Mar 24, 2012

The So-Called Babymoon - First Day, Ubud

For pre-departure post, click here!

Subuh-Subuh

Belom apa-apa, udah telat bangun. Eaaaa… Standar banget kalo harus terbang subuh, bangunnya pasti telat!

Tapi Alhamdulillah, meski mepet, kami bisa mencapai terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta tanpa ditinggal pesawat.

Pas check-in, sempet ilfil. Saya ‘kan selalu ngarep terminal 3 lebih tertib dibanding terminal 1 ya, tapi ternyata counter AirAsia tetep keyos ya, nek. Ground staffnya teriak-teriak, dan antriannya berantakan. Semua orang bergerombol dan sibuk melambai-lambaikan print-an tiket di depan idung petugas.  Berasa di BEJ kali ya lo?! Oh well, this is not Singapore Airlines.

Setelah sukses check-in, kami cuma sempet pipis sebelum terbirit-birit boarding.

Penerbangannya lancar, meski sampe sekarang saya nggak ngerti, apa keunggulan Hot Seat selain lokasinya yang agak kedepan.

Trus… Chicken Rice-nya AirAsia enak! Lain kali pesen lagi, aah.

Oya, duduk tegak di kursi pesawat tuh ternyata awkward banget ya buat bumil. Asli, saya nggak kuat sama encoknya. Tidur posisi apapun salah. Baiklah, next time harus bawa bantal leher, bantal punggung, dan bantal sutra isi bulu angsa!

9.00

Sesampai Bandara Internasional Ngurah Rai… woow, ternyata si erpot lagi renovasi akbar! Kemana aja gue?

Sayang, renovasi ini membuat jalan keluar bandara menjadi sungguh berliku. Mana udara lagi poanas banget. T yang saltum parah (singlet + polo shirt + jaket + celana kargo) langsung pengen lari telanjang.

10.00

Setelah ambil bagasi, ambil mobil sewaan, pipis, beli minum, ina inu, akhirnya kami meluncur ke Ubud. Horeee, GPSnya nyala! Zzzz.

GPS kesayangan kami ini nih agak aneh. Reliable, keren, full-colour, pake voice command, tapi kecentilan. Intinya selalu nyampe tujuan sih, tapi suka ambil rute-rute ajaib lewat pasar, perkampungan, SD inpres, jemuran rumah orang, dan gang-gang kecil. Aneh ya? Biasanya ‘kan GPS nggak melacak jalan tikus.

Trus, apakah jalan tikus yang ditunjukkan GPS kami ini mempersingkat waktu perjalanan? Nggak. Malah jadi bikin lebih lama, HAHAHA T__T *ketawa sambil nangis*

11.30

Nggak di Jakarta, nggak di Bali, kelakuan si GPS sama aja. Jadilah kami nyampe Ubud agak molor dari jadwal.

Meski demikian, kami nggak pake complain, karena begitu ngeliat akomodasi kami di Ubud… langsung sukses ternganga-nganga. Makdirodot, bagusnyaaa!

Jadi, resort di Ubud tuh banyak yang bagus dan world-class, mulai dari grup Komaneka, Maya Ubud, dan sebagainya. Tapi harganya juga mahal. Untuk kelas menengah, I would say this place is the best I had found so far.

Perkenalkan, villa ini namanya The Samara. Saya menemukan tempat ini murni dari internet, tanpa rekomendasi dari orang yang saya kenal. Jadi walaupun The Samara dipuja-puja di travel forums, tetep aja dong, ada kekhawatiran sama produk aslinya...

Nah, betapa leganya pas saya ngeliat sendiri, si villa emang sekece testimonialnya! Ih, kok pinter banget sih cari akomodasi *elus diri sendiri*

IMG_0091
Our first view of The Samara

IMG_0027
Kontur resort yang berundak-undak, ngikutin kontur asli sawah. Restoran di kanan, deretan villa di kiri

IMG_0099
The lobby, viewed from the villa complex

Ibarat perempuan sejati, The Samara ini cantik luar dalem. Secara pisik, kondisi bangunannya masih kinclong, karena baru berdiri Juli 2011. Resort-nya imut-imut banget, cuma ada 6 unit villa, plus restoran kecil, plus lobby kecil, plus kolam renang yang nyaris sekecil kolam koi.

Kecil semua ya, kayak Kidzania. Nggak segitunya sih, tapi jangan dibandingin sama resort raksasa macem Hatrok gitu lah. Buat yang nggak suka chain hotels gede-gede, cocok deh. I personally loved it.

IMG_0100
Bergelimpangan di pinggir kolam ikan renang

View-nya bagus banget, karena berada di pelosok daerah Kajeng, yang memang terkenal dengan pemandangan sawahnya. The Samara ini pun nemplok di tengah sawah.

And we were so lucky, masa panen di Ubud udah lewat, jadi pepadian udah tumbuh lagi menjadi hamparan ijo yang seger. Bagi kami, sawah ijo jauh lebih enak diliat daripada sawah kuning.

IMG_0029
Our villa's porch, viewed from the poolside

IMG_0095
Our room

IMG_0104
Outdoor rain shower!

OK, itu kecantikan pisiknya. Suasana dan serpisnya bagaimana, ceu?

Begitu sampe lobby, kami disambut oleh sang pemilik resort, yang sekaligus lagi on-duty jadi resepsionis. Sebut saja namanya Mbak Y. Penampilannya semok, fes-nya Bali banget, hitam manis eksotik, rambutnya tergerai panjang, memakai mini dress ketat nak seksi, lengkap dengan patent high-heels 12 senti. Bulumata laba-laba pun nggak ketinggalan! Di tengah sawah ya, sodara-sodara. Kalo istilahnya Dara, sumi-sumi nggak, sih.

Langsung dong, tukang gosip ini bergunjing dalam hati, “Pasti ini villa suami BULEnya. PASTI. Palingan dese hanya menikmati hasil…”

Tapi saya batal melempar tatapan sinis atas-bawah ala sinetron, karena Mbak Y ini Allahu Akbar BAEKNYA MINTA AMPUN. Ramaaaah buanget! Ramahnya tulus, nggak annoying. Suaranya tenang, bahasa Inggrisnya pun bagus sekali sampe saya mikir, jangan-jangan orang Malaysia. Tapi kemudian dia berbahasa Bali ke staff-nya, trus parlez Francais kepada sepasang tamu Perancis.

Saya pun jadi betah ngalor ngidul sama dese. Mbak Y ini asli Ubud, besar di Denpasar, lalu tahun 2005 sekolah perhotelan di Swiss. Ooo, pantesan Prancisnya casciscus banget...

Mbak Y sempat kerja beberapa taun di dunia pariwisata, sampai akhirnya memutuskan bikin resort di Ubud bareng suami bulenya. The Samara ternyata dibangun di tanah milik bapaknya Mbak Y. Jadi bisa dibilang, modal pihak Mbak Y untuk The Samara gede juga ya.

Mbak Y punya status permanent resident di Swiss, dan punya rumah sendiri di Lugano. Akhirnya doi malah bagi-bagi tips traveling murah ke Eropa.

Singkat kata, I like her a lot, and I gave her much respect. Orangnya people person banget, tapi tetep bisa handle things like a boss. Pleus, punya pengalaman yang solid di bidang pariwisata.  Really, you can never judge a book by it’s cover! *cipika cipiki Mbak Y*

Selain pemiliknya yang asik, The Samara ini ditargetkan untuk kalangan dewasa yang mencari ketenangan, so no children allowed! Yes, bunda, anak dibawah 17 tahun nggak boleh nginep sini! That means no screaming, no crying, only pure serenity.

Yang paling maknyus menurut saya adalah harganya. I can’t tell you exactly how much, yang pasti nggak jauh dari sejuta rupiah per malam termasuk sarapan + afternoon tea, kalo dipesen lewat booking websites tertentu. Untuk ukuran Ubud—dan dengan kualitas begini—menurut saya affordable banget.

13.00

Kelar taro barang, kami capcus ke Sari Organik.

Saya pernah cerita singkat tentang Sari Organik ya disini. Dia adalah restoran organik yang terletak di tengah sawah. Pemiliknya orang Indonesia, dan bahan-bahan makanannya hasil panen dia sendiri.

Sari Organik berafiliasi erat dengan institusi holistik lainnya di Ubud, seperti The Yoga Barn dan para produsen kosmetik alami. Pantes lah jadi tempat makan favorit para yogini dan health freaks.

Yang ngeselin dari Sari Organik adalah, kita kudu jalan di tengah sawah sepanjang 1 kilometer untuk mencapai tempatnya. Di bawah terik matahari! (atau di tengah gelap gulita, kalo makannya malem-malem). Cry, cry baby cry deh. Sometimes you can be lucky and find ojek, tapi kalo nggak, selamet aja yaaa…

But was the walk worth it? Oh yes it was.

IMG_0006
View from our seats

Karena restorannya udah organik, makanan yang dipesen juga kudu sok sehat dong ya. Kami pesen veggie pizza, french fries ubi, air kelapa, jus buah bit, dan tofu falafel sandwich. Rasa lumayan, harga juga nggak mahal, tapi sama sekali nggak ngenyangin, hihihihi.

IMG_0017~
Beet juice. Pokoknya sihat. Soal rasa merem aja ya.

Saat kami di Bali, musim ujan udah reda, tapi berganti dengan musim... angin bahorok. I kid you not, anginnya KUENCENG banget, termasuk saat kami di Sari Organik. Sekenceng apa? Kursi kayu sampe berjatohan, dan piring beling sampe melayang. Piring. Beling. Melayang. Untuk nggak ke muka gue!

IMG_0010
Nih ya, akibat angin dahsyat. Padinya sampe doyong semua!

Pas bayar bill pun, billnya terbang ke tengah sawah, hoahahaha... Alhamdulillah bukan duitnya.

Angin bahorok hari itu juga sukses merobohkan sebuah tiang listrik di Jalan Suweta, deket The Samara, dan tiang listrik di dekat Galleria Mall. Ebuset.

15.00

Kelar makan, kami males jalan, dan ngojek sampe parkiran mobil. Trus pulang ke villa.

Di villa, listrik isdet gara-gara robohnya tiang listrik di Jalan Suweta. Sialnya, listrik yang mati cuma di daerah Kajeng. Dobel sialnya, The Samara belum punya genset! Cuma ada genset kecil untuk ngidupin dapur.

Tapi karena suasana villanya asri, plus ada angin bahorok, hawa tetep adem. Sama sekali nggak keringetan, meski tanpa AC. Dan nggak ada nyamuk! Kok bisa sih.

Saya mandi air dingin (untung air nyala), trus tidur dengan keadaan pintu villa terbuka lebar. T malah mabur dan bobok di poolside.

17.00

Harusnya kami ke The Yoga Barn untuk ikut Restorative Yoga, trus nyoba kelas meditasi pake Tibetan Singing Bowl. Eksotis banget nggak sih, seeuus…

But as you can probably guess, niat yoga + meditasi tersebut langsung kandas ketindas rasa males. Udah mati lampu, banyak angin, lokasi kami di tengah sawah pula… mampu bangun dari kasur nggak sih? I don’t think sooo...

Akhirnya kami lanjut bobok-bobokan, makan di villa (lumayan banget lho… nasgor + juice cuma 50 rebu), baca buku, makan lagi, sampe malam datang dan keadaan menjadi gelap total. Staff villa pun datang membagikan lilin.

Ngeri nggak sih gelap-gelap di tengah sawah? Anehnya nggak. Kami nongkrong semaleman di teras villa, menikmati suasana yang damai. Dan untuk pertama kalinya, saya ngeliat segerombolan kunang-kunang. Dasar anak kota :)

Disini saya kagum sama Mbak Y, karena dia tetep tinggal di villa (doi tinggal di Denpasar), melayani dan menenangkan para tamu. Tagihan makan kami hari itu digratisin lho, karena kami stuck nggak bisa ngapa-ngapain. Meski penampilan doi udah lecek, rambut udah dicepol, dan high heels udah berganti sendal jepit, Mbak Y tetap hilir-mudik dengan sabar. Top!

22.00

Listrik nyala! Seluruh penghuni The Samara langsung bersorak-sorai tembak mercon. Saya dan T nonton TV sebentar, sebelum akhirnya ketiduran.

A great first day, indeed :)



Jump to Day 2, Day 3, Day 4 & 5

12 comments:

winkthink said...

Cantik bener kisahnya :)
Eh mbak, kalo gak salah pernah ke Bali tinggal di hotel murmer gitu tapi aku lupa dimana. Kucari di blog gak nemu. Boleh nanya nama dan lokasinya ya? Makasihh...

BabyBeluga said...

Thanks for sharing, bagus neh untuk masukan ideas as we are planning to visit Indo this year.

prin_theth said...

Winkthink: Halooo... Waah, hotel murmer sih ada di tiap pelosok Bali. Maunya dimana? Ubud? Sanur? Kuta? Legian? Benoa? Denpasar? Amed? Tulamben? Seminyak? :DD

Kalo di Ubud, untuk yang murmer, aku bisa rekomendasiin Alam Shanti, Tegalsari, Greenfields, dan Bucu View. Google aja yaa, jangan lupa masukkin keyword UBUD ;)

BabyBeluga: Sama-sama Mbak Syl! Waaah, kapan nih mau pulang kampung? Nunggu anak-anak libur ya...

katrin said...

Penampakan Mbak Y ga dipajang di sini ,lei?hahhaaa...
terakhir liat kunang2 pas masih abege...apa udah mau punah ya hewan itu?

winkthink said...

Trims mbak :) Aku dulu kayaknya pernah baca di blog mbak (lupa yang mana, ini ato yg wedding-blog) jalan2 ama tmn2 mbak di hotel murmer. Ok, ak googling smua...makasi yaa...

Anonymous said...

mbak Lei, ini mirip mas T masa muda gak sih? #gaknyambung

https://fbcdn-sphotos-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash2/62916_435856247860_717372860_5207348_2954665_n.jpg

prin_theth said...

Katrin: Hahaha, nggak berani aku foto-foto diana! Tapi cantik lho, feisnya Bali manise banget.

Iya ya, jangan-jangan si kunang-kunang hanya fatamorgana! Jangan punah dooong...

Whinkthink: Iyaaa, waktu aku sama temen-temenku itu di Bucu View. Lumayan kok ;)

Anonymous: HAHAHA apaan itu kagak ada mirip-miripnyaaaa! Faktor kacamata dan rambut kreteng kayaknya...

Ivo said...

Eh, tentang ketulah, tos deh, dulu suka punya negatif thinking kalo liat orang Indonesia nikah sama Bule, hehe. Sampai gue ketemu dan berteman dekat sama istri2 tersebut (temen paling deket disini juga suaminya Bule, orang Inggris dan Professor American Studies di salah satu Uni di Jepang hehe, lieur ya?) dan ya boook, mereka ini diluaran aja lho, keliatan dandan dll, tapi banyak juga yang superwoman, karena namanya tinggal di Negara tanpa pembantu dll, dari mulai urus anak, kerja, urus rumah masak dll sendiri aja gitu, trus, namanya orang barat, suami2 ini rata2 punya prinsip kalo perempuan sama laki-laki posisinya ya setara, baik buat urusan kerjaan RT, termasuk tanggung jawab finansial, urusan anak, dll, jadi istri2 ini punya tanggung jawab sebesar tanggung jawabnya suaminya aja.
Puncak dari segala tulah adalah, jodoh gue...ya Oloohhh... hahahahah. Sampe seakrang masih bingung aja, perasaan ga pernah tinggal di negara bule, gaul sama orang Indonesia kebanyakan, tinggal masih di Asia juga, kenapa ketemu jodohnya bukan sesama melayu atau orang Jepun lah ahahahahah. *tobat*

cHenduolll said...

mana lanjutannyaaaaaaa?
gw jadi pengen nyoba di The Samara ni neik, gara2 elo..
tapi nyari libur nya kapan ye?
review nya lanjot donk Lei hehe..

btw oot dikit, di Jakarta hotel mana yg kelas menengah dengan suasana nyaman tentram dan asik buat (another)honeymoon, neik? share donk inpo2nya :D
maaci *cup*

prin_theth said...

Ivo: Ahahaha... yaaah biasa deh, kalo tampilannya udah sumi-sumi, pasti sejuta su'udzon keluar ya. Kesannya cuma 'nebeng' si misua. Ternyata banyak juga yang hebring...

Hahaha, kalo jodoh emang bener-bener udah diluar kuasa kita deh. Eh emang dulu ketemunya gimana sik? *ulik blog Mbak Ivo*

Chenduoll: Cobaiiin, cobaiiin... :D Kalo di Yakarta, susah ngarep hotel yang adem tentram. Namanya juga ibukota (halah). Palingan melipir dikit ke Bogor atau Lembang. Kalo mau city hotel di Jakarta yang seru, I would say... Morrissey?

Desi said...

IIh Leii.. gw jg pas brosing-brosing juga nemu si Samara ini. Tapi berhubung fotonya gak semenarik hotel lain, gw gak jadi booking... Ehh ndilalah hotel yg gw book itu viewnya biasa ajaa, gak lebih bagus daripada Samara.. Review orang2 di travel forum itu kadang2 emang suka lebay yak

prin_theth said...

Desi: Kamyu di Puri Sunia yaaaa? Nah, kita kebalik deh. Gue hampiiiir disana, tapi akhirnya milih The Samara karena lebih murah (eh iya nggak ya) dan karena hasben lebih suka view-nya :D

Pengen nyoba Puri Sunia, tapi terpencil banget nggak sih? The Samara juga gue kira iya, tapi kalo nyetir sendiri oke-oke aja tuh ;)

Post a Comment