saya tergolong kecil, bahkan si anak cenderung underweight. Tapi emaknya tetep naik sembilan kilo aja, gitu! Mungkin karena bump-nya nggak cuma di perut, tapi juga di pantat, zzzz.

Dengan kenaikan berat yang signifikan ini, telapak kaki saya jadi gampang sakit menopang si bodi aduhay. Padahal di Bali bakal banyak jalan dong, ya.

Alas kaki super nyaman pun menjadi incaran. Ternyata nggak gampang ya nemunya! Ada sih yang enak, tapi enaknya nggak maksimal. Crocs bikin kaki gerah dan kegesek karet, Birkenstock rada berat dan menekan punggung kaki, Hush Puppies modelnya kebanyakan ber-hak, Dr Scholl talinya kasar, flats-flats standar telapaknya nggak ergonomis… pokoknya semua serba salah!

Akhirnya pilihan jatuh kepada sebuah sepatu sendal merk Clarks, merk kesukaan para manula. Modelnya nggak nenek-nenek banget, dan sangat ergonomis. Kelemahannya, harganya selangit sampe ngalah-ngalahin UMR, dan ukuran terkecil mereka masih agak kegedean di saya. Aaah, tapi ‘kan ada ganjalan in-soles, bisa diakalin lah! (or so I thought…)

Sepatu sendalnya, udah pake ganjelan in-soles.

Tiket, hotel, mobil, dan persiapan rempong bumil udah… Bali, hirwikam!